“Aduh! Lepas lagi! Kabur ke mana sih, ayamnya?”
Seorang pria menyibakkan semak ilalang, untuk mengejar ayam hutan langka yang kabur. Srak! Srak! Dari arah kanan, dia mendengar suara desau, seperti langkah kaki yang menginjak daun kering. Sontak bola matanya menelusuri arah suara tersebut.
“Kurrr! Kurrr!” Pria dengan blangkon di kepalanya itu menaburkan segenggam biji-bijian, sambil menirukan suara unggas berwarna hitam legam tersebut.
“Tolong, Pak. Tolong aku.”
"Eh? Suara perempuan? Di tengah hutan begini?"
Telinga lelaki itu samar-samar mendengar suara wanita yang meminta tolong. Gerakan tubuhnya pun terhenti. Matanya mengawasi sekeliling, tetapi dia tak melihat siapa pun.
Belantara ini begitu lebat untuk dimasuki oleh seorang wanita. Meski mentari masih bersinar, namun sinarnya telah meredup dan berwarna jingga. Menandakan malam akan segera datang. Suasana di lantai hutan ini pun cukup gelap, karena kanopi hutan dari pepohonan tinggi yang begitu rapat.
"Bapak bisa dengar suaraku? Tolong aku, Pak. Aku terjebak di sini dari kemarin."
"Di mana? Siapa itu?" seru pria itu sambil menahan rasa takut. Tetapi hati kecilnya juga merasa iba, mengetahui seseorang terjebak di sana. Mungkin saja itu pendaki gunung yang tersesat, kan?
"Di sini, Pak." Suara itu kian terdengar jelas, namun sedikit merintih.
"Ya di sini itu maksudnya di mana?" seru pria itu dengan suara bergetar. Kedua tangannya menggenggam erat sebilah bambu, untuk mengurangi rasa takut.
Tidak ada yang menyahut. Hanya terdengar suara dedaunan yang saling bergesekan.
Berkali-kali lelaki berkulit cokelat itu menyentuh tengkuknya yang meremang hebat. Hatinya mulai merasa ragu. Bagaimana mungkin ada suara tapi tak terlihat siapa pun?
Perlahan kakinya melangkah mundur, mencari celah untuk kabur. Namun matanya tetap menelisik setiap celah dedaunan dengan waspada.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Helaian kain yang tidak sempurna, disertai lumuran darah membuat pria bertubuh tegap itu tersungkur ke rerumputan. Rambut panjangnya menjulur ke tanah, hingga menyapu dedaunan kering di lantai hutan yang lembab.
Sosok yang merintih pilu itu menampakkan dirinya dengan samar. Memamerkan senyumannya pada lelaki paruh baya tersebut. Bukan senyuman manis, melainkan senyuman lebar. Sangat lebar, hingga ke pipi.
“Hahaha … kayaknya aku salah dengar. Kira-kira ayam tadi lari ke mana, ya?” ujarnya sambil beringsut ke belakang. Netranya memandang ke arah lain, pura-pura tidak terjadi sesuatu.
“Nggak usah pura-pura. Bapak bisa melihatku, kan? Hihihihi …”
Seluruh tubuhnya kaku dan membeku. Ke mana pun matanya memandang, hanya sosok itulah yang dilihatnya. Selama beberapa saat, dia hanya bisa terduduk di lantai hutan yang lembab dan kotor. Lelaki itu baru menyadari, bahwa pohon rindang tempat dia beristirahat adalah pohon beringin raksasa.
"Kok Bapak diam aja? Bukannya para lelaki suka ketemu perempuan cantik kayak aku? Ayo bawa aku pergi. Hihihi ..."
"Tolong! Tolong aku!" Pria itu mengumpulkan segenap tenaga, lalu berusaha kabur dari sana. Dia bahkan telah melupakan ayam yang hendak ditangkapnya tadi.
"Haaah, lagi-lagi semuanya pergi. Apa nggak ada yang mau mengantarku pulang? Aku kesepian di sini. Apa perlu aku membantunya menangkap ayam itu?" Sosok itu sepertinya nggak sadar, jika dia telah beda alam dengan manusia.
“Hah? Dia kembali lagi?” Sosok makhluk halus itu heran, melihat pria berperawakan tinggi dan tegap itu datang kembali sambil berlari. “Duh, gagah banget, sih. Waktu muda dia pasti cakep banget.”
“Persetan sama hantu atau apalah itu! Pokoknya obat untuk anakku harus ketemu.” Bibir pria itu berkomat-kamit mengucapkan do’a, saat melalui sosok yang melayang di atas kepalanya.
“Dia berbeda dari pria lainnya.” Sosok itu lalu menyamarkan diri agar tak terlihat, dan membawa seekor ayam ke dekat pria itu.
...***...
"Pak Pandu ... Astaghfirullah. Bapak ke mana aja? Anak Bapak ...?"
"Anak saya kenapa?"
Pria yang baru saja sampai di gerbang desanya itu melempar keranjang bambu berisi ayam cemani, yang sudah susah payah dia cari. Dia lalu berlari mendekati warga desa yang memanggilnya.
"Lho, bukannya tadi ada kabar anak Pak Pandu baru aja meninggal dunia? Tapi itu sehat wal afiat, kok," bisik beberapa pria berseragam satpam dengan wajah bingung.
"Mungkin infonya salah. Tuh, anaknya sehat-sehat aja, kok. Cuma emang kelihatan agak pucat," bisik warga lainnya.
"Terus yang mengumumkan di masjid tadi siapa?" Mereka semua saling bertukar pandang sembari berbisik.
Pak Pandu yang mendengar obrolan itu pun sontak menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat sosok manis putrinya berdiri di belakangnya. Matanya terbelalak saat menyadari sesuatu.
"Tunggu! Kenapa makhluk ini mengikutiku, dan menyerupai wajah putriku. Jangan-jangan ..."
...***...
Tahun 2023, Alas Roban Ketonggo.
"Heh, Sat! Kayaknya kita tersesat, nih. Lihat GPS-nya yang benar, lah ...
"Hah? Moso? Gak mungkin sesatlah. Wong tinggal ikuti jalan ini aja sampai ke desa. Gak ada persimpangan lagi," balas Satya sambil menatap ke layar GPS offline, yang langsung terhubung dengan satelit.
"Ya, aku tahu. Tapi masa kamu nggak ingat? Kita udah lewatin pohon tumbang ini tiga kali, lho," ucap Hadyan yang sedang mengemudi.
"Apa iya?"
Satya yang kebingungan pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling mobil. Suasana cukup temaram. Sinar mentari di ufuk barat hampir menghilang di balik horizon. Langit jingga mengintip di celah-celah rimbunnya dedaunan.
"Masa GPSnya salah? Jadi seharusnya kita ke arah mana, nih?” gumam Satya.
Kedua pegawai negeri sipil yang bekerja sebagai pelestari hutan itu saling memandang dengan wajah bingung. Ini pertama kalinya mereka memasuki wilayah ini tanpa pemandu. Seharusnya dengan mengikuti jalan tanah yang biasa dilewati mobil offroad, mereka akan sampai di desa terdekat.
"Bismillah."
Hadyan kembali mengemudikan kendaraan double gardan mereka. Jalanan tanah berbatu itu semakin menyempit dan menanjak. Perasaan kedua pemuda itu tak tenang. Seharusnya mereka menuruni gunung, bukan naik.
Benar saja. Hingga matahari benar-benar terbenam, mereka kembali melalui tempat yang sama, pohon tumbang di pinggir jalan. Kabut putih mulai menyelimuti hutan, membuat jarak pandang semakin terbatas.
“Ya Gusti, kita beneran tersesat ini,” bisik Hadyan dengan tubuh lemas. "Coba sini ku lihat GPS-nya." Hadyan meminta benda mirip HP jadul itu pada rekannya.
“Aku kebelet buang air kecil, nih,” bisik Satya sambil merapatkan kedua pahanya.
“Heh, mau dibuang di mana? Ini udah malam, di tengah hutan pula,” larang Hadyan. Kedua netranya tak lepas menelisik GPS untuk mencari jalan keluar.
“Ya terus? Masa mau ditahan sampe ke desa? Udah di ujung, nih,” rengek Satya dengan gelisah.
“Masukin botol aja, gih. Tuh, ada botol bekas di belakang,” jawab Hadyan acuh.
“Dih, ogah! Udah, ah. Aku mau keluar sebentar. Ojo ditinggal, yo.”
"Jangan sembarangan buang air di hutan, woi! Ini kita lagi tersesat. Ntar kesambet, lho," kata Hadyan mengingatkan.
Tanpa menghiraukan seruan rekannya, Hadyan langsung membuka pintu dan berlari menuju pohon tinggi besar. Pohon randu raksasa itu pun bergoyang pelan, terkena hembusan angin. Sesosok makhluk berwajah pucat dan mata hitam bolong, duduk di salah satu dahannya.
"Hmmm, dia beneran harum banget. Cakep juga. Pasti dia salah satu cowok-cowok jahanam itu."
Satya tidak sadar. Seuntai rambut panjang turun dari atas pohon, diikuti sosok tanpa mata itu. Barisan giginya yang putih tampak berdarah. Makhluk itu melayang turun, ke dahan yang lebih rendah untuk menyapa Satya.
"Dia ke sini mau meminta kekayaa, jabatan atau ilmu pelet, ya? Dia bawa sajen apa?"
“Permisi, Mbah,” ucap Satya.
“Mbah? Enak aja. Dasar nggak sopan! Terus sajennya mana? Aku lapar."
Sosok itu tampak marah. Kemeja safari berwarna cokelat muda itu mendadak berlumuran darah. Sosok itu mengukir senyuman yang sangat lebar di wajahnya. Tangannya memanjang hendak menyentuh bahu pemuda tampan itu.
"Kamu harus jadi milikku. Hihihihi."
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments