"Test kali ini sedikit istimewa, karena test ini adalah test menuju ujian terakhir sebelum pergantian tahun."
Errol. Salah satu guru dari kelas Teamzard. Satu-satunya guru yang memiliki warna rambut putih di Ferezard. Dia menjadi guru sejak 1000 tahun lalu, karena guru sebelumnya telah tiada.
"Selain itu, hari ini adalah hari di mana elemen yang menyatu dengan kalian akan muncul," lanjut Errol. "Kalian akan melaksanakan test lebih dulu, baru setelah itu kalian akan belajar cara mengeluarkan elemen."
Test dimulai. Para Ezard bukan hanya ditest kekuatan dalamnya saja, tapi juga kekuatan fisik. Test itu sendiri dilakukan dengan cara melawan wujud kekuatan Errol yang berwarna putih.
Matheo yang pertama kali melakukan test.
Di hadapan laki-laki berambut jingga itu terdapat kekuatan berwarna putih milik Errol yang wujudnya sengaja dibuat seperti Ezard.
Keduanya berhadapan dengan disaksikan oleh Errol serta seluruh Ezard bagian Teamzard. Mereka duduk di kursi yang disediakan di pinggir lapangan tempat test dilakukan.
Matheo mengatur napasnya untuk menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya.
Kau harus lulus, Math. Kegagalan bukanlah hal yang pantas untuk seorang Kakak, batin Matheo berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Test mulai berjalan. Dengan sekuat tenaga, Matheo melawan dan menghindar. Namun, gerakan dari lawannya benar-benar cepat, hingga ia terpental.
"Sial! Fokus, Math!" gumam laki-laki dengan rambut jingga itu.
Sayap sewarna dengan rambut muncul dan melebar di punggung Matheo. Harga dirinya sebagai seorang Kakak juga kelompok 1 tidak boleh jatuh hanya karena sebuah test. Maka dari itu, Matheo memaksimalkan kekuatannya luar dalam.
Dengan satu gerakan terakhir, kekuatan Errol berhasil dikalahkan.
Matheo yang semula terbang menggunakan sayapnya memilih turun kala wujud dari kekuatan Errol tiba-tiba menghilang. Ia mengatur napasnya yang tidak karuan, lalu menghampiri adik-adiknya yang sekaligus anggota kelompoknya.
"Kau hebat," puji Savian. "Ini, minumlah," lanjutnya sembari menyerahkan sebotol minuman pada Matheo.
"Terima kasih." Matheo meneguk minumannya dengan tergesa-gesa. Tenaganya benar-benar terkuras. Ia sangat lelah, apalagi ia sudah menggunakan banyak tenaga sejak beberapa hari belakangan.
"Kekuatan Pak Errol sepertinya semakin besar," cetus Navaro. "Kalian juga lihat, 'kan? Tadi kekuatannya sangat sulit dikalahkan."
"Kau benar. Aku sampai tidak yakin Matheo akan berhasil, melihat kekuatan Pak Errol yang lebih ganas dari biasanya," timpal Savian.
"Di mana Reya?" Matheo mengedarkan pandangannya kala tidak mendapati Reyasa di tempat yang sebelumnya perempuan itu duduki, tepat di belakang samping kanan Azura.
"Bukankah tadi dia di sini?" tanya Navaro bingung.
"Dia bilang, dia ingin mengambil bukunya yang tertinggal di Onezard," balas Azura.
"Buku apa?"
Azura mengedikkan bahu tak acuh.
"Apa kau lupa? Setiap kemari, dia tidak pernah membawa buku," ujar Matheo. "Aku akan mencarinya."
"Mencari siapa?"
Keempat saudara itu menoleh ke belakang. Sang pemilik suara berjalan mendekat dan duduk di samping kanan Azura. "Apa kau menang?"
"Dari mana?" tanya Matheo.
Reyasa yang sudah duduk di tempatnya semula hanya menampilkan cengiran.
"Kau tidak pernah membawa buku selama menempuh pendidikan di sini. Jadi, jawab dengan jujur pertanyaanku. Kau dari mana?" ucap Matheo dengan penuh penekanan di kalimat terakhirnya.
Reyasa menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. Senyuman canggung ia tampakkan di belah bibirnya. "Eh, lihat! Dia kalah!" serunya, hingga perhatian keempat saudaranya teralihkan pada Ezard yang tengah melakukan test.
Reyasa tersenyum penuh kemenangan.
Untung saja.
"Kau membuat alasan yang bisa menjerumuskan dirimu sendiri. Dasar bodoh!"
Diamlah! Masih untung kau tidak kumusnahkan.
"Cih!"
***
"Bagi yang tidak lulus hari ini, bisa mengikuti test besok atau lusa setelah pelajaran selesai," ucap Errol.
Ini pertama kalinya, sejak laki-laki berambut putih itu mengajar, ada kesempatan kedua bagi yang tidak lulus di tahap test sebelum ujian.
"Sekarang, kita akan belajar cara mengeluarkan elemen yang menyatu dengan kita," lanjut Errol. "Kita akan belajar di sini saja, supaya bisa langsung praktek."
Errol berdiri menghadap para Ezard yang tampak kelelahan setelah melawan wujud kekuatannya. "Jika kalian ingin melihat elemen alami yang menyatu dengan kalian, ketenangan adalah kunci utamanya," jelas Errol. "Kalian harus tenang dan cobalah menyatu dengan alam."
Laki-laki itu duduk sila di atas rumput lapangan sembari menutup mata dan mengatur napasnya sedemikian rupa. Hingga, angin berkumpul mengelilingi dirinya. Para Ezard yang ada di sana memandang takjub apa yang terjadi.
Errol membuka matanya, kemudian mengambil kendali angin yang mengelilingi dirinya. "Untuk pertama kali, elemen alami hanya akan muncul setiap akhir tahun menuju bulan merah," ucap Errol. "Jadi, jika elemen kalian tidak muncul hari ini, maka kalian harus menunggu bulan merah berikutnya."
"Berapa lama?" tanya salah satu Ezard dengan rambut berwarna biru.
"Pertanyaan bagus," sahut Errol. "Bulan merah muncul setiap sepuluh ribu tahun sekali. Itu artinya, jika elemen kalian tidak muncul hari ini, kalian harus menunggu hingga sepuluh ribu tahun lagi."
Errol menghempaskan angin yang dia kendalikan. "Sekarang, cobalah lakukan. Jika tidak bisa dengan cara itu, masih ada cara lain yang akan kuterangkan nanti. Santai saja."
Para Ezard duduk berbaris sesuai kelompoknya masing-masing. Jika tidak seperti itu, mereka pasti akan bertengkar, terutama Reyasa yang memang tidak disukai oleh beberapa Ezard di sana.
"Tenangkan diri kalian terlebih dahulu."
Para Ezard mulai memejamkan mata dan mengatur napas agar lebih tenang.
Angin mulai berkumpul mengelilingi tubuh beberapa Ezard. Tak hanya angin, ada api dan air. Selain itu, ada juga Ezard yang elemennya tanah, hingga tempat yang didudukinya meninggi secara tiba-tiba. Ada Ezard yang tubuhnya dikelilingi tumbuhan hijau yang merambat. Namun, ada 1 Ezard yang tidak dikelilingi apa pun, membuat Errol menatapnya bingung.
Dia Reyasa.
Perempuan berambut biru tua itu tidak dikelilingi apa pun, tempat duduknya pun tidak meninggi.
"Tenangkan dirimu, Reya! Fokuslah!"
Reyasa masih memejamkan mata, berusaha fokus pada tujuannya. Namun, tidak ada apa pun yang mendekatinya. Entah itu angin, air, api, tanah, atau pun tumbuhan. Apa itu artinya ia harus menunggu sekitar 10 ribu tahun lagi?
"Percayalah pada dirimu sendiri, Reya."
Reyasa membuka matanya, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Elemen Ezard yang lain sudah muncul, tapi kenapa miliknya tidak?
"Coba lagi, Reya. Kau pasti bisa."
Tanpa berbicara apa pun, Reyasa kembali menutup mata dan mengatur napasnya. Keempat kakaknya sudah memunculkan elemen, kenapa hanya dirinya yang tidak bisa? Apa ia adalah Ezard yang gagal?
Setelah beberapa waktu mencoba, nyatanya tetap tidak bisa. Reyasa membuka mata, beberapa Ezard menatapnya dengan tatapan kasihan. Namun, ada juga yang menatapnya remeh.
"Cobalah lagi, Reya," ucap Matheo.
Reyasa mengangguk dan kembali mencoba fokus. Namun, tetap saja ia tidak berhasil.
Melihat hal itu, Errol datang menghampiri Reyasa yang duduk di barisan paling belakang kelompok 1. "Tenanglah! Masih ada cara lain, Reyasa. Tidak perlu memaksa."
Reyasa hanya diam.
Hal itu tentu saja cukup mengganggu Errol. Biasanya, Reyasa akan berisik mengatakan apa pun yang ingin ia katakan, tapi kali ini perempuan itu hanya diam.
"Latihlah elemen kalian!" seru Errol pada para Ezard lainnya. "Kau ikut aku. Kita coba cara lain."
Reyasa menurut tanpa mengatakan sepatah kata pun. Membuat keempat saudaranya melayangkan tatapan khawatir.
"Dia sedih," gumam Navaro.
***
"Di buku ... tertulis bahwa elemen bisa muncul hanya jika emosi dalam diri kita stabil." Errol membuka halaman selanjutnya dari buku tebal yang sudah sejak lama menjadi panduannya dalam mengajar. "Tidak hanya angin, air, api, tanah, dan tumbuhan, ada elemen lain yang bisa saja menyatu denganmu."
Reyasa diam tak berkutik.
"Dengarkan dia, Reya. Kau pasti memiliki salah satu elemen."
"Ada elemen halilintar yang saat ini sangat langka di kalangan para Ezard," lanjut Errol. "Namun, jika tidak memiliki salah satu dari elemen itu, bisa saja kau memiliki kekuatan lain seperti teleportasi, regenerasi, atau telepati."
Dirasa tak mendengar respon Reyasa sama sekali, Errol mengalihkan tatapannya dari buku. Ekspresi datar Reyasa adalah hal yang ia lihat pertama kali. "Cobalah baca pikiranku, Reya."
Reyasa menggeleng. "Tidak bisa," ucapnya dengan nada lemah.
Errol menghela napas. "Coba teleportasi, aku yakin kau memiliki salah satu dari elemen alami atau kekuatan tambahan. Fokuslah!"
Reyasa kembali mencoba. Namun, setelah fokus pun ia tidak mendapatkan apa pun. "Sepertinya, aku memang tidak memiliki apa pun," ucapnya pelan. "Aku akan menunggu lagi."
Reyasa berlalu meninggalkan Errol yang terdiam. Perempuan itu menghampiri saudaranya yang masih berlatih.
"Bagaimana? Apa bisa?" serbu Savian. Membuat ketiga saudaranya yang lain turut mendekati Reyasa.
"Pasti kau tidak bisa, 'kan?"
Nada suara remeh dari arah belakang, berhasil membuat Matheo dan yang lainnya menoleh.
"Bisa kau diam? Kami tidak pernah mencari masalah denganmu," ujar Savian.
Perempuan berambut kuning yang sebelumnya berbicara tiba-tiba saja tertawa meremehkan. "Tapi aku benar 'kan? Ezard pemalas itu pasti tidak bisa menghadirkan elemen apa pun."
"Mulutmu sepertinya perlu diajari berbicara, Marcella," geram Navaro. "Pergilah! Sebelum aku menghabisimu."
Perempuan berambut kuning bernama Marcella terkekeh sarkas. "Harusnya kau menghabisi adik pemalasmu yang hanya bisa menjadi beban itu."
"Berhenti berbicara, Marcella. Aku benar-benar akan menghabisimu, jika kau berbicara lagi," ujar Navaro penuh penekanan.
"Siapa kau berani mengaturku?" tantang Marcella. "Hei, Ezard pemalas! Lihatlah kakakmu, dia berusaha membelamu yang tidak berguna sama sekali. Hahaha."
"Marcella, hentikan!"
Seseorang menyela dari belakang. Dia Julian, laki-laki berambut hijau yang tempo lalu mengganggu Reyasa. "Kau sudah keterlaluan, Marcella."
"Tidak usah mengaturku, sialan!" bentak Marcella. "Harusnya kau membantuku untuk memusnahkan Ezard pemalas seperti dia."
Julian berusaha menarik tangan Marcella. Namun, perempuan berambut kuning itu memberontak dengan sekuat tenaga.
"Ezard pemalas sepertinya tidak pantas jadi bagian Ezard kalangan atas seperti kita. Dia hanyalah beban!" seru Marcella dengan penuh penekanan di kalimat terakhirnya.
"Kau ...."
Langit yang semula cerah mendadak gelap dalam sekejap. Suara gemuruh membuat para Ezard yang ada di sana keheranan.
"Aku bukan beban."
Marcella kembali menatap Reyasa yang sedang menunduk dengan tatapan meremehkan. "Jika bukan beban, lalu apa? Hanya karena kakakmu, kau bisa tetap berada di sini."
"Kau tidak tau aku, sialan!" seru Reyasa sambil melayangkan tatapan tajam pada Marcella. Bola matanya yang semula berwarna biru tua, tiba-tiba saja berubah menjadi merah terang. Tak hanya itu, di kedua tangannya yang terkepal muncul kilatan-kilatan berwarna serupa dengan mata.
Reyasa memunculkan sayapnya yang berwarna biru tua. "Aku akan menghabisimu," desisnya, kemudian terbang membelah awan gelap di atasnya.
Setelah itu, gemuruh kembali terdengar dari langit disertai kilatan-kilatan cahaya berwarna merah.
"Bersiaplah, sialan!" Reyasa kembali muncul dengan bola kekuatan berwarna merah di tangannya. Bukan bola kekuatan biasa, tapi disertai kilatan-kilatan halilintar.
"Kau sudah membuatku kesal, brengsek!" seru Reyasa, kemudian menghempaskan bola kekuatannya ke bawah, di mana para Ezard berada.
Errol yang baru saja kembali ke lapangan membulatkan mata kaget melihat kejadian itu. "Halilintar?" gumamnya. Ia mengalihkan tatapannya pada para Ezard yang diam menatap bola kekuatan yang sebentar lagi mengenai mereka. "Hei, kalian! Menghindar!"
Mendengar seruan dari sang guru, para Ezard kemudian menghindar dari lapangan, hingga bola kekuatan milik Reyasa hanya mengenai tanah.
Savian membulatkan matanya melihat efek dari bola kekuatan milik sang adik. Lubang besar tercipta di tengah lapangan, terlihat dalam dan hangus terbakar. Jika mengenai Ezard, sudah jelas korbannya akan terluka parah.
"Bisa kalian jelaskan kenapa Reyasa seperti itu?" tanya Errol yang baru saja menghampiri para Ezard kelompok 1.
"Kami tidak tau. Dia tiba-tiba terbang dan mengeluarkan kekuatan itu," ucap Savian. "Matheo, apa kau tau penyebabnya?"
Matheo menggeleng. "Aku tidak yakin, tapi sepertinya dia melakukan itu karena marah pada ... siapa tadi namanya?"
"Marcella."
"Iya, itu. Reya marah pada Marcella yang mengatainya terus-terusan," lanjut Matheo. "Jika boleh tau, itu elemen apa? Kurasa itu bukan api."
Errol menengadahkan kepalanya, menatap Reyasa yang masih terbang dan menyiapkan bola kekuatannya lagi. "Itu halilintar. Elemen itu sangat berbahaya. Kita harus segera pergi. Reyasa akan menyerang lagi. Cepat!"
Errol menatap muridnya yang lain. "Menghindar dari sini! Cepat!" teriaknya.
Tak lama setelah mereka menjauh dari lapangan, bola kekuatan milik Reyasa kembali dihempaskan ke tanah.
"Kenapa kalian menghindar, hah?!" seru Reyasa yang sudah turun ke lapangan dan melipatkan sayapnya. "Kalian takut pada Ezard pemalas sepertiku?"
"Reya, sadarlah! Kau bisa membunuh mereka. Elemenmu berbahaya."
Suara tanpa wujud itu tak Reyasa pedulikan. "Akan kuhabisi kalian semua."
"Matheo, panggil Aldrich. Aku akan menahan Reyasa. Cepat!" perintah Errol yang langsung dilakukan oleh Matheo.
Errol yang semula meneduh di teras salah satu gedung yang mengelilingi lapangan kini berjalan menghampiri Reyasa.
Mata merah perempuan itu membuat Errol kembali terkejut. Bagaimana mungkin? Warna mata dan rambut harusnya tidak pernah berubah, bahkan jika sudah menghadirkan elemen alami sekali pun.
Ini aneh, batin Errol. "Reyasa, tenangkan dirimu."
Tatapan Reyasa menyorot Errol dengan tajam.
"Reyasa, kau bisa melukai teman-temanmu," ujar Errol.
"Teman?" ulang Reyasa. "Kau bilang mereka temanku?!"
Bukannya tenang, Reyasa tampak semakin marah dan mulai mengeluarkan kekuatannya lagi.
"Reyasa, tunggu---"
Belum selesai berbicara, kekuatan milik Reyasa sudah diluncurkan hendak mendekati para Ezard. Dengan segera, Errol mengeluarkan kekuatannya dan menahan kekuatan bercahaya merah milik Reyasa. Tak ia sangka, kekuatan milik perempuan berambut biru tua itu ternyata lebih besar dari perkiraannya.
Sial! Kenapa dia kuat sekali?
Tubuh Errol mulai mundur karena tak kuasa menahan besarnya tekanan dari kekuatan Reyasa.
Siapa pun yang membuat Reyasa marah, kau brengsek sekali, batin Errol menggerutu. Energiku mulai melemah. Kapan si sialan itu akan datang? Kenapa lama sekali?
"Kau menghalangi jalanku," desis Reyasa. Kemudian, ia tambahkan kekuatannya, hingga Errol terpental menabrak tiang gedung di belakangnya.
Errol terbatuk-batuk. Matanya membulat kaget melihat darah menetes keluar dari mulut dan hidung. "Kuat sekali, brengsek," gumamnya.
Reyasa diam di tempat. Matanya menatap tajam Marcella yang tampak masih terkejut. "Aku akan menghabisimu, sialan."
Belum sempat melangkahkan kaki, sebuah suara membuat Reyasa menoleh.
"Berhenti!"
Dialah Aldrich. Pemimpin Ferezard saat ini. "Sadarlah! Kau sudah melukai gurumu," ucapnya.
"Aku akan berhenti setelah menghabisi si kuning itu," balas Reyasa sembari menunjuk Marcella yang berdiri di samping Julian.
"Dia tidak bersalah---"
"Tidak bersalah?!" ulang Reyasa dengan nada tinggi. "Aku akan menghabisimu karena telah membelanya, sialan!"
Kekuatan Reyasa dengan cepat menghampiri Aldrich, hingga laki-laki itu terpental ke belakang.
Dengan segera, Aldrich bangkit. Ini tidak bisa dibiarkan. Elemen halilintar sangat berbahaya, jika pemiliknya tidak terkendali.
"Reyasa, tenangkan dirimu!" seru Aldrich. Ia tidak bisa menggunakan kekuatannya yang dikhawatirkan akan melukai Reyasa. "Wahai halilintar yang perkasa, biarkan pemilikmu mengambil alih kuasa."
"Reya, dengarkan dia! Jangan biarkan elemenmu yang berkuasa!"
Aldrich berusaha mendekat pada Reyasa. "Reyasa, katakan pada elemenmu, bahwa kaulah yang berkuasa."
"Kau yang berkuasa, bukan elemenmu. Sadarlah!"
Reyasa mengerjapkan matanya. Tiba-tiba langit kembali seperti semula, begitu pun warna mata Reyasa. "Ada apa ini?" gumamnya.
Aldrich menghela napas lega. "Sepertinya kau harus istirahat."
Reyasa menatap laki-laki yang kini berada di hadapannya. "Kenapa bapak kemari?"
Aldrich tersenyum paksa. "Tidak apa-apa. Hanya ingin," jawabnya. "Sekarang sudah jam pulang. Sebaiknya kau segera pergi."
Reyasa mengangguk. "Baiklah. Tapi kenapa lapangan berlubang dan terbakar?"
"Kau sungguh tidak ingat?"
"Hanya kejadian kecil. Aku yang akan membereskannya. Pulanglah!"
"Hmm ... baiklah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments