Bel sekolah berdentang tiga kali, menandakan bahwa pelajaran terakhir telah usai. Para siswa pun mulai tampak keluar dari ruang kelas masing-masing dan berbaur bersama teman-temannya.
Tak terkecuali Bella, dia kini tengah berjalan santai di temani oleh sesosok gadis yang tak henti-hentinya tertawa sembari beberapa kali menepuk pundak Bella. Pasalnya, gadis itu masih membayangkan adegan perkelahian antara Bella dan Vanya yang tadi sempat di ceritakan padanya. Nama gadis tersebut adalah Fara, gadis berambut pendek sebahu dengan gaya tomboy itu merupakan sahabat dekat Bella. Mereka bahkan mulai berteman saat memasuki taman kanak-kanak.
"Ngomong-ngomong, kamu yakin nih gak mau ku antar?" tanya Fara sambil menghentikan langkahnya, menatap kearah wajah sahabatnya yang tampak lesu.
"Hmm, gak. Sopirku nanti jemput kok," jawab Bella dengan sedikit senyum.
"Yakin?"
Bella mengangguk sebagai respon. Mata yang sembab di tutupinya dengan ukiran senyum yang dia kembangkan di bibir.
"Kalau begitu, aku ke gerbang duluan. Siapa tahu sopirku sudah menjemput," ucap Bella dengan riang sambil melambaikan tangan pada Fara lantas berlari pergi.
Fara melihat Bella yang berlari kecil menuju gerbang dan menatapnya dengan perasaan khawatir. Gadis itu menyadari perubahan yang terjadi pada sahabatnya tersebut semenjak kehilangan orangtuanya. Walaupun terlihat tetap ceria. Namun, Fara tahu pasti bahwa Bella benar-benar merasa kehilangan dan hancur. Apalagi sudah dua hari ini juga Regen—pacar Bella— tak masuk sekolah. Biasanya pemuda itu yang bisa membuat Bella tertawa terbahak dengan tingkah konyolnya.
Sementara itu, Bella duduk sendirian di bangku yang terdapat di samping gerbang sekolah. Sambil menunggu sopirnya datang, tangan gadis itu merogoh saku kemeja dan mengeluarkan ponselnya. Dia mengetuk layar ponsel itu sekali dan mendapati foto kedua orangtuanya saat moment ulang tahun pernikahan bulan lalu.
Tak terasa, rembesan air dari pelupuk mata Bella kini meleleh jatuh. Dia masih tak percaya bahwa kini ia hidup sebatang kara. Rasanya baru kemarin mereka tertawa bersama, merayakan tiap hal kecil bersama dalam kehangatan keluarga dan sekarang semua itu menghilang begitu saja. Bella masih saja menyesali saat itu, saat dia menolak ajakan pergi orangtuanya ke pesta yang diadakan oleh pebisnis terkenal di kota seberang. Walaupun itu tak bisa merubah apapun, setidaknya Bella tak akan merasa kesepian seperti sekarang.
Wajah Bella tertunduk karena luapan emosi yang tak lagi bisa di bendung. Suara isakan pun mulai terdengar lirih mengalun dari bibir mungilnya. Tanpa di sadari, selembar sapu tangan terulur kearah Bella.
Kepala Bella mendongak, menatap kearah sosok yang tengah berdiri di hadapannya. Sosok pria dewasa dengan penampilan yang mencurigakan. Rambut gondrong yang dikuncir rendah, serta kumis dan jambang tipis yang berantakan membuat kesan utama pria itu tampak berbahaya. Bella langsung menatap waspada kearah pria asing di depannya yang membuat airmatanya berhenti seketika.
"Aku bukan orang jahat, ambilah. Akan sangat menyedihkan jika orang melihat anak pemilik sekolah sedang meratap di bangku sendirian," ucap pria itu sembari menjatuhkan sapu tangan berwarna merah muda itu di pangkuan Bella lalu berjalan pergi.
Bella menatap punggung pria itu dengan heran. Namun, fokusnya kini teralih pada sebuah mobil sedan berwarna putih yang kini terparkir di depannya. Dia pun refleks mengelap sisa air mata dengan sapu tangan yang baru di terimanya lantas bangkit dari bangku.
Sesosok pria paruh baya tampak turun dari kursi sopir, membuka pintu penumpang dan mempersilahkan Bella masuk. Melihat itu Bella menatap bingung, pria itu bukanlah sopir pribadi keluarganya dan dia tahu pasti bahwa pria tersebut adalah sopir dari keluarga Dante—pamannya— yang biasa menjemput Vanya.
"Em, maaf. Tapi saya melihat Vanya hari ini membawa mobil dan sudah pergi." Bella mencoba memastikan situasi yang dialaminya.
"Saya kesini menjemput Anda, Non Bella. Mulai hari ini saya yang akan menjadi sopir pribadi Anda," jelas pria paruhbaya itu dengan sopan.
Bella yang mendengar itu keheranan. Namun, ia memutuskan tak banyak bertanya karena merasa hari ini tak memiliki banyak tenaga untuk berbicara. Bella pun masuk ke dalam mobil segera, disusul oleh sopir barunya.
Tak berselang lama, mobil sedan putih itu kini telah sampai di pelataran kediaman utama Lerandy. Rumah megah dengan tiga lantai tersebut menjadi satu-satunya bangunan super mewah di kawasan perumahan elit dan merupakan warisan dari pendiri Galaksi group yang merupakan kakek Bella.
Bella yang sempat tertidur sebentar di dalam mobil kini mengerjap-ngerjap ketika matanya melihat sebuah mobil minibus di halaman rumahnya. Tak hanya itu, dia juga melihat beberapa pelayan yang tampak gugup sembari menenteng tas dan koper mereka. Seketika itu, Bella pun lantas keluar dari mobil. Dia menghampiri seorang wanita yang tampak berdiri di samping mobil dengan menenteng tas besar di tangan.
"Apa yang terjadi, Kak?" tanya Bella dengan raut kebingungan.
"Non, kami semua di pecat oleh Nyonya Lavi," jawab wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
"Apa? Nyonya Lavi? Maksudnya tanteku? Tante Lavi?" Bella menekan suara dalam pertanyaanya seakan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
Wanita itu hanya mengangguk, sambil melirik kearah para temannya yang bernasib sama.
Mendengar itu, Bella langsung berlari masuk ke dalam rumah. Bola matanya mengedar ke semua arah mencari sosok yang bertanggung jawab atas situasi yang terjadi. Dengan tangan terkepal erat dan nafas yang tak beraturan, Bella berlari menyusuri ruangan tiap ruangan di rumah besar itu sambil menyerukan nama sang bibi.
"Hentikan!!" seru Bella ketika menemukan seorang wanita dengan dandanan menor hendak membuka sebuah kamar yang cukup besar di lantai dua. Benar, itu adalah kamar tidur orangtua Bella.
Lavi berbalik badan dan mendapati keponakannya itu tampak terengah-engah dengan wajah yang geram.
"Kau sudah pulang ternyata," ucap Lavi santai sembari membetulkan posisi tas tangannya.
"Apa yang tante lakukan? Kenapa tante disini dan kenapa tante memecat semua pegawai?" Bella langsung membombardir Lavi dengan beberapa pertanyaan hingga membuat wanita itu melipat tangan di dada.
"Kenapa? Karena mulai hari ini rumah ini milik kami," jelas Lavi dengan nada remeh.
Mendengar itu, mata Bella membulat. Dia tahu kalau istri pamannya itu suka mengonsumsi alkohol, tapi bukankah sekarang ini terlalu dini untuk mabuk dan membuat kekacauan di rumah orang? Bella memijit keningnya dan menghela napas dalam. Dia sempat berpikir kenapa Vanya sangat menyebalkan, dan kini dia pun tahu alasannya. Ibu dan anak itu sama-sama merepotkan.
"Huh, aku akan menelpon Paman Dante, lebih baik tante beristirahat dikamar tamu sekarang." Bella menatap sinis kearah wanita berambut ikal sebahu itu lantas mengeluarkan handpone dari saku kemejanya.
Seakan tahu apa yang di pikirkan Bella, wanita itu lalu mendekat kearah gadis itu sembari menyodorkan sebuah lembaran kertas yang baru di keluarkan dari tasnya.
"Apa ini?" tanya Bella, dia mengurungkan diri menelpon sang paman dan kini pandangan matanya terfokus pada lembaran kertas yang di berikan oleh Lavi.
Mata Bella langsung membelalak ketika membaca tulisan yang bercetak tebal di bagian atas. Surat pengalihan aset yang di bagian paling bawahnya telah di bubuhi tandatangan Bella.
"Tidak mungkin!" Bella memekik sembari merobek kertas itu tepat di hadapan Lavi. Namun, wanita itu malah tersenyum seolah mengejek tindakan Bella.
"Percuma saja, toh itu sudah terjadi. Jadi, bersiaplah menjadi keponakan yang manis dan patuhi semua perintahku atau kau mungkin berniat hidup mandiri dan keluar dari sini," cemooh Lavi, bibir tebalnya dengan lipstik merah terang itu kini tersenyum lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments