Enora berjalan cepat menuju pohon besar dan rimbun yang berada di atas bukit, sisi kanan tempat festival seni. Dia tahu bahwa pria berambut panjang itu selalu berdiri di sana setiap festival seni tahunan, karena sejak tiga tahun lalu dia berkerja sebagai mascot, gadis itu sudah memperhatikannya seakan dia merasa pernah bertemu dengan pria itu. Sayangnya, dia tak mengingatnya.
Terakhir Enora datang di festival ini sekitar usianya enam tahun namun setelah itu dia tak pernah datang lagi ke festival karena sang kakek melarangnya dan membawanya pergi ke Italy. Tapi ketika gadis itu berusia dua belas tahun, kakeknya meninggal dunia dan akhirnya dia dikirim kembali ke Indonesia untuk melanjutkan sekolah menengahnya di sini. Tentu saja sesampainya di sini dia ingat akan festival seni ini dan akhirnya dia baru bisa datang kembali pada festival ini lagi.
Sampailah dia di bawah pohon itu. Enora mencari sosok pria berkulit sawo matang dan rambut panjang yang selalu di kuncir setengah namun ia tak menemukannya.
“Om pohon udah pulang kali, ya?” gumam Enora.
Enora masih melihat sekelilingnya dengan harap bisa menemukan Om pohon, namun yang ia dapat bukan orang itu, melainkan sebuah saputangan. Ia mengambil saputangan itu dan memperhatikannya. Untungnya pantulan cahaya lampu bisa sampai walaupun tidak terlalu terang. Saputangan itu berwarna merah muda dengan jahitan berbentuk kelinci dan terdapat tulisan di bawahnya.
...“Badan doang kekar tapi sapu tangan warna pink” cibir Enora....
Sekali lagi dia memastikan bahwa tidak ada orang disana dan akhirnya dia pergi dengan membawa benda itu.
...🧸🧸🧸🧸🧸...
Anderson telah kembali ke rumahnya meletakan barang yang dia bawa di atas meja kerja, kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Kini pria itu sedang berdiri diam saat air pada shower membasahi tubuhnya.
Ia memejamkan matanya berusaha untuk mengosongkan pikiran namun tak bisa. Dia kesal dan mulai berontak, memukul dinding keramik dengan emosi yang bergejolak. Entah apa yang sedang dia pikirkan namun ini bukan untuk pertama kalinya.
Pikiran Kosong. Perasaan Kacau. Putus asa. Kecewa. Membenci diri sendiri. Itulah perasaan yang selama lima belas tahun ini dia rasakan.
Hampir setengah jam Anderson menghabiskan waktunya di kamar mandi dan kini dia pun keluar dengan handuk yang melilit pada pinggangnya. Tubuh kekar dan berotot itu terekspos sempurna, tak lupa rambut panjangnya yang basah dan kulit eksotis memberikan citra yang sangat seksi untuk seorang Anderson. Dia berjalan kembali ke ruang kerja dengan tampang yang seperti itu.
Sesampainya di sana, dia mengeluarkan benda yang tadi dia beli. Patung daun itu terlihat sangat sederhana namun manis untuk dipandang.
“Benda ini mengingatkan saya tentangmu” ujarnya sambil menatap foto bingkai besar yang berada tepat di atas sana.
“Maafkan saya karena berbicara terlalu formal denganmu, Sayang” lanjutnya.
Anderson meletakan patung itu di atas meja dan kembali mendongak untuk melihat kearah foto besar itu.
Foto itu adalah foto sang istri yang sedang hamil. Di foto itu, wanitanya tersenyum lebar membuat matanya ikut tersenyum sambil meletakan tangannya di perutnya, seakan sedang mengelus perut itu. Rambut lurus panjang yang hitam serta gaun berwarna putih panjang benar-benar membuatnya terlihat sangat cantik.
“Saya harap kamu bahagia dengan malaikat kecil kita di sana. Maafkan saya karena tidak bisa melupakanmu. Maafkan saya karena tidak rela dengan kepergianmu. Maafkan saya karena telah mengingkari janji kita. Tolong maafkan saya ....” gumamnya.
“Alora, saya kesepian. Saya membutuhkanmu, saya rindu ....” suaranya bergetar, air matanya ikut terjatuh membasahi pipi.
“Selama ini saya hidup tanpa arah, Alora. Kemana saya harus pergi? Saya bingung. Apa yang harus saya lakukan? Kamu nggak ada disisi saya,” keluhnya terisak.
Patung daun itu membuatnya merindukan wanita cantiknya, mengingat kembali kenangan waktu mereka bersama. Semua tentang Alora selalu diingat Anderson.
Namun tiba-tiba ponselnya berdering menyadarkan pria itu. Ia meraih benda persegi panjang itu dan melihat nama yang tertera di layar benda persegi panjang tersebut. Keningnya berkerut tak suka dengan pemilik nama yang tertera di sana, namun dia tetap mengangkat panggilan itu kemudian menempelkan benda itu di telinganya.
“Halo,” ucap seseorang di seberang sana.
“Apa yang kau inginkan.” Ujar Anderson datar.
“Datanglah ke rumah sakit, nenekmu ingin bertemu denganmu."
Tanpa menjawab pria itu langsung menutup panggilan tersebut dan keluar dari ruang kerjanya.
Ia akan bergegas ke rumah sakit untuk menemui sang nenek walaupun dia tahu bahwa sang nenek yang dia sayangi ingin menjodohkannya lagi dengan Verra Hardiansha—kerabat jauh neneknya—namun dia akan tetap menolak.
Sesampainya di depan kamar dimana wanita paruh baya itu dirawat, ia pun langsung membuka pintu itu.
“Selamat malam, Nek,” salam Anderson.
“Malam juga cucuku yang ganteng,” jawab Sandra—nenek Anderson.
Dia berjalan kearah ranjang sang nenek dan duduk di kursi yang sudah ada di samping ranjang itu. Tentu neneknya tidak sendiri, ada Rose—Ibu tiri Anderson, wanita itu yang meneleponnya—juga di sana.
Anderson mengabaikan Rose, pria itu sangat membenci Ibu tirinya itu entah apa alasannya, namun Rose tetap menyayangi Anderson seperti anaknya sendiri.
...🧸🧸🧸🧸🧸...
Enora baru saja tiba di rumahnya, menyalakan lampu ruang tamu kemudian meletakan barang-barang bawaannya. Dia sangat kelelahan bekerja dari jam sepuluh pagi hingga sepuluh malam menguras ekstra tenaganya. Ia berbaring di sofa dan mata melirik kearah jam dinding ukuran besar, jarum jam menunjukan pukul 12:30 dia menghela nafasnya berat.
“Udah jam segini, mana besok sekolah pagi lagi,” gumamnya.
Tiba-tiba dia ingat akan sesuatu kemudian meraba kantong celananya dan mengeluarkan benda berwarna merah muda dan melihatnya. Dia terus melihat benda itu lebih tepatnya jahitan nama itu.
“Anderson. Jadi nama Om pohon, Anderson. Kayak gue pernah dengar nama ini deh, tapi dimana?” gumamnya sambil mengingat-ingat nama itu.
Tiga tahun lalu saat dia datang ke festival itu tanpa Elson—kakeknya, tempat pertama yang dia lihat adalah pohon rimbun di sisi kanan area festival. Di tahu, pohon besar itu selalu ada di sana namun dia lupa apa yang pernah dia lakukan di bawah pohon itu. Entah mungkin dia bermain di tempat itu atau apalah, dia benar-benar tidak ingat. Namun, ketika melihat pria itu berdiri di sana, dia seakan familiar dengan penampakan yang dia lihat.
Walaupun dia terus memaksa untuk mengingat tetap saja otaknya tidak memutar kembali memori lamanya, dia pun menyerah.
“Tapi yakin nih, gue harus tunggu setahun buat balikin saputangan ini?" katanya berpikir. "Pusing gue mikirnya, mending tidur” lanjut Enora dan langsung pergi ke kamarnya.
Enora masuk ke dalam kamarnya yang cukup luas dengan dekorasi serba putih bahkan ada sekitar empat patung mitologi yunani berwarna putih dan belasan lukisan yang cukup besar yang mana semua itu buatan sang kakek. Tentu saja dia akan menjual barang-barang itu secara online untuk menambah biaya hidupnya sendiri, dari pada meninggalkan itu hingga berdebu.
Elson adalah seorang seniman hebat di Italy. Pria itu juga mengajari Enora tentang memahat dan melukis. Namun gadis itu tak sehebat kakeknya.
Enora membuang tubuhnya di atas kasur matanya sudah cukup berat dan akhirnya ia tertidur lelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
jeesomoody_
tpi knapa kakek enora lgsg tbtb bawa enora pergi setelah ketemu anderson?
2024-04-25
1
jeesomoody_
oh jadi anderson masih blm bisa lupa alora..
2024-04-25
1
👑 STEPHAN HARUKA 👑
Serius, baru kali ini gue terpesona sama cerita setebal ini!
2023-09-14
0