Jangan lupa tinggalkan jejak.
Rencana kepulangan remaja berusia delapan belas tahun itu, terpaksa tertunda, pasien kamar nomor empat nol delapan, tetap kekeh menunggu kedatangan suster Hasya.
Lagi-lagi kepala ruangan, harus dibuat repot oleh tingkah salah satu pasiennya, hingga wanita paruh baya itu mendatangi salah satu kamar VIP.
Suster Prapti biasa disapa, berusaha menjelaskan jika salah satu bawahannya, kemungkinan sedang tidur, karena harus kembali berjaga malam nanti.
Sebagai seorang tenaga medis, akan sangat beresiko jika mengantuk saat bertugas, hal itu berbahaya bagi pasien yang ditanganinya, salah sedikit bisa fatal akibatnya.
Namun meski sudah dijelaskan oleh Suster Prapti, penghuni kamar empat nol delapan itu, tak mau tau, "Aku tidak akan pulang sebelum bertemu dengan suster Hasya,"
Suster Prapti berusaha bersabar, menghadapi ABG labil yang menjadi salah satu pasien, di lantai yang ia kepalai.
"Silahkan tuan Olsen, jika anda ingin menunggu suster Hasya, kalau begitu, saya mohon undur diri," Suster Prapti tersenyum sembari menunduk sopan, dan berlalu diikuti bawahannya yang bertugas pada sif pagi.
Sepeninggal rombongan perawat itu, Julian yang sengaja bolos sekolah untuk menjemput Olsen, hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.
"Lo kayak anak TK yang nggak dikasih permen sama gurunya, malu-maluin sumpah, nggak sesuai sama body," ejek lelaki yang sedari tadi memainkan game online, di ponsel miliknya, mumpung sedang tak bersekolah, kesempatan untuknya untuk memainkannya.
Olsen tak menanggapi ejekan sahabatnya, dirinya lebih memilih mengirimkan pesan di ponselnya, meskipun ia tau, jika pesannya hanya akan centang satu berwarna abu.
Julian berdecak kesal, ia kalah dalam permainan yang ia mainkan, memilih menyerah, ia memasukan ponselnya pada saku celananya, ia menghampiri sahabatnya dan duduk disisi ranjang,
"Jangan bilang Lo suka sama suster Hasya?" tanyanya memastikan.
Olsen melirik sekilas, "Emang kenapa kalau gue suka? Masalah buat Lo!"
Julian menggelengkan kepalanya tak habis pikir, bisa-bisanya temannya memiliki selera berbeda, "Bukannya suster Hasya, umurnya jauh dari kita? Dia lebih pantas jadi tante Lo!"
"Cuma tujuh tahun Juli, apa masalahnya?"
"Lo tuh kayak kekurangan cewek cantik di sekolah tau nggak, sebagian besar cewek-cewek pada ngefans sama Lo, bisa-bisanya, selera Lo tante-tante,"
"Suka-suka gue lah, apa urusannya sama Lo? Ini perasaan gue,"
Julian berdiri sambil berkacak pinggang, ia tak habis pikir dengan sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara, "Apa alasan Lo suka sama Suster Hasya? Oke gue akui dia cantik dan manis, tapi kan yang jadi masalah itu umurnya, lagian belum tentu dia mau sama Lo, sadar diri Olsen, kita aja masih pakai seragam sekolah, sedangkan dia udah pakai seragam dinas, apa kata dunia?"
Olsen menghela nafas, ia menatap sahabatnya, "Lo ingat kejadian tujuh tahun lalu? Waktu kita masih SD,"
Julian mengangguk, jelas ia ingat kenangan pahit yang menimpa sahabatnya.
Flashback on.
Malam itu, Olsen baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang gurunya berikan, ia merasa haus, sehingga ia turun menuju dapur, karena air di gelasnya telah kosong, hendak meminta tolong pada ART, ia tak tega, mengingat ini sudah hampir tengah malam.
Baru saja ia mengisi gelas dengan air, Olsen dikejutkan dengan kedatangan ayahnya yang dipapah oleh supir keluarga mereka.
Olsen paham, jika ayahnya sedang mabuk, maka dari itu, ia membiarkannya begitu saja, saat supir menidurkan ayahnya di sofa ruang keluarga, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Baru saja menaiki satu anak tangga, Olsen dibuat kaget dengan teriakan ayahnya, sudah biasa baginya, mendapatkan caci maki, sumpah serapah juga siksaan secara fisik dari satu-satunya orang tua kandung yang tersiksa.
Sudah tiga tahun ia tinggal disini, sebelumnya sedari bayi merah, hidupnya selalu berpindah-pindah dari saudara satu ke saudara yang lain.
Beberapa negara pernah ia tinggali, demi diurus oleh para saudara dari pihak mendiang ibunya, secara bergantian.
Terakhir neneknya dari pihak ayah, meminta pada pamannya yang di Amerika, agar mengantarkan Olsen kembali ke negara ini, agar diurus oleh ayah kandungnya sendiri.
Tapi mirisnya, bukannya diurus dengan baik, ia malah mendapatkan kekerasan bertubi-tubi, banyak bekas luka yang tak terlihat, akibat perbuatan ayah kandungnya.
Cambukan ikat pinggang, pukulan pernah ia rasakan, tapi semua itu dilakukan Rudolf pada punggungnya, sehingga orang lain tak melihatnya, tertutupi baju yang ia kenakan.
Tapi malam itu, Rudolf membawa stik golf koleksinya, suara berderit ujung besi itu beradu dengan lantai granit, terdengar menyeramkan ditelinga bocah berumur sebelas tahun.
Tubuh Olsen bergetar hebat, ia ingat terakhir, seminggu yang lalu ikat pinggang berkali-kali dicambuk kan pada punggung kurusnya.
Semenjak ikut ayahnya, badannya tak terurus, seringkali ia tak diberi makan seharian, dengan alasan tak masuk akal, ART yang berkerja di rumah, tak berdaya menentang perintah tuannya.
Cacian dan sumpah serapah dari lelaki dewasa itu masuk ke gendang telinganya, membuatnya sesak, lalu ia lebih memilih menutup telinganya rapat-rapat, enggan mendengarnya.
Buk..., sebuah pukulan mengenai punggung kurusnya, saking kuatnya, Olsen jatuh bersimpuh, rasanya sakit luar biasa, kembali ia rasakan benda panjang terbuat dari besi itu mengenai punggungnya.
Olsen hanya bungkam dan terus berusaha menahan rasa sakit, toh tak ada yang peduli dengan teriakannya, hingga rasanya tulang punggungnya hampir patah, terlintas dalam benaknya untuk lari.
Ia tak ingin mati dengan cara seperti ini, dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia berontak, ia bangkit mendorong lelaki dewasa itu, tak ada sepatah katapun yang ia katakan, ia hanya menatap ayah kandungnya dengan tatapan amarah dan kecewa, dalam hati ia berjanji, tak akan pernah mau memaafkan lelaki itu seumur hidupnya.
Mendapatkan perlawanan dari putranya, membuat Rudolf gelap mata, ia mengambil salah satu botol alkohol koleksinya, memecahkannya, dan menunjukannya pada bocah yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri, "Mati lo anak sialan, mati sana, temani Roweina,"
Melihat ujung runcing pecahan botol itu, Olsen melebarkan matanya, nalurinya sebagai manusia, menggerakkannya untuk segera lari dari sana, ia tak ingin mati sekarang, ia harus hidup dan meraih mimpinya.
Sekuat tenaga, Olsen berlari keluar rumah, tak peduli hujan deras dan petir yang menyambar, satu yang ada dibenaknya, ia harus lari sejauh mungkin dari orang yang mencoba membunuhnya.
Lelah berlari, ia berhenti, disebuah warung nasi yang sudah tutup, ia berteduh di sana, ia duduk menyandarkan punggungnya di tembok basah itu, mata hitamnya menatap kosong, jalanan yang sepi dihadapannya, hingga rasa kantuk menyerang, dan membuatnya tertidur.
Sinar matahari yang menyengat, membuatnya terbangun dari tidurnya, hari sudah siang, suasana disekitar ramai oleh aktivitas sibuk orang-orang berlalu-lalang.
Olsen merasakan badannya yang remuk, ia menyentuh sendiri keningnya, badannya panas, ia demam, perutnya juga lapar.
Ia berpegangan di tembok, hendak berdiri melihat warung nasi yang telah buka dibelakangnya, ia merogoh celana pendeknya, sayangnya tak ada apapun di sana.
Olsen hanya bisa menelan saliva-nya ketika melihat salah satu pengunjung warung nasi memasukan sendok berisi makanan kedalam mulutnya.
Ia kembali duduk sambil memegangi perutnya, tak mungkin buatnya untuk mengemis, meskipun hidup berpindah-pindah, tapi dirinya tetap diperlakukan layaknya tuan muda, hanya saja tiga tahun belakang ia diperlakukan tak menyenangkan oleh ayah kandungnya sendiri.
Hingga sore menjelang, tak ada satupun yang peduli dengannya, perutnya semakin melilit, suhu tubuhnya semakin naik, ia mengalami demam tinggi.
Hingga Olsen merasa, tubuhnya mulai menyerah, ia hampir menutup matanya, tapi sebuah suara lembut membuatnya membukanya lagi, senyuman lembut seorang dengan lesung pipi, menanyakan keadaannya, tapi tubuhnya tak lagi bisa kompromi, ia menutup mata.
Kain lembab nan dingin, membasahi keningnya, membuatnya terbangun, ia menatap langit-langit tempatnya berada saat ini.
Sebuah senyuman kembali ia lihat, seorang gadis cantik menyapanya dan menanyakan kondisinya, apa yang ia rasakan? Perhatian yang sudah lama tak ia dapatkan.
Pakaian yang dikenakannya telah berganti, tubuhnya sedang dibaluri dengan minyak kayu putih, oleh tangan lembut wanita itu.
Ia ditawari makan, disuapi dan diminumkan obat, saat hendak tidur ia dipeluk oleh perempuan yang mengaku bernama Sasya.
Hangat, rasanya nyaman sekali, entah kapan terakhir kali Olsen merasakan kehangatan ini, rasanya ia ingin waktu terhenti.
Tiga hari ia berada di tempat kos mbak Sasya, mahasiswi fakultas keperawatan salah satu universitas di ibukota, ini waktu yang paling membahagiakan dalam hidupnya, rasanya ia ingin seperti ini terus, tapi kenyataan menamparnya.
Gadis itu mengatakan akan menghubungi polisi, agar bisa menghubungi keluarganya, mendengar hal itu, Olsen melarikan diri, sebelumnya ia mencuri uang milik mbak Sasya, untuk digunakan menaiki taksi menuju ke rumah sahabatnya.
Flashback Off
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
BISA JADI SASHA ADALAH HASYA
2024-03-03
1
Whyro Sablenk
sasya ma hasha orang yg sama kah thorr.
lanjut
2023-12-04
3