03

Aku sedang mengecek barang-barangku agar tidak ada yang tertinggal saat bel rumahku berbunyi. Tanpa menebakpun aku tau itu pasti Lavin yang datang untuk menjemputku, melihat waktu sudah menunjukkan jam sembilan.

“Masuk aja Vin, pintunya nggak aku kunci.” Seruku dari dalam. Tidak lama kemudian Lavin pun masuk bersama dengan Kenzie.

“Halo kak Seira.” Sapanya.

“Eh, halo Kenzie. Kamu ngikut toh?” jawabku kaget, tidak mengira anak lelaki itu ikut datang.

“Iya Ra. Dia sendirian di rumah, Mami lagi kondangan, pacarnya lagi pergi sama keluarganya, jadi aku ajak. Gapapa kan?” jelas Lavin.

“Ya gapapa lah, udah makan belum Zie? Tuh masih ada nasi goreng di meja makan.”

“Udah kok Kak, tapi kalo dikasih lagi ya nggak nolak, nasi goreng buatan kak Seira enak soalnya. Hehehe.”

“Dasar, yaudah sana makan. Piringnya ada di laci nomor dua ya.” Mendengar itu Kenzie langsung pergi untuk menyerbu nasi goreng di meja makan.

“Dasar anak itu. Bikin malu aja, udah kayak di rumah nggak di kasih makan.” Sungut sang kakak sambil menggelengkan kepala. “Gimana? Udah siap semua? Ada yang perlu ku bantu?” lanjutnya padaku.

“Harusnya sih udah. Paling tinggal bawa keluar aja.”

Kami pun bersama-sama mengeluarkan barang-barang yang akan kubawa ke ruang tamu. Yak, satu koper besar dan satu kardus berukuran sedang siap memenuhi bagasi pesawat. Sembari menunggu Kenzie selesai makan, aku pun membereskan sisa nasi goreng yang ada dan menjadikannya seperti nasi kepal agar mudah untuk dibawa sebagai bekal untuk kumakan saat transit di Jakarta nanti.

“Ra, udah siap? Berangkat sekarang yuk! Entar ketinggalan pesawat yang ada.” Ajak Lavin menghampiriku ke meja makan.

“Kenzie udah kelar makannya? Apa mau bawa?”

“Udah kok Kak.”

“Yaudah yuk.”

“Zie, bantu bawa barang!” seru Lavin pada adiknya yang langsung dituruti tanpa membantah.

Di perjalanan ke bandara, kami pun membicarakan banyak hal dari mulai gosip sampai dengan pengalaman pribadi.

“Terus kamu tau nggak…” ucapan Lavin terpotong suara Fur Elise dari handphone-ku. Aku pun mencari benda itu di satchel bag yang aku gunakan. Ah… ternyata tertutup dompetku. Aku pun melihat siapa yang menelepon, ternyata mamaku. Sebelum mengangkat telepon aku menggumamkan maaf pada Lavin.

“Halo Ma, kenapa?” sapaku.

“Gapapa, cuma mau nanya, kamu sampe sini jam berapa?” tanya Mamaku

“Jam dua kalo nggak delay. Nggak usah dijemput. Aku naik taksi aja.”

“Sayang duitnya. Dijemput aja biar sekalian bisa langsung keluar makan juga.”

“Yaudah, mau makan dimana? Nanti ketemuan aja di tempat makan. Ngga usah jemput, bandara jauh dari rumah, capek nanti.”

“Kamu maunya makan apa?”

“Nasi bakar!”

“Oke, ketemu disana ya. Kamu hati-hati dijalan ya!” ucapnya seraya memutuskan sambungan telepon. Dan saat melihat sekitar, ternyata aku sudah berada di areal bandara.

“Oh, udah nyampe? Maaf ya, kepotong deh obrolannya.” Ucapku merasa bersalah.

“Gapapa Ra, kita bisa lanjutin di telepon. Nyampe Jakarta telepon aku ya.” Pesannya yang kusambut dengan anggukan. Lavin dan Kenzie membantuku memindahkan tas-tasku dari bagasi mobil ke trolly barang yang ada di bandara. Setelah berpamitan dengan Lavin serta Kenzie, aku pun masuk untuk check-in dan menunggu keberangkatan pesawatku.

***

Bandara Internasional Soekarno-Hatta terlihat ramai hari ini. Mungkin karena akhir tahun, jadi banyak yang ingin berlibur. Walau mengambil kelas bisnis, areal lounge tetap penuh. Aku pun mencari tempat duduk untukku menunggu penerbangan selanjutnya. Ahh… itu ada tempat kosong di sebelah ibu yang sedang menggendong anaknya.

“Permisi, apa kursinya kosong?” tanyaku dengan senyum sopan.

“O iya.” Jawab ibu itu sambil tersenyum.

“Terima kasih.” Ucapku membalas senyumnya. Aku pun menjatuhkan pantatku ke sofa tersebut. Tiba-tiba aku teringat pesan Lavin, aku pun langsung mencari handphone-ku dan menghidupkannya. Tidak butuh waktu lama, aku pun langsung men-dial nomor Lavin.

“Halo… “ ucapnya riang di seberang telepon.

“Lapor komandan, aku udah sampai di Jakarta.” Candaku sambil tertawa.

“Bagus…” jawabnya mengikutiku tertawa. Kami pun melanjutkan obrolan kami di mobil tadi. Setelah kurang lebih satu jam kami berbicara di telepon, kami pun memutuskan sambungan telepon. Tidak ada semenit dari aku menutup telepon, aku menerima notifikasi dari akun Instagram­-ku. Siapa yang mengikutiku? Batinku, karena tidak mungkin yang lainnya. Aku sudah lebih dari tiga bulan tidak mengunggah foto apapun. Aku pun membuka aplikasiku dan merasa tidak percaya. Ini… dia?

***

Aku sedang menyesap minumanku sambil menatap keluar kafe. Hari ini aku berjanji menemui salah satu sahabat lamaku. Sambil menunggu, ingatan akan kejadian di bandara dua hari yang lalu kembali memenuhi kepalaku. Apakah benar itu dia? Apa tujuannya? Kenapa sekarang? Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di dalam benakku. Tidak hanya kejadian di bandara, namun kenangan-kenangan lama pun silih berganti memenuhi kepalaku. Masih terbayang bagaimana senangnya kami waktu itu, apa saja yang sering kami lakukan. Lamunanku terhenti saat tangan mungil menyentuh tanganku.

“Halo, aunty Rara…” sapa gadis cilik itu. Melihatnya senyumku pun berkembang. Tanpa menunggu lama, langsung kuangkat gadis kecil itu ke pangkuanku.

“Hallo, my sunshine. Do you miss me?”

“Kangen banget. Aku bawa hadiah buat aunty.” Ucapnya sambil memberiku kotak kecil berwarna pink berpitakan putih.

“Wah… apa ini? Aunty buka ya?” tanyaku sambil membuka kotak itu. “Jepit rambut? Cantik sekali, ini buat aunty?”

“Iya, kembaran sama aku.” Katanya sambil menunjuk rambutnya yang mengenakan jepit rambut yang sama.

“Ahh… makasih ya, aunty pake nii.” Ucapku sembari menjepit rambutku dengan jepit rambut pemberiannya. “Cantik ngga?” tanyaku pada manusia mungil itu.

“Aunty Rara cantik banget.” Jawabnya yang membuatku gemas tidak menahan untuk memencet hidung kecilnya.

“Mommy sama Daddy mana? Kok kamu sendirian?” lanjutku menanyakan orangtuanya. Belum sempat gadis cilik itu menjawab, terdengar suara wanita memanggil namanya.

“Corallie! Mommy nyariin, maen kabur aja. Laen kali nggak boleh ya, kalo kamu ilang gimana?” omel wanita itu.

“Carlene Odelia!” sapaku riang sambil memeluknya. “Miss you so much. Udah nggak usah di marahin, kan dia nyamperin gua.”

“Lo kelewat manjain dia Ra. Makanya nempel mulu tuh sama lo.”

“Biarin ya Cora.” Jawabku memandang Cora sambil tersenyum. “Eh, tapi lo gendutan deh kayaknya.” Komentarku membuatnya mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu yang membuatku tersenyum lebar.

“Beneran? Asik! Cora mau punya adek ya?”

“Iya!” jawab gadis kecil itu riang.

“Iya, Cora udah mau punya adek, aunty kapan kasih Cora adek juga?” sindir Carlene yang tak ku gubris.

Akhirnya kami pun bertukar cerita selama setahun belakangan ini, sementara Cora bermain di area bermain anak-anak yang ada di kafe ini. Selalu menyenangkan bertemu dengan sahabat lama yang mengerti keadaanmu. Carlene Odelia adalah salah satu sahabatku dari SMA. Berbeda dengan Nana maupun Floren yang kukenal saat kelas tiga, kami bertemu saat Masa Orientasi Sekolah dan menghabiskan tiga tahun di meja yang sama. Dan entah mengapa dari semua teman baruku saat itu, hanya dialah yang mengerti aku.

Masih kuingat saat dia tanpa sebab memberiku sebuah kalung beserta liontinnya, saat dia menghiburku saat sedih, dan saat dia membelikanku makanan tanpa sepengetahuanku karena dia tidak mau aku kelaparan karena dia tahu saat itu uang mingguanku habis. Dia mengerti aku lebih dari orangtua maupun adik-adikku. Dia tahu kapan aku perlu sendiri, kapan aku perlu ditemani, kapan aku perlu tertawa dan kapan aku perlu menangis. Terkadang aku merasa dia lebih mengerti diriku dibanding diriku sendiri.

“O iya, Barron apa kabar? Dia nggak ikut balik tahun ini?”

“Nggak, dia lagi tugas di Amrik selama dua bulan, awal taon depan baru balik Indo. Edsel juga nggak keliatan. Dia nggak ikut?” tanyaku mengenai suaminya Edsel yang merupakan pacarnya dari SMA dulu.

“Nggak. Dia takut ketemu lo.” Jawabnya sambil tertawa.

“Kenapa takut?” tanyaku bingung. “Dia bikin lo kesel lagi? Bikin lo nangis? Ngapain lagi tuh bocah?” serbuku.

“Santai cuy. Gua cuman becanda. Dia kan kerja non, kalo nggak juga dia udah disini. Lo tau sendiri tuh anak nggak bisa biarin bininya pergi sendiri.” Mendengar jawaban Carlene membuat aku teringat akan kejadian empat tahun yang lalu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!