"Raka.. sepertinya Ibu tidak asing dengan nama itu. Nanti Ibu ingat-ingat lagi sekarang tidur lagi ya. Ini minum dulu, Hanum terlihat sangat ketakutan sampai berkeringat. Ibu temani tidurnya ya" kata Ibu Hanum sambil mengusap rambutnya.
Keesokan paginya seperti biasa Hanum bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia menghampiri Gugun yang ternyata telah lebih dahulu menunggunya.
"Gun, kenapa ya kok aku mimpi tentang Raka lagi?" tanya Hanum kepada Gugun.
"Ha Raka siapa sih Han?" Gugun yang merasa bingung balik bertanya.
"Eh iya semalam aku lupa mau cerita sama kalian" kata Hanum.
Tak lama kemudian mereka sampai di gang rumah Doni dan juga Lili yang sudah menunggu.
"Nah sekarang kita sudah berkumpul ayo Han mulai ceritakan tentang mimpimu kemarin!" pinta Gugun.
"Ooh iya semalam kamu lupa kan. Ayo cerita sekarang sambil kita jalan ke sekolah biar gak kerasa capek dan tahu-tahu sudah sampai hehe" ujar Lili.
"Yee..emang dikira kita naik motor kali ah gak kerasa capek" ledek Doni.
"Kalian berdua kalau ketemu pasti berantem mulu udah pasti jodoh seratus persen yakin, iya kan Gun?" gurau Hanum.
"Hahaha" Gugun tertawa.
Sekitar sepuluh menit berjalan mereka sudah melewati perbatasan. Kini mulai memasuki hutan desa Kenanga.
"Jadi kemarin siang aku mimpi bertemu dengan seseorang bernama Raka. Entah mengapa saat itu aku langsung akrab dengannya. Kami berdua menaiki sebuah sepeda motor menuju pulang. Waktu itu hampir maghrib ia mempercepat laju motornya. Tiba-tiba saat di tanjakan desa Kenanga.." Lani menengok kearah kanan kiri dan menyadari ia sedang berada tepat di tanjakan membuat bulu kuduknya berdiri.
"Sudah ya akan aku ceritakan lagi setelah melewati tanjakan" bisik Hanum.
Teman-temannya seolah mengerti apa yang dimaksud Hanum.
"Aku kesal banget sama Pakde Wiro, masa anaknya sendiri diperlakukan kasar seperti itu" kata Hanum lagi mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Lagi? Cih Ayah macam apa dia. Eh kalian sudah dengar belum kalau Pakde Wiro itu suka mencari pesugihan di desa Kenanga loh. Ayahku pernah melihatnya di malam hari mengendap-endap membawa sesajen kalau tidak salah itu dilakukan setiap malam Jum'at" ujar Lili.
Gedung sekolah yang mereka tuju sudah nampak terlihat dan sebentar lagi mereka akan sampai.
"Itu memang benar Li aku juga pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dengar kan Han aku tidak membual sudah banyak yang melihatnya" ucap Gugun.
"Iya Han, anak Mbakyu ku yang masih umur sepuluh bulan setiap malam Jum'at pasti merengek semalaman rewel" tambah Doni.
"Setiap malam Jum'at, bukankah itu nanti malam" kata Hanum.
"Betul. Ayo kita selidiki, kita ikuti Pakde Wiro diam-diam aku penasaran apa yang ia lakukan di desa Kenanga. Kok gak takut dia sendirian hiii" kata Lili.
"Baiklah aku setuju" ujar Hanum.
Setelah masuk gerbang sekolah mereka berpisah. Diantara mereka berempat hanya Gugun dan Doni yang satu kelas.
Dua jam pelajaran bel pun berbunyi tanda istirahat pertama dimulai sekitar lima belas menit.
Mereka bertiga tidak menyia-nyiakan waktu dan langsung menuju koridor kelas Hanum memintanya kembali bercerita tentang mimpi kemarin.
"Kak Raka seperti habis melihat sesuatu, mesin motornya juga tiba-tiba mati. Ia kemudian berdiri dan tidak menjawab pertanyaanku sambil menunduk. Lalu nada bicaranya berubah begitu juga dengan wajah dan matanya terlihat mengerikan. Ia berkata mau membawaku ke desa Kenanga, saat itu aku tidak bisa berlari kakiku seperti ada yang menahan. Dan kalian tahu enggak semalam aku memimpikannya lagi. Itu membuatku begitu ketakutan sampai Ibu menemaniku tidur" jelas Hanum.
"Siapa sebenarnya Raka, mungkinkah ada hubungannya dengan desa Kenanga?" tanya Gugun.
"Entahlah Gun, aku juga sempat menanyakannya sama Ibu. Sepertinya Ibu tahu sesuatu tentang Raka" kata Hanum.
Teng..teng.. Bel kembali berbunyi, mereka berempat kembali masuk kelas. Dengan tertib mereka mengikuti semua jadwal pelajaran. Tepat pukul satu lewat empat puluh lima menit mereka pulang.
"Hari ini kebetulan tidak ada yang piket ya jadi kita bisa pulang tepat waktu hehe" kata Doni.
"Huh dasar penakut" ledek Lili.
"Biarin memangnya kamu mau kita kaya kemarin mengalami kejadian serem" ucap Doni.
"Aku harap tidak pernah mimpi lagi seperti kemarin" keluh Hanum.
"Iya Han. Eh nanti malam kita jadi menguntit Pakde Wiro?" tanya Gugun.
"Tentu saja" jawab Lili singkat.
"Tapi gimana kalau ketahuan? Bisa habis kita mau minta tolong siapa coba?" ujar Doni.
"Aku akan beritahu Ibu supaya siaga, ini menyangkut guru ngaji kita. Aku yakin Ibu pasti mau membantu. Rumah kami kan bersebelahan sama Pak RT pasti lebih mudah saat nanti minta bantuan" jelas Hanum.
"Ide bagus Han" kata Lili.
"Iya betul aku juga setuju" tambah Gugun.
Kebetulan saat mereka pulang matahari masih bersinar terang selain itu juga banyak penduduk desa yang lalu lalang.
Sesampainya di rumah mereka segera berganti pakaian. Kemudian bersama menuju tempat biasa mereka bermain di bawah pohon beringin besar.
Lili, Gugun, dan Doni sudah tiba disana sementara itu Hanum menyusul bersama ibunya.
"Bude ikut juga" sapa Lili.
"Iya Li Bude juga tidak tahu Hanum tiba-tiba menarik tangan Bude rupanya mengajak kemari" ucap Ibu Dwi.
"Ibu ceritakan sama kami siapa itu Raka?" pinta Hanum.
"Sekitar tiga puluh tahun lalu desa Kenanga dahulunya sangat subur banyak sayur mayur dan buah-buahan hasil kebun petani disana dibawa ke kota oleh mobil-mobil bak. Itu menandakan penduduk desa makmur bergantung pada alam. Hingga suatu perkara tiba, setahun kemudian tidak ada hujan penduduk dilanda kekeringan, kelaparan dan penyakit mulai menyerang desa Kenanga. Pakde Wiro dahulu merupakan salah satu warga disana yang diagung-agungkan karena ilmu supranaturalnya memberitahu semua bahwa yang terjadi merupakan peringatan karena mereka lalai lupa akan alam yang sudah memberi kemakmuran. Ia meminta sesajen berupa anak laki-laki berusia 7 tahun. Kebetulan saat itu penduduk desa Kenanga belum begitu banyak. Hanya ada satu anak laki-laki berusia 7 tahun. Seorang anak yang menderita penyakit kulit langka dikorbankan. Anak itu merupakan anak sulung dari pasangan juragan Karto dan Ningsih. Awalnya Pakde Wiro bersama sesepuh desa memberitahukan hal ini baik-baik dan memberi imbalan kepada keluarga juragan Karto namun ditolak. Beberapa kali mereka kembali mendatangi rumah juragan Karto namun jawabannya tetap sama. Pakde Wiro bersama sesepuh dan beberapa warga desa nekat membawa anak tersebut dan menjadikannya tumbal. Pakde Wiro memenggal kepalanya di hadapan juragan Karto dan istrinya seketika membuat mereka pingsan" jelas Ibu Dwi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments