Setelah menyelesaikan makan malamnya dengan cepat, Kania mengambil fotokopi kartu keluarga yang masih ia simpan di dalam tasnya. Setelah itu ia bergegas menemui dokter.
''Kalau ada apa-apa langsung panggil petugas ya, Pa.'' ujar Kania menunjuk pada telepon.
Papa mengangguk.
Pria yang menyampaikan pesan itu sepertinya langsung ke belakang. Mungkin waktu tugasnya sudah selesai dan hendak pulang.
''Ini di pencet belnya? di ketuk? atau bilang permisi?'' gumam Kania setelah di depan ruangan dokter.
Perihal rumah sakit dan semacamnya membuat Kania mudah ngeblank. Aroma obat-obatan, peralatan medis, gambar-gambar tentang penyakit membuat Kania ingin tutup mata sepanjang jalan. Tapi, ia takut nabrak, akhirnya terpaksa tetap membuka matanya, meskipun harus sering-sering mengusap keringat dinginnya.
Kania akhirnya memilih untuk menekan bel, dan tak lama kemudian pintu itu terbuka. Kania melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu.
''Permisi, Dok.'' ucap Kania sopan setelah pintu terbuka.
Dokter itu masih mengenakan maskernya, ia terlihat mengangguk sembari mempersilahkan Kania masuk dan duduk.
''Silahkan duduk, Kania Rianti Putri.'' titah dokter tersebut.
Kania mengangguk.
''Terima kasih, Dok.'' jawab Kania langsung duduk.
Tapi, satu detik kemudian, Kania langsung mendelik, ia mendongak menatap dokter tersebut dengan tatapan heran. Karena di pendaftaran kemarin, ia hanya menuliskan Kania, tanpa nama lengkap. Apalagi ini dokter pengganti.
''Dokter tau nama saya?'' tanya Kania penasaran.
Dokter itu mengangguk membuat Kania tersenyum kepedean dan juga salah tingkah. Ia menjadi lupa bagaimana dokter itu bisa tau nama lengkapnya.
''Oh, iya, ini kartu keluarganya, Dok.''
Kania menyodorkan satu lembar kertas itu di meja.
"Maaf Dok, kenapa harus ke Dokter ya kasih kartu keluarganya? biasanya di sana," tanya Kania penasaran.
Dokter tersebut menerima dan membacanya, kemudian menatap Kania sembari meletakkan kertas itu ke sisi meja. Ia tidak menjawab pertanyaan tersebut.
''Apa kabar Kania? sepertinya kamu sudah lupa?'' tanya dokter tersebut.
Kania langsung mengernyitkan keningnya tanpa menjawab, ia menebak-nebak, tapi, takut salah orang.
Dokter itu malah terkekeh sendiri, dan tak lama kemudian, ia membuka masker yang sedari tadi menutup separo wajahnya.
Tanpa kata-kata, kedua bola mata Kania langsung membulat sempurna. Kini ia langsung paham dan mengenali, siapa dokter yang berhadapan dengannya itu. Wajah itu tidak berubah, ia masih sangat mengenalinya meskipun sudah bertahun-tahun menghilang.
Beberapa tahun yang lalu, kakaknya yang duduk di bangku sekolah menengah atas sering mengajak beberapa temannya untuk datang ke rumah, sekedar bermain PlayStation. Di antara mereka, Kania yang masih duduk di bangku sekolah dasar sering mencari perhatian pada salah satu teman kakaknya itu.
Ntah pengaruh dari mana, di suatu hari Kania mengungkapkan cinta pada teman kakaknya itu. Jawaban yang di terima oleh Kania sangat membuatnya bersedih. Laki-laki itu justru menertawakan dirinya, mencubit pipi dan juga hidung gadis kecil itu. Tak lupa juga ceramah panjang lebar tentang anak kecil belum boleh bicara soal cinta.
''Kakak, aku cinta sama Kakak.'' ungkap Kania waktu itu.
''Hahaha, apa, Kania? hahaha''
Laki-laki itu justru tak bisa menghentikan tawanya. Kania hanya bisa menangis dan membenci satu teman kakaknya itu. Ia sangat tersinggung dan sakit hati atas respon tersebut hingga akhirnya ia menjaga jarak.
Untuk kedua orang tua Kania, mereka tidak begitu memahami teman-teman dari anak-anaknya. Mereka cukup senang jika anak-anaknya bermain dan kumpul di rumah. Terkhusus untuk saat itu yang masih menjadi anak-anak sekolah.
Ingatan itu kembali lagi setelah sekian lama. Kania kembali membenci dokter itu. Ia langsung beranjak dari kursi yang berhadapan dengan meja dokter.
"Halloo, jangan melamun." ujar dokter itu dengan melambaikan tangannya di depan mata Kania.
''Maaf Dok, permisi,'' ucap Kania cepat dan ingin segera meninggalkan ruangan itu tanpa menatap dokternya.
Dokter itu pun langsung bergerak cepat, lebih dari yang Kania kira. Ia langsung menutup pintu ruangannya dengan remote.
''Hey, Kania? why?'' tanya dokter itu menahan lengan gadis itu.
Kania membuang pandangannya ke samping. Ia masih enggan menjawab, apalagi menatap dokter itu. Padahal tadi sempat terpikat dengan suara dan tubuh sang dokter, apalagi sorot matanya yang tajam dan juga teduh. Namun, ketika sudah mengetahui siapakah orang dibalik maskernya, Kania tidak jadi terpikat.
''Bisa dibukakan pintunya? bukankah Dokter masih harus praktek lagi?'' tanya Kania tanpa menatap.
''Tidak, papa kamu pasien terakhir yang saya kontrol saat ini,'' jawabnya.
Kania terdiam.
''Hey, Kania sayang, apa kamu nggak kangen sama Kakak?'' tanya dokter itu yang merubah nada bicaranya seolah-olah masih sangat akrab.
Dulu, ketika setiap bertemu, Kania langsung menempel seperti perangko. Dokter yang bernama Arda itu yang juga penyayang anak kecil tidak merasa keberatan dengan sifat manja Kania. Justru kakak Kania yang sering mengusir adiknya itu karena di anggap mengganggu.
Bertahun-tahun berlalu, Kania dan Arda tidak pernah bertemu lagi, apalagi setelah kemarahan Kania terhadap penolakan dari Arda, gadis kecil itu tak lagi suka menempel. Setelah lulus sekolah, Arda melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.
''Nggak!'' jawab Kania ketus.
Ekspresi kemarahan Kania masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, yaitu sangat menggemaskan, sehingga membuat Arda tak kuasa menahan tawanya.
''Saya mau dibawa kemana! lepaskan!'' pekik Kania saat Arda menarik tangannya.
Arda membawa Kania agar duduk di kursi yang sebelumnya. Ia pun langsung berjongkok dan menatapi wajah gadis itu. Gadis kecil yang kini sudah beranjak dewasa, tetapi ia masih terlihat imut sekali.
''Kakak sama sekali tidak menduga bahwa hari ini kita bertemu lagi,'' ujar Arda.
Kania masih enggan untuk menjawab.
"Kania," panggil Arda.
"Oke, Kakak minta maaf," ucapnya.
''Maaf, saya harus segera menemani papa.'' ujar Kania.
''Papa kamu aman dan sudah ada yang menjaganya, ini rumah sakit keluarga saya.'' balas Arda.
Kania langsung mengangkat wajahnya. Arda pun langsung semakin tersenyum. Meskipun dulu ia menolak Kania dengan alasan anak kecil, nyatanya ia selalu merindukan adik temannya itu. Karena kepolosan Kania tidak pernah ia jumpai di anak-anak lainnya.
Dan, sekarang melihat perubahan Kania membuat jantungnya berdebar kencang. Seperti ada rasa yang sudah tertanam sejak dulu.
''Kania, kamu nggak ada niatan mengulang apa yang pernah kamu katakan dulu ke Kakak?'' tanya Arda.
''Sudah lupa!'' jawab Kania ketus lagi.
Arda melihat Kania memegang ponsel, ia langsung mengambilnya. Meskipun Kania hendak merebut, Arda berhasil menahan dan juga berhasil mendapatkan nomor ponsel Kania.
''Kita ketemu lagi di lain waktu ya.'' ujar Arda sembari berdiri dan memberikan jalan pada Kania.
Kania langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Hati-hati, jangan ceroboh lagi kalau jalan," ujar Arda sembari mengusap kepala Kania, namun langsung ditepis oleh gadis itu.
Kania keluar dari ruangan dokter itu tanpa menoleh-noleh ke kanan kiri. Niat awalnya untuk mencari cemilan terlebih dahulu pun akhirnya ia urungkan. Jantungnya berdebar tak karuan, ia hampir saja menabrak tiang koridor. Untung saja tidak berpapasan dengan siapapun. Jika hanya terpantau dari kamera cctv ia tidak peduli.
Sementara itu, Arda kembali duduk, senyum di bibirnya masih terjaga ketika membayangkan pertemuan tak terduganya hari ini dengan Kania.
''Sepertinya kali ini, Kakak yang mencintaimu, Kania.'' gumam Arda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Melati Putri
semangat thor
2023-12-23
1