“Gimana, gimana?? Dokter Aang ganteng kayak di posternya nggak?”
Begitu turun dari lantai dua dan mengakhiri sesi konselingnya, Devina langsung diserang oleh banyak pertanyaan dari Rilian yang sudah sangat penasaran dan tidak sabaran.
“Lebih baik dari yang diposter. Hanya itu yang bisa aku katakan.”
“Trus kapan kamu konseling lagi?” Rilian bertanya lagi. “Kalo kamu konseling lagi, aku akan daftar sebagai pasien.”
“Minggu depan. Kalo kamu mau konseling juga, akan lebih baik kalo kamu memberikan penyakit atau masalah yang benar-benar.” Devina berusaha mengingatkan rekan kerjanya yang sudah seperti sahabatnya.
“Kenapa emangnya? Bukannya hari kebanyakan yang datang juga begitu??”
“Kan kamu beneran berniat untuk ngejar Dokter Aang, kalo gitu jangan sampai kamu datang konseling minggu depan aja dan setelah itu minggu berikutnya, kamu nggak boleh datang.”
“Kok kamu bisa mikir gitu, Dev??”
“Tadi waktu konseling, Dokter Aang nyindir masalah pengunjungnya yang kebanyakan hanya berniat untuk cari alasan bertemu dengannya. Mau gimana pun Dokter Aang kan ahli psikologi, tentu dia bisa lihat pasiennya itu benar-benar pasien atau nggak kan!”
Rilian langsung merangkul Devina dengan erat sembari berjalan kembali ke kantornya di mana motor dan mobil Devina dan Rilian berada. “Kamu memang yang terbaik, Dev!!”
“Makasih untuk pujiannya. Anggap saja bayaran karena telah mengantarku ke sini.”
“Tapi-“ Rilian melepaskan rangkulannya di bahu Devina dan menatap Devina dengan mata penasaran.
“Apa? Kenapa??” tanya Devina bingung.
“Kamu nggak suka sama Dokter Aang?? Gimana pun aku lihatnya, Dokter Aang itu ganteng banget loh. Kalo kamu juga suka, kamu bilang sekarang dan kita bisa bersaing dengan adil.” Rilian kemudian memasang senyumannya kepada Devina.
Bagaimana aku harus mengartikan senyumanmu itu, Lian? Pertanyaan itu muncul di dalam benak Devina ketika melihat Rilian yang tersenyum padanya. Aku sudah belajar dari pengalaman, Rilian. Masalah laki-laki, aku tidak akan pernah bisa menang. Jadi lebih baik, kalo aku tidak mengulangi kesalahan yang sama dan berakhir dengan hasil yang sama. Devina memasang senyumnya sebelum memberikan jawaban untuk Rilian. “Dokter Aang terlalu ganteng. Punya pasangan kayak gitu cuma akan buat aku waswas aja nantinya.”
*
Setibanya di rumah, langit sore yang tadi merupakan kombinasi warna merah, merah muda, biru dan kuning kini telah berubah menjadi biru gelap yang mendekati hitam. Matahari yang bersinar dengan terang telah beristirahat dan tugasnya digantikan oleh bulan sabit.
“Kok baru pulang?” tanya Ainur-Ibu Devina yang heran mengingat hari ini Devina tidak mengirim pesan kalo akan lembur di kantornya.
“Ah tadi pergi sama Rilian bentar, Bu. Rilian minta dianterin ke suatu tempat.” Devina menjawab dengan berusaha menyembunyikan fakta bahwa dirinya pergi konseling karena mimpi-mimpinya yang semakin menyiksanya.
“Oalah. Ya udah cepat mandi, solat trus makan.”
“Ya, Bu.”
Devina melakukan rutinitas hariannya di rumah setelah pulang dari kantornya: mandi, solat, makan, kadang membantu ibu di dapur dan beristirahat. Tapi karena hari ini Devina pulang sedikit terlambat, Devina hanya membantu ibunya sebentar di dapur dengan mencuci, mengupas dan memotong beberapa sayuran untuk bahan makanan catering di keesokan hari.
“Mau ke mana kamu, Wi?”
Devina yang hendak tidur ketika jam menunjukkan pukul sembilan malam, melihat adiknya-Tiwi yang justru berdandan dengan riasan tebal dan mengenakan pakaian dengan potongan pendek dan terkesan seksi.
“Clubbing, Mbak. Ssstt!! Jangan bilang-bilang sama Ibu loh!!” Tiwi memberikan peringatan kepada Devina.
Satu hal buruk lagi dari Tiwi adalah kesukaannya dan caranya memandang dunia. Tiwi sangat suka menghabiskan waktu di luar rumah untuk bersenang-senang dengan teman can pacarnya terutama ketika malam tiba. Clubbing adalah salah satunya.
“Yang penting pulang sebelum Ibu bangun buat solat malam.” Devina mengingatkan. “Kamu tahu sendiri kan gimana Ibu?”
“Mbak nggak perlu ingatkan. Aku paling kenal gimana Ibu itu!!” Tiwi menganggukkan kepalanya sembari sedikit bergidik ngeri karena dialah yang paling sering bertengkar, adu mulut dan mendapatkan hukuman dari Ainur.
“Sama sapa perginya? Pacar atau temen?” Meski Devina membiarkan Tiwi pergi karena Tiwi sudah dewasa dan sudah bisa menentukan apa yang salah dan benar dalam hidupnya, Devina tetap melakukan tugas sebagai kakak Tiwi dengan memberikan pertanyaan kepada Tiwi mengenai teman bermainnya.
“Pacar dan temen.”
“Pacarmu yang mana? Yang sebelumnya atau udah ganti??”
Tiwi mengambil ponselnya, memainkan ponselnya sebentar dan tidak lama kemudian terdengar notifikasi dari hp Devina.
Pacar baru lagi. Devina hanya bisa mengatakan itu dalam benaknya ketika membuka notifikasi itu dan menemukan kontak baru dikirim oleh Tiwi.
“Ingat! Jaga diri baik-baik! Aku sebagai kakak berusaha untuk jadi penengah kamu dan Ibu. Aku paham kamu punya penilaian sendiri tentang dunia ini dan caramu melihat beda dengan Ibu. Tapi … kalo sesuatu terjadi sama kamu, aku nggak bisa lakuin apa-apa nantinya kalo Ibu marah sama kamu. Ngerti?” Devina mengingatkan Tiwi lagi.
“Mbak emang paling pengertian! Makasih!”
Setelah menyelesaikan riasannya, Tiwi kemudian memanjat jendela untuk keluar dari rumah tanpa ketahuan Ainur.
Dari jendela, Devina memperhatikan Tiwi dan beberapa temannya yang sudah menunggu Tiwi dengan mobilnya. Ahh … lihat gini, aku dan Tiwi memang seperti sisi koin yang saling berlawanan.
Setelah memperhatikan Tiwi pergi dengan teman-temannya, Devina menutup jendela kamarnya dan bersiap untuk tidur. Tidak lupa Devina melakukan meditasi singkat dan beberapa gerakan yoga yang disarankan oleh Dokter Aang padanya.
Selamat malam dan selamat tidur, diriku. Setelah mengucapkan beberapa doa sebelum tidur, Devina mengucapkan selamat tidur kepada dirinya sendiri dan mulai memejamkan matanya untuk tidur.
Hosh, hosh!!
Kenapa aku di sini lagi?? Devina menemukan dirinya sedang berlari lagi di tempat yang sama, suasana yang sama dan situasi yang sama: mimpi buruknya.
Lari!! Lari secepat yang kamu bisa! Jangan sampai tertangkap oleh ular itu!!
Sama seperti mimpi-mimpi buruk Devina sebelumnya, Devina mendengar perintah di dalam benaknya yang terus mengatakan pada Devina untuk terus berlari apapun yang terjadi. Dan sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya, Devina mematuhi perintah itu dan berlari sekuat tenaga.
Hosh, hosh!! Devina merasakan napasnya yang tersengal-sengal karena memaksa tubuhnya berlari kencang dari batasannya. Aku lelah!!
Jangan berhenti, Devina!! Begitu tertangkap oleh ular itu, aku tidak akan bisa melakukan banyak hal untuk menyelamatkanmu!!
Mimpi kali ini berbeda dengan mimpi-mimpi Devina sebelumnya. Perintah itu tidak ada di mimpi Devina sebelumnya. Kenapa ini? Kenapa ada yang beda sekarang? Apa karena mimpi terakhirnya yang bertemu dengan pria tak dikenal?? Sembari terus berlari, Devina mengajukan banyak pertanyaan di dalam benaknya dan berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi sama seperti sebelumnya, benaknya tidak memberikan jawaban yang dinginkan oleh Devina dan hanya memberikan perintah.
Lari, Devina!! Lari!!
Mimpi sialan!! Devina mengumpat dalam benaknya karena telah berusaha sekuat tenaga untuk lari tapi akhirnya sama seperti mimpi sebelumnya: Devina tertangkap oleh ular hitam besar bermata merah dan akan ditelan hidup-hidup oleh ular itu lagi.
“Devina sayangku.” Sama seperti mimpi terakhirnya, Devina yang harusnya masuk ke dalam perut ular justru berada di dalam kamar serba merah, berbaring di ranjang dengan seorang pria yang wajahnya masih tak bisa dilihat oleh Devina. Pria itu memeluk Devina yang masih dalam keadaan bingung. “Aku benar-benar merindukanmu, Devina.”
Harusnya dalam situasi ini, Devina berusaha melepaskan dirinya dari pelukan pria tak dikenal itu. Tapi entah kenapa Devina hanya bisa membiarkan pria itu memeluk tubuhnya karena perasaan nyaman yang langsung menyerang Devina ketika pria tak dikenal itu memeluk Devina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments