Satu minggu sudah berlalu, Sophia pun telah pulih dari sakitnya. Di pagi hari yang mendung ini, Arthur dan Agatha sedang membimbing Sophia untuk mencoba berbagai pekerjaan.
Mencari pekerjaan yang bisa Sophia tangani di rumah ini.
Sophia pun telah mengenakan seragam maid hitam dan putih yang panjangnya hanya selutut dan tangan yang bahkan tak sampai siku. Ia juga telah didandani secantik mungkin. Karena bagi seorang maid perempuan, selain terlihat rapi dan bersih, penting juga mereka terlihat cantik.
Tujuannya tak lain supaya bila ada tamu yang berkunjung ke rumah ini, mereka merasa nyaman dan betah berada di sini.
Dan Angkasa pun merasa nyaman dan suka pada semua maid-maid nya.
Saat ini Arthur, Agatha, dan Sophia yang sedang memangku Peter, tengah berada di dapur.
"Peter, duduklah di sini, oke!" Sophia mengelus kepala belakang Peter. Sejak malam Peter tak ingin ditinggal jauh olehnya, karena itu saat ini dirinya pun sedikit terhambat dalam bekerja.
Peter menganggukkan kepalanya sambil mengigit mainannya.
"Sophia, katakan menu apa saja yang bisa kamu masak!" perintah Agatha menyiapkan nampan dan pisau, sementara Arthur berdiri sambil memegang buku tulisan untuk nanti mencatat hal-hal yang memang perlu dicatat sebagai bukti laporan pada tuan muda.
"Telur," jawab Sophia tak berpikir panjang. Toh, yang dirinya bisa masak memang hanya telur.
"Selain itu?" tanya Agatha memiringkan kepalanya, mengangkat alisnya sambil menatap Sophia dengan tatapan seakan tak percaya dengan apa yang baru saja Sophia katakan.
"Air mungkin." Sophia memperlihatkan senyumnya hingga terlihat giginya yang bersih dan rapi. Ia meremas pakaiannya melihat ekspresi Agatha yang sepertinya tak suka pada jawaban dirinya.
Dirinya hanya menjawab dengan jujur. Memang apa salahnya.
Agatha menghela napas.
"Selain telur dan air?"
"Mungkin roti. Tapi sebenarnya roti yang ku buat pun tidak terlalu enak rasanya."
"Hanya itu?" tanya Agatha dijawab anggukkan kepala yang asa-asa oleh Sophia.
"Apa kamu tidak bisa memasak sejenis daging-dagingan atau hal lainnya selain dari yang kamu sebutkan tadi?"
"Aku tidak bisa memasak makanan enak karena aku hanya orang miskin yang setiap harinya makan telur goreng, telur rebus, telur mata sapi, itupun pemberian dari tetangga. Makanan terenak bagi kami adalah roti. Meskipun tawar bagi kami itu cukup istimewa," balas Sophia seketika membuat Agatha tercengang.
Agatha dan Arthur saling melempar pandang.
"Baik, kami mengerti. Sepertinya pekerjaan di dapur tidak cocok untukmu. Mari kita pindah ke tempat lain," ajak Arthur mempersilakan para wanita untuk berjalan terlebih dahulu.
"Sophia, karena kamu tidak bisa memasak, aku sarankan kamu untuk mencoba menjadi tukang bebersih di rumah ini. Seperti mereka!" Agatha menunjuk pada para maid perempuan dan laki-laki yang sedang bekerjasama membersihkan langit-langit rumah.
Mereka melambaikan tangannya pada Sophia.
"Kamu cobalah untuk bebersih bersama mereka," pinta Agatha.
Arthur melihat ke jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ia mengangguk tatkala Agatha menatapnya.
"Satu jam lagi tuan muda akan datang, segeralah dalam bekerja!" perintah Arthur dengan keras supaya seluruh pekerja dapat mendengarnya.
Agatha pergi meninggalkan Sophia untuk pergi memasak bersama koki.
"Peter, bermainlah di sini! Aku harus bekerja. Apa kamu mengerti? Jangan pergi ke mana-mana, ya!" pesan Sophia meletakkan Peter di pojok ruangan.
Sementara dirinya berlari ke arah para maid lainnya yang sedang bekerja.
"Uh, sialnya aku. Aku baru saja selesai membersihkan lantai depan dan sekarang turun hujan yang deras. Sia-sia saja aku membersihkannya hingga tanganku terasa mau lepas," keluh seorang maid perempuan pada maid yang lainya sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
Sophia menatap ke arah para maid tersebut.
"Tapi itu sebanding dengan gaji yang kita terima. Tuan muda tidak mengurangi gaji kita karena hujan yang membasahi rumahnya, jadi bersyukur saja," timpal yang lainnya.
"Tuan muda datang!"
"Tuan muda datang!"
"Tuan muda datang!" ucap para maid-maid berhamburan untuk menyambut kedatangan Angkasa. Para maid laki-laki membersihkan sisanya.
Sophia bingung antara harus ikut bersama maid perempuan, atau ikut membantu maid laki-laki. Namun baru saja ia teringat pada Peter.
Sophia berjalan ke pojok ruangan, sialnya ia tidak mendapati Peter di sana. Melihat ke kanan, kiri, depan, belakang, bahkan hingga menyelinap di antara para maid dirinya tetap tidak menemukan Peter.
"Ugh, kenapa aku selalu sial di saat hujan. Aku sangat benci hujan," pekik Sophia memegangi kepalanya sembari menatap langit-langit rumah.
Di saat yang lain sedang menyambut masuk Angkasa, Sophia justru menyelinap menghindar dari yan lainnya.
"Peter, di mana kamu?" teriak Sophia tak terlalu keras, tubuhnya terus membungkuk untuk mencari keberadaan Peter. Ia membungkuk berhubung tubuh Peter yang masih kecil.
"Tuhan, jangan hilangkan adikku! Aku tidak punya alasan lagi untuk hidup kecuali untuknya," harap Sophia meletakkan dua tangannya di dada.
Sophia menghembuskan napasnya lelah, ia menegakkan kembali tubuhnya yang pegal terus membungkuk.
"Sial, sial, sial, aku sangat benci hujan. Kapan matahari akan datang? Hilanglah kau hujan sialan," maki Sophia menatap tangga menuju lantai dua.
Langkahnya harus terhenti di ujung tangga karena Arthur telah memperingati dirinya untuk tidak naik ke lantai atas di mana di sana terletak kamarnya tuan muda. Konon katanya hanya segelintir orang yang diperbolehkan naik ke atas sana.
"Peter, di mana kamu?" panggil lagi Sophia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, kakinya sudah terlalu letih untuk melangkah.
"Mengambil lima langkah mungkin tak masalah," ucap Sophia pada dirinya sendiri, berbicara tentang dirinya yang hendak nekat menaiki tangga. Hanya lima langkah demi melihat lebih tinggi sehingga mungkin dirinya bisa melihat di mana Peter berada.
Suara langkah sepatu menaiki tangga terhenti setelah lima langkah. Sophia benar-benar hanya menaiki lima tangga.
"Ugh, persetan dengan aturan rumah ini. Haruskah aku tetap naik ke atas untuk menemukan Peter?" Sophia memegang bibir bawahnya.
"Melanggar peraturan, berbicara kasar, bertingkah tanpa sopan santun, apa kamu tumbuh tanpa etika?" cibir Angkasa dari belakang tubuh Sophia.
Sejak tadi ia diam sambil memperhatikan Sophia yang menghalangi jalannya. Dan semenjak tadi yang terdengar olehnya dari mulut Sophia hanya kata-kata kasar dan umpatan. Sungguh gadis yang memiliki etika yang buruk.
Sophia membalikkan badannya secepat kilat setelah mendengar seseorang yang berbicara begitu dekat dengannya, tanpa sengaja kaki kirinya justru malah terkilir.
Sophia limbung, ia berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya. Sampai saat ini tangan Angkasa masih setia berada di saku celananya, menatap dengan dingin pada Sophia yang tubuhnya tengah limbung.
Angkasa mengeluarkan tangannya dari saku dengan maksud menolong Sophia, namun takdir berkata lain, ia terlambat dan Sophia jatuh pada tubuhnya.
Sophia mengelus kepalanya yang terbentur keras pada dada orang yang ada di hadapannya saat ini.
Sophia membuka matanya pelan-pelan.
"Pangeranku!" panggil Sophia spontan di saat melihat wajah Angkasa.
"Ppft!" Cooper yang berada di belakang Angkasa membekap mulutnya yang tak kuasa ingin tertawa. Telinganya tak mungkin salah dengar bahwa tadi Sophia memanggil Angkasa dengan sebutan Pangeranku.
"Sialan. Diam kau!" tegas Angkasa melirik Cooper.
"Dan kau, berhenti memanggilku pangeran mu! Aku bukan pangeran mu," kata Angkasa kembali memasukkan lagi tangannya ke saku celana.
"Tapi kamu selalu datang di saat aku dalam bahaya. Kamu memang pangeranku," ucap Sophia. Sejujurnya ia masih tidak tahu siapa nama orang yang sekarang ada di hadapannya saat ini, yang telah menyelamatkan hidupnya untuk kedua kalinya.
"Sophia, sopan lah pada Tuan Muda," tegur Arthur dari belakang tubuh Cooper.
"Apa kamu tuan muda yang bernama Angkasa itu?" tanya Sophia begitu polosnya menujuk Angkasa.
"Ya. Menyingkir lah dari hadapan ku sekarang!" perintah Angkasa melipat jari tangan Sophia yang menunjuknya.
"Maafkan aku," lirih Sophia membungkuk pada Angkasa.
Angkasa tak menghiraukan permintaan maaf Sophia, ia tetap fokus melangkah.
"Sophia!" tegur Agatha membawa Sophia turun dari tangga.
"Sekarang aku sudah menemukan pekerjaan yang paling tepat untukmu," celetuk Arthur.
"Apa itu?" tanya Sophia dan Agatha berbarengan saking penasarannya mereka berdua.
"Menjadi tukang kebun," kata Arthur yakin dengan ucapannya.
"Tugasmu hanya menyiram dan terus menerus merawat bunga-bunga yang ada di rumah ini, bersama tukang kebun lainnya. Bagaimana?"
"Aku tidak masalah," ungkap Sophia mengangkat dua bahunya.
Justru menurutnya menjadi tukang kebun yang hanya mengurus bunga, lebih baik ketimbang bekerja di dalam rumah yang dirinya serba tak bisa. Dengan bekerja di kebun juga mungkin dirinya bisa mengajak Peter bermain di tanah bersamanya.
Sophia menatap tangga. Entah hanya perasaannya, tapi memang benar adanya bahwasanya dirinya dan tuan muda Angkasa selalu bertemu ketika hujan dan setiap ketemu selalu saja bertubrukan.
Apa maksudnya semua itu? Mungkinkah itu takdir? Tapi takdir macam apa yang akan terjadi antara gadis miskin dan tuan muda kaya raya?
Follow Ig : maeee331
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments