...3. Suka Ceplas-Ceplos...
Arif membereskan buku-buku di atas meja. Menyiapkan makanan setelahnya.
Sementara ia kembali masuk ke ruangan utama.
Arif melihatnya dengan tersenyum lalu bertanya, “Bagaimana, pas gak?”
Ia tersenyum, tak lama mengangguk kecil. Rok 7/8 motif bunga-bunga bersanding dengan kaos polos berwarna merah. Lumayan pas di tubuhnya.
“Bu Ning lagi nidurin cucunya. Jadi minta aku yang nyiapin makan malam. Duduklah ….” Arif menarik satu kursi ke belakang. “Silahkan, Mbak,” lanjutnya. Setelah semua makanan terhidang.
“Aku sudah banyak merepotkan, sebaiknya aku pulang saja, Rif. Aku juga takut kemalaman.”
“Bentar Mbak. Bang Saba pasti juga gak mengijinkan Mbak Nawa pulang begitu saja.”
“Tapi Rif, aku gak enak merepotkan kalian,” sanggahnya.
“Gak sopan namanya kalau menolak hidangan yang sudah disiapkan,” sergah Saba yang muncul dari balik pintu samping rumah.
Refleks ia melihat Saba.
“Aku pamit Bang,” tukas Arif.
“Kamu juga gak sopan Rif,” ucap Saba. Menggeret kursi makan dan duduk di sana. ”Sejak kapan kamu biarin aku makan sendirian.”
Perlahan ia ikut duduk. Tepat di hadapan Saba.
“Maaf Bang, tadi aku sudah makan duluan bareng Bu Ning. Aku pikir Abang pulang larut,” jelas Arif. Sudah sangat hafal dengan rutinitas yang dijalani oleh Saba. “Lagian aku tidak ingin mengganggu Abang sama Mbak Nawa,” sambungnya dengan senyum lebar. Ia tahu kapan menempatkan dirinya. Jika Saba sendiri di rumah. Tapi itu jarang.
Saba hanya menggeleng. “Oke, kali ini alasanmu aku terima,” ucapnya. Lantas mengambil beberapa makanan yang terhidang di atas meja. Menuangkan ke piring miliknya. Ia sempat melihat Nawa yang hanya terdiam. Kemudian berkata, “Apa aku perlu mengambilkan untukmu?”
“O, gak usah. Terima kasih,” sahutnya menolak. Lekas mengisi piringnya.
Dalam beberapa saat suasana di ruangan itu hanya terdengar suara pertemuan sendok dan piring. Saba terlihat menikmati makan malamnya. Sementara ia masih canggung. Bertemu dengan orang baru. Berada di tempat baru.
Seharian ini beberapa kejadian di luar rencana menghampirinya. Yang berakhir membuatnya terdampar di rumah Saba sekarang.
Ia tidak tahu siapa Saba. Laki-laki yang menolongnya ini sepertinya mungkin salah satu peserta aksi. Atau bisa jadi pengendara yang nasibnya sama dengannya. Terjebak dalam aksi demonstrasi. Masih misteri.
Kalau Saba salah satu peserta aksi rasanya tidak mungkin dia dari aliansi mahasiswa. Pasti buruh. Atau perwakilan buruh. LSM mungkin. Karena perawakannya seperti mahasiswa tapi yang jenjang pasca-sarjana. Sesuai. Sejauh ini penilaiannya terhadap Saba, orangnya baik. Walau statementnya suka ceplas-ceplos yang membuat ia terpojok.
Ia menggeleng kecil.
“Kenapa? Penasaran tentang aku?” tanya Saba. Telah menghabiskan makanannya. Mengakhiri dengan menelungkupkan sendoknya.
Senyumannya tipis lalu menggeleng.
“Kenapa gak jujur?” desak Saba. Ia mengambil pisang. Mengupasnya dan memasukkannya ke dalam mulut. “Banyak orang penasaran denganku,” tambahnya penuh percaya diri.
Kunyahannya melambat. Ia menegak minuman di sampingnya. Membuat makanan yang belum sempurna dikunyah itu terdorong masuk ke kerongkongan.
“Kamu pasti penasaran kenapa aku juga berada di sana. Lalu menolongmu,” tukas Saba.
Tanpa menjawab ia mengangguk.
Saba tersenyum tipis. Menyimpan kulit pisang di atas piring. Kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Kedua tangannya bertumpu di tepi meja. “Aku salah satu yang gak setuju dengan kebijakan penguasa saat ini. Aku pro buruh dan mahasiswa. Jadi keberadaanku di sana sangat penting bagi mereka.”
Ia mengakhiri makannya. Setelah itu menegak lagi minumannya.
Saba bangkit. Membawa piring bekas makannya ke kitchen sink. Membuang sisa kulit pisang ke dalam tong sampah. Lalu mencuci sendiri piring bekasnya makan. “Aku peduli dengan bangsa ini,” imbuhnya, sambil mengeringkan tangannya pada kain yang menempel di dinding. Setelah menyimpan piring yang telah bersih itu di atas rak. Saba bersandar pada pinggiran kitchen counter yang terbuat dari kayu solid.
“Berarti kamu dari serikat buruh?” tebaknya.
Saba tertawa kecil.
Tebakannya mungkin salah. “Atau kamu dari mahasiswa pasca barangkali?”
Tawa Saba masih renyah.
Tebakannya salah semua. Ia bangkit. Menuju kitchen sink. Berdiri berdampingan dengan Saba. Melakukan hal yang sama dengan apa yang baru saja Saba lakukan. “Berarti kamu dari LSM.” Mungkin tebakan ini benar. Atau mendekati benar.
Saba menarik bahunya. Menipiskan bibir. Meninggalkannya entah ke mana.
Tebakannya salah semua. Mahasiswa bukan, LSM bukan, dari serikat buruh juga bukan. Lalu Saba dari mana?
“Aku rakyat biasa,” tangkas Saba yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.
...***...
“Mbak Nawa mahasiswa akhir jurusan apa?” tanya Arif yang tengah menyetir.
Sementara ia duduk di bangku belakang menjawab, “Kesehatan Lingkungan.”
“Ikut FKM dong, Mbak,” tebak Arif.
“Kok kamu tahu, Rif?”
“Dia pernah daftar di FKM tahun lalu. Tapi belum lolos,” sahut Saba yang duduk di sebelah Arif.
“Aku pilih gap year, Mbak. Mudah-mudahkan tahun ini bisa lolos,” sahut Arif.
“Kalau gak lolos lagi, Rif?” tangkas Saba berkelakar.
“Berarti Bang Saba doain aku gak lolos? Jangan dong!” tukas Arif.
Saba tertawa ringan.
“Pasti kamu bisa, Rif.” Sedangkan ia memberikan dukungan pada Arif.
Tawa Saba berhenti ketika ponsel miliknya yang tengah diisi baterai itu berpendar dan bergetar. Dengan tangan kanan, ia meraih ponsel tersebut.
“Ya, Yan. Info todate apa?” sahut Saba sambil menempelkan benda pintar itu ke telinganya.
“Massa aksi sebagian besar masih bertahan. Sebagian lagi membubarkan diri. Mereka menuntut bertemu perwakilan pemerintah. Tapi sampai sekarang gak ada satupun yang berani menemui mereka.”
“Artinya mereka pengecut.”
“Ya, begitulah. Kenapa lo kabur saat massa mulai ricuh tadi? Kawan kita si Zul lihat lo membopong salah satu mahasiswa yang terkena gas air mata. Lo sendiri gimana?”
“Gue gak kenapa-kenapa.”
“Syukurlah ….”
“Gue lagi di jalan, Yan. Pokoknya lo terus kasih gue update.”
“Beres. Jangan lupa besok pagi seperti biasa.” Yanri mengingatkan.
“Siap,” sahutnya. Sambungan telepon itu mati. Saba kembali mengembalikan ponselnya ke holder.
“Bang Yanri masih di lokasi ya, Bang?” tanya Arif.
“Kasihan mereka Rif. Ingin menuntut keadilan saja harus begini amat,” cibir Saba. “Hati nurani penguasa itu sudah mati oleh kursi empuk kekuasaan.”
Ia merilekskan punggungnya bersandar penuh ke belakang. Melihat situasi malam dari kaca. Ia kembali mengirimkan pesan pada ibunya bahwa agar tak mengkhawatirkannya.
Sesekali ia masih mendengarkan Arif dan Saba mengobrol. Tetapi ia memilih untuk tak bergabung dalam pembicaraan. Hanya pendengar. Lambat laun aktivitas otot dan pergerakan matanya melambat.
...***...
“Mbak, kita sudah sampai.” Arif mencoba membangun Nawa yang tertidur di belakang. Namun tidak ada sahutan. “Mbak …,” panggilnya lagi.
Sementara Saba telah berdiri di samping mobil. Menyuruh Arif untuk membangunkan Nawa yang terlelap hampir di sepertiga perjalanan mereka. Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah rumah. Sesuai titik lokasi GPS yang diberikan Nawa sebelum mereka berangkat.
“Mbak Nawa,” panggil Arif untuk ketiga kalinya. Belum ada respon. “Mbak … kita sudah sampai,” sambil menepuk-nepuk kaki Nawa.
Perlahan Nawa terbangun. Butuh beberapa saat untuk mengembalikan kondisinya.
“Mbak, kita sudah sampai di rumah Mbak Nawa,” ulang Arif. “Mbak tadi ketiduran. Untung ada GPS, jadi gak perlu bangunin Mbak.”
“O, ya, Rif,” tukasnya malu bercampur tidak enak hati. Bisa-bisanya ia malah tertidur. “Makasih, Rif,” sambungnya. Ia keluar dari mobil Saba. Dilihatnya laki-laki itu berdiri di depan pagar rumahnya. “Terima kasih,” ucapnya pada Saba yang membukakan pintu pagar untuknya.
“Aku cuma bisa mengantarkan kamu sampai sini.”
“Gak apa-apa. Ini juga sudah malam,” sahutnya.
“Aku tahu,” tukas Saba. Memutar tubuhnya lekas meninggalkan Nawa.
“Saba! Mm … Bang Saba,” panggilnya.
Saba menghentikan langkahnya. Lantas berbalik kembali menghadap Nawa yang berdiri di ambang pintu pagar.
Ia menarik bibirnya ke atas, kemudian menukas, “Makasih,” ucapnya sekali lagi.
Saba terdiam. Hanya tersenyum tipis. Tak lama kembali memutar tubuhnya. Masuk ke dalam mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Athalla✨
gk semua orang kepo sama kamu bang, Nawa tuh contohnya 🤣
2024-06-20
0
Athalla✨
walah kok tau,, bisa baca pikiran orang yee bang 🤭
aduh jadi malu Nawa 🙈
2024-06-20
0
Athalla✨
boleh bang 🤣
ehh lupa yg ditawarin kan Nawa bukan aku 😁😁
2024-06-20
0