Manik begitu fokus pada persiapan lomba pidato yang akan berlangsung dalam sebulan, sehingga dia tidak memperhatikan gejala aneh yang terjadi pada dirinya sendiri. Dia menyadari bahwa mungkin semua orang di Sekolah Amanta mengalami hal serupa, tetapi mereka tetap merahasiakannya. Manik masih berpikir bahwa pengalaman yang dialaminya juga bisa dialami oleh siapa saja.
Sementara Candra sibuk dengan perlombaan olimpiade, Manik sibuk dengan perlombaan pidato. Dia menuangkan semua emosi yang ada dalam dirinya ke dalam karya syair yang indah dan memukau.
Manik memiliki sepupu laki-laki yang menjadi mitranya dalam berlatih untuk menjadi penakluk panggung lomba. “Intinya, aku sudah menghadapi kekalahan dan kelelahan sebelumnya. Aku akan mencoba yang terbaik,” gumam Manik dalam hati.
Ketika berlatih dengan sepupunya di malam hari, Manik selalu mengambil waktu untuk mengatasi ketegangan, kegelisahan, dan ketakutannya sebelum dan sesudah tampil di panggung. Baginya, “Perasaan sebelum naik ke panggung lebih mengguncang jiwa karena ketakutan akan hal-hal yang tak seharusnya terjadi karena pikiran yang tidak terkendali.”
Di kelas, Manik rajin melatih dirinya untuk menghafal materi pidato yang akan dia tampilkan di lomba. Candra khawatir karena semangatnya yang begitu tinggi, dan mengingatkan, “Manik, kamu pasti bisa. Lombanya masih jauh, jangan terlalu memaksakan diri dalam latihan, nanti bisa membuatmu sakit.”
Manik berusaha memberikan penampilan terbaiknya agar sekolahnya dapat memenangkan perlombaan. Keinginan ini memberikan semangat padanya untuk menjadi lebih berani. Namun, setiap kali ia akan mengikuti perlombaan, Manik selalu mengalami sakit, meskipun bukan disengaja. Jika ia memahami dirinya sendiri, ia menyadari bahwa rasa tegang dan grogi bukan penyebab utamanya.
Manik tidak terlalu memikirkan kondisi fisiknya saat ia sakit karena melihatnya sebagai kesempatan yang baik. Memang benar tubuhnya demam, batuk, dan pilek, tetapi ia merasa sehat. “Kalau Ibu melihatmu, wajahmu tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit, hanya saja tubuhmu sedang demam,” kata Ibu Ida saat memeriksa Manik sambil membawakan bubur ayam di pagi hari. Kemudian, Ibu Ida sibuk mempersiapkan barang-barang jualan. Saat Manik sendirian di kamar, ia merasa ada bisikan di telinganya yang memanggil-manggil namanya. Sontak saja, Manik terbangun lagi karena mengira itu ibunya.
Ternyata, tidak ada siapa pun di sana.
“Aku kira tadi ibu yang memanggilku,” gumam Manik dalam hatinya sambil memandang ke arah pintu.
Manik pun memutuskan kembali beristirahat.
Sosok Api Merah
Selama beberapa hari, Manik pergi ke sekolah dalam kondisi yang belum sepenuhnya pulih, namun semangat belajarnya mendorongnya untuk tetap kuat. Ketika sampai di rumah, ia langsung beristirahat dan mengurangi aktivitas yang tidak perlu. Di malam hari, Manik diantarkan ibunya ke rumah sepupunya untuk melanjutkan latihan pidato kembali untuk kedua kalinya.
Dalam latihan, Manik sudah mampu mengontrol intonasinya dengan baik dan mengartikulasikan kata-kata dengan jelas. Sepupunya juga memberikan saran untuk selalu minum air jahe hangat agar kondisi suaranya semakin membaik dan terjaga hingga hari perlombaan.
Setelah pulang dari rumah sepupunya, Manik memutuskan untuk pulang sendiri dengan berjalan kaki. Rutenya cukup dekat, melewati gang tengah, kemudian gang jingga, dan terakhir gang utara. Meskipun kondisi jalanan cukup menyeramkan, Manik tidak terpengaruh dan melanjutkan perjalanan kaki.
Namun, sebelum berbelok menuju Gang Jingga, ayahnya Manik sudah tiba dan berkata, “Kamu seharusnya tidak berjalan kaki, ibu bilang bahwa bapak yang akan menjemputmu, kan?”
Manik menjawab, “Tidak apa-apa, Pak. Manik tidak ingin merepotkan mereka (sepupu) jika sudah terlalu malam.”
Saat bapaknya Manik mulai mengendarai motor, Manik melihat selembar kain putih terbang di perempatan jalan dari arah barat gang tengah. Tanpa ragu, Manik menunjuk ke arah barat dan memberitahukan kepada bapaknya. Sontak saja, Pak Ida berkata, “Eh! Jika Anda mengganggu orang yang salah, Anda akan berhadapan dengan Tuhan kelak.” Pak Ida kemudian mengucapkan sebuah mantra dan pergi ke rumah.
Manik yang ketakutan bertanya, “Pak, apa yang tadi itu?”
Pak Ida menjawab, “Tenang, Manik, itu hanya ulah orang iseng.”
Setibanya di rumah, Pak Ida segera memerintahkan kepada istrinya untuk membuatkan sarana aji. “Ibu, buatkan, segera...” ujarnya dengan suara lantang. Sang istri terkejut mendengar permintaan suaminya, “Ada apa tadi, Pak?”
Pak Ida menjelaskan apa yang baru saja ia lihat, membuat sang istri kaget dan ketakutan. Dengan gemetaran, sang istri segera mempersiapkan sarana aji untuk diletakkan di depan rumah.
Sarana aji adalah alat terbuat dari daun pohon kelapa yang dibentuk menyerupai tameng. Pak Ida memberitahu Manik untuk berdoa di halaman rumah sebelum masuk ke ruang tamu. “Pak, tadi bapak juga melihat, kan?” tanya Manik untuk memastikan bahwa ia tidak sendiri yang melihat. Pak Ida mengiyakan.
Saat ini, Pak Ida menyadari bahwa Manik memiliki mata batin. Namun, ia juga menyadari bahwa kekuatan ini dapat menjadi masalah jika tidak digunakan dengan bijaksana. Ia memberi tahu Manik untuk tidak sembarangan menoleh atau berbicara dengan makhluk yang tidak dapat dilihat oleh orang lain.
Sambil menunggu sang istri menyelesaikan sarana aji, Pak Ida meminta Manik untuk pergi ke dapur dan mengambil arang dari tungku tempat ibu memasak. Ia menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari pengenalan jati diri Manik dan untuk kebaikannya.
Setelah persiapan selesai, Pak Ida memasang sarana aji di depan rumah. Malam itu, ia menjaga rumah hingga dini hari. Manik bertanya tentang kejadian tadi, tetapi Pak Ida hanya bisa terdiam dan meminta Manik untuk tidur karena sekolah menanti.
Namun, tiba-tiba terdengar suara mengerikan dari depan rumah Manik, tetapi hanya Manik dan Pak Ida yang mendengarnya. Pak Ida mengucapkan mantra untuk melindungi rumah mereka dari gangguan tersebut, tetapi Manik tidak bisa tidur. Suara tersebut mengganggunya.
Sosok hitam besar muncul sekitar sepuluh meter dari depan rumah Manik. Ia mengancam dan mengolok-olok, tetapi Pak Ida tidak gentar. Dengan sebuah daun kelapa yang dibakar, Pak Ida melangkah maju. Sosok tersebut kemudian menghilang.
Manik, yang ketakutan, mengalami demam panas yang tinggi. Ibu Ida membangunkannya untuk mengganti baju yang basah oleh keringat. Nafas Manik terengah-engah seperti seseorang yang baru saja berlari mengelilingi lapangan. “Ternyata tadi itu hanya mimpi,” gumam Manik dalam hatinya.
Babi Hitam
Masih menjadi misteri apa yang dialami oleh Manik akhir-akhir ini sehingga orang tua Manik bertanya kepada Sesor, seorang ketua adat yang memiliki kekuatan batin yang sangat kuat. Pertanyaan orang tua Manik dijawab oleh Sesor dengan bijak, “Seperti bunga yang baru saja mekar, indahnya akan selalu memikat lebah...” Sesor berbicara kepada orang tua Manik.
Kemarin malam, Manik menyadari bahwa ia memiliki kekuatan batin yang memungkinkannya melihat makhluk dari dimensi lain. Penemuan ini sangat mengejutkan bagi Manik, awalnya ia mengira semuanya hanyalah ilusi. Namun, dalam mimpi, Pak Ida, orang tua Manik, memberitahu Manik bahwa kejadian yang dialaminya itu nyata. Pak Ida menjelaskan bahwa ia sendiri berhadapan dengan api merah, sementara Manik yang mampu melihat sosok besar hitam, sebenarnya adalah wujud aslinya.
Manik melanjutkan ceritanya kepada Sesor tentang pengalamannya dengan makhluk dari dimensi Peteng. Dia bercerita bahwa dia pernah melihat seekor babi hutan berwarna hitam di salah satu rumah di Gang Jingga. Yang mengejutkan, Manik sama sekali tidak merasa takut dan bahkan mendekati hewan tersebut dengan tenang. Hanya saja, ketika dia berkedip sebentar, babi hitam itu tiba-tiba menghilang, meninggalkan Manik dalam keheranan.
Sesor mendengarkan cerita Manik dengan penuh perhatian. Setelah Manik selesai bercerita, Sesor tersenyum bijaksana. “Manik, apa yang kamu alami adalah sebuah tanda. Kamu memiliki aura yang langka dan ini disebut dengan Magnesa,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
“Magnesa?” Manik bertanya heran.
Sesor menjelaskan lebih lanjut, “Magnesa adalah ikatan batin yang memungkinkan seseorang untuk merasakan, melihat, bahkan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk dari dimensi Peteng. Ini adalah kemampuan yang sangat langka, Manik, dan hanya sedikit orang yang dimilikinya.”
Manik mencoba mencerna informasi tersebut. Ini semua terasa begitu aneh dan misterius, tetapi juga menarik. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi dalam hidupnya.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan dengan kemampuan ini, Sesor?” tanya Manik, penuh antusiasme.
Sesor tersenyum lembut. “Pertama, kamu perlu belajar mengendalikan dan memahami kemampuan ini dengan baik. Ini adalah anugerah yang besar, tetapi juga memerlukan tanggung jawab. Kedua, kamu harus belajar menghormati dunia makhluk dari dimensi Peteng dan berkomunikasi dengan mereka dengan bijaksana. Dan yang terakhir, kamu harus menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia Peteng.”
Manik mengangguk paham. Ini adalah awal dari petualangan barunya, dan dia merasa bahwa dengan bimbingan Sesor, dia akan belajar lebih banyak tentang Magnesa dan bagaimana menggunakannya untuk kebaikan.
Sesor dan Manik terus berbicara hingga larut malam, membahas tentang dunia yang lebih luas di luar pemahaman manusia biasa. Manik merasa bahwa hidupnya telah mengalami perubahan besar, dan dia siap untuk menjalani peran barunya dalam menjaga keseimbangan antara dua dunia yang berbeda.
~ Catatan ~
Kebaikan adalah cahaya yang kita bawa ke dalam dunia yang penuh kematian. Saat ajal menjemput, hanya kebaikan yang akan membimbing kita melalui gelapnya malam. Jangan sia-siakan setiap momen hidup, sebab kematian tak kenal waktu. Bersiaplah, jangan lalai, dan gunakan waktu ini dengan bijaksana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Vivi Z
semoga makin ramai
2023-09-27
2
Dima
horornya berasa sih kurang panjang aja ceritanya 🫢
2023-09-26
4
Agas
Semangat author
2023-09-24
4