..."Jadi pemilik-ku mulai sekarang!"...
...—Bintang Milano...
...Dulu kamu seperti warna abu-abu...
...Namun dalam sekejap kini kamu telah manjadi warna biru...
...—My Bilo—...
...💫...
Seperti hari-hari biasanya. Ke tiga sahabatnya selalu menunggu Bianca sebelum memilih bersama-sama masuk kelas. Hanya saja hari ini Bianca jauh lebih telat dari kemarin. Dia terlihat tergopoh-gopoh yang sudah diantisipasi oleh Kinar dengan menyemprot tubuh Bianca sesaat dirinya sampai.
Bianca dan nyaris terlambat itu memang sudah berteman baik. Alasan biasanya ialah dokumen-dokumen perusahaan yang harus dipelajarinya pada saat malam hari. Makannya Bianca selalu menjadi pihak yang di tunggu kehadirannya oleh Lolita, Kinar, dan Gitta.
"Masalah perusahaan belum sepenuhnya beres, ya?" ujar Lolita.
"Iya masih ada laporan yang harus gue periksa, tapi gak papa gue seneng karena laba naik, meskipun tensi darah gue nyaris ikutan naik gara-gara masih banyak laporan yang perlu di rekonsiliasikan," tutur Bianca dengan senyuman menenangkan.
"Meskipun gue engga paham. Tapi, syukur deh gue ikut seneng."
"Aku berdoa semoga perusahaan Ayah kamu semakin sukses!" seru Gitta yang mendapat balasan elusan Bianca di pucuk kepalanya. Gitta memang paling bontot setelah Bianca, yang di atas urutannya terdapat Lolita dengan Kinar sebagai yang tertua.
Kinar tampak sibuk dengan tasnya. "Hari ini gue masak menu baru. Yuk kita sarapan," ajak Kinar dengan kotak bekal bertingkat dua yang ditentengnya.
Mata Bianca, Lolita, dan Gitta kontan berbinar cerah.
"Asyik!" Gitta berseru girang.
"Akhirnya setelah makan roti tiap pagi, gue bisa makan enak juga," sambung Bianca tak kalah sumringah disertai gerakan mengusap perut.
"Gue yakin, sih, rasanya akan-selalu seenak masakan lo yang lain," timpal Lolita.
Dengan senyuman yang sesekali dibarengi canda tawa mereka melangkah ke kelas.
Namun, sepertinya hari ini ada yang aneh. Tatapan itu. Tatapan orang-orang yang sedari tadi tidak lepas dari pergerakan tubuh mereka.
Bianca berdecak pelan. Dia sudah tahu, pasti ini adalah dampak dari kejadian kemarin. Tatapan itu adalah tatapan penasaran.
"Apa cuma perasaan gue aja, kalau dari tadi banyak yang ngelihatin kita?" ungkap Lolita dengan mata yang bergulir mengamati sekitar.
Gitta mengangguk setuju. "Aku berasa kayak lagi jalan di karpet merah."
"Cuekin aja!" saran Kinar datar seperti biasanya.
Bianca hanya diam dengan tubuh yang sengaja memepetkan diri ke arah tembok, menjadikan tubuh para sahabatnya sebagai tameng untuk menghalau pandangan-pandangan itu. Namun, langkahnya harus terhenti karena langkah para sahabatnya yang tiba-tiba terpaku.
Bianca kontan melongok, dan terlihat lah sosok gadis berparas cantik dengan tubuh ideal yang memesona tengah berdiri menghalangi jalannya.
Bianca tahu siapa dia. Dia Mona Ratu, gadis yang selalu berhasil membuatnya iri. Mona, salah satu siswa yang mengharumkan sekolah lewat kepiawaiannya dalam berbusana dan bergaya. Dia salah satu anggota ekskul modeling yang wajahnya tak pernah absen dari brosur sekolah, dan yang selalu membuatnya iri karena Bintang lah yang menjadi partner-nya.
"Hai," sapa Mona lembut. Bianca bahkan juga iri dengan nada bicaranya yang terdengar seperti alunan musik klasik.
"Oh hai, lo nyapa kita?" Lolita mengernyitkan dahi.
Mona tersenyum, yang mana semakin menambah kesan memukau. "Iya."
"Ada perlu apa, emang?" ujar Lolita, merasa sedikit aneh jika model sekolah terkenal hendak berbasa-basi dengannya serta dengan ke tiga sahabatnya yang mana sangat jauh sekali dari perhatian warga sekolah.
"Gue mau ngobrol sama salah satu temen lo, boleh?" Mona menunjuk Bianca lewat gerakan mata masih disertai senyuman.
Lolita beserta Kinar dan Gitta menyingkir memberi jalan.
"Kenapa, ya?" tanya Bianca yang dibalas lebih dulu oleh senyuman Mona. Dan harus Bianca akui, dia juga sangat iri dengan senyuman itu. Gingsul gadis itu benar-benar menambah rasa tidak percaya diri Bianca kian memuncak. Mona Ratu memiliki senyuman yang tak kalah menawan.
"Gue cuma mau meluruskan kejadian kemarin, kejadian yang tiba-tiba Bintang bersikap kayak gitu ke elo," ucap Mona langsung pada intinya dengan nada bicara yang masih selembut tadi.
Bianca terpekur.
"Dia emang kayak gitu, dia juga suka perhatian sama gue." Bianca tentu tahu, itu merupakan peringatan tak langsung yang dilayangkan Mona, walaupun nada dan senyuman gadis itu cukup menipu.
"Maksud gue, lo enggak usah berharap lebih. Mmm ... lo tau, 'kan, sebanyak apa kemungkinan gue sama Bintang bersama?" Kali ini pertanyaan Mona bukan hanya menyentil hati Bianca, tapi juga menimbulkan efek berdenyut bagi ke tiga sahabatnya. Mona tidak tahu saja bahwa Bianca amat sangat krisis kepercayaan diri jika sudah menyangkut Bintang.
Bahkan tanpa perlu Mona menjelaskan pun, Bianca sedari awal sudah memilih untuk berperang dengan niat untuk kalah. Bahkan ketika Mona belum meyakinkan Bianca untuk tidak mendekat ke arah Bintang pun dia sudah lebih dulu punya rencana untuk menjauh. Hanya saja tidak di waktu sekarang. Bianca sedang menikmati masa-masa terakhir dia bisa melihat Bintang dengan leluasa, walaupun hanya dilakukannya dari jauh.
"Maksud lo apa?" desis Lolita yang paling sulit untuk tidak terpancing. Emosi gadis itu memang sedikit awut-awutan. Dia paling heboh dan tidak sabaran.
"Lol udah." Bianca berusaha tetap mengkondusifkan suasana. Apalagi sekarang mereka tengah menjadi pusat perhatian, yang membuat Bianca merasa tak nyaman.
"Gue engga paham sama apa yang lo bilang," sahut Bianca. Itu bohong, karena Bianca bukan manusia kurang peka seperti Lolita dan manusia lugu seperti Gitta. Bahkan Lolita dan Gitta pun bisa memahami bahwa si model papan atas sekolahan itu tengah merasa terancam, dan salahnya Mona malah memilih mengancam Bianca, seseorang yang sangat beruntung dalam konteks persahabatan.
"Tapi, lo harus tau. Gue sama sekali engga berharap apapun sama kejadian kemarin. Gue tau, kalau Bintang cuma iseng aja," jelas Bianca dengan raut berbanding terbalik dari keadaan hatinya yang amburadul.
"Iseng?" tanya seseorang dari belakangnya dengan nada yang amat-sangat datar. Sontak saja semua yang ada di sana memfokuskan pandangannya ke arah asal suara.
Dia Bintang Milano. Si pemuda tampan yang menjadi topik obrolan. Dengan santai dia merangkul bahu Bianca. Rekasi yang ditimbulkan orang-orang yang ada di sana bahkan jauh lebih heboh dibandingkan kemarin.
"Aku sakit hati sama ucapan kamu, tau, tapi aku enggak bisa marah sama kamu," rajuk Bintang dengan raut yang di buat super imut. Itu Bintang yang lain, itu bukan Bintang pemuda tampan yang penuh wibawa, melainkan manusia imut dengan tingkah menggemaskannya. Namun, di balik raut imutnya terdapat ekspresi yang membuat mereka yang menyaksikan paham, bahwa Bianca memang memiliki tempat istimewa di dalam hidup pemuda itu.
"Kamu harus dihukum," tandas Bintang.
"Jadi pemilik-ku mulai sekarang!" perintah Bintang mutlak.
"Dan buat kalian lihat ini baik-baik!"
Bintang mengangkat dagu Bianca, disusul dengan menangkup ke pipi berisi milik gadis itu, dan yang terjadi selanjutnya adalah adegan yang bukan hanya memancing pekikan tapi juga jeritan.
Betapa banyaknya hati yang patah hari ini. Betapa banyaknya angan-angan yang di bantingkan ke dasar pagi ini.
Bintang benar-benar mendaratkan bibirnya tepat di atas pucuk kepala Bianca.
"Dia pemilik gue, gue udah kasih stempel resmi. Jadi, buat siapapun yang ganggu dia bakal berurusan sama gue. Dan elo Mon, gue mau lo bisa lebih hargai Bianca, dia calon pasangan gue. Kita cuma pernah terlibat pemotretan sekolah, selebihnya kita enggak ada hubungan apa-apa," papar Bintang.
"Gue nggak mau lihat lo mengintimidasi dia dengan cara soft kayak barusan. Lo tau, barusan lo nggak cuma menghancurkan dunia dia, tapi semesta gue juga lo ikut hancurkan," tegasnya.
...💫...
Ruangan temaram nan luas yang biasanya kosong, kini terisi oleh dua manusia yang berstatus sebagai pemangsa dan korban.
Salah satu single sofa terlihat ditempati oleh sosok manusia dengan pakaian serba hitam, sebagian wajahnya terhalang oleh slayer sedangkan kepalanya tertutupi tudung hoodie senada. Sudah jelas, di sini dia lah yang berstatus sebagai pemangsa. Sedangkan seorang gadis yang tengah terbaring di atas ranjang berukuran luas adalah korbannya.
"Tolong ... gue mohon apapun kesalahan gue, tolong ampuni gue." Bibir merah gadis pemilik kulit bersih tanpa cacat itu terlihat bergetar saat mengucapkannya. Pemandangan itu sedikit memuaskan hati si pemangsa, dan membuatnya semakin bersemangat untuk melakukan eksekusi selanjutnya. Sang korban yang malang, dia tidak mengetahui bahwa menunjukan kelemahan di depan seorang pemangsa sepertinya apalagi diawal permainan merupakan hidangan pembuka paling nikmat yang akan semakin memancing rasa kepuasan berkelanjutan.
"Kenapa, takut mati ya?" Kalimat yang datar serta volume yang amat sangat rendah membuat siapa pun akan merinding kala mendengarnya.
Dia berjalan ke arah meja yang terletak di salah satu sudut ruangan, membuka lacinya. Sederet senjata tajam tampak di dalamnya. Dia terlihat memilih mengambil pisau berbentuk lancip dengan ujung yang runcing.
Derap langkahnya mampu terdengar jelas oleh sang korban, gadis itu juga merasakan lesakan kasur di sampingnya.
"Mau apa lo?!" teriak gadis itu panik.
"Masih nanya, jelas kita akan menghabiskan waktu untuk beberapa menit ke depan."
Dengan keadaan mata yang tertutup juga tangan serta kaki yang terikat dia meronta, mencoba melepaskan diri.
"Stt ... jangan takut. Gue enggak suka gigit, sukanya bikin lo tertekan aja, kok," bisiknya tepat di depan cuping telinga sang korban.
Aliran air mulai membasahi pipi bebas jerawat dan komedo-nya itu. Jelas korbannya kali ini dikenal sebagai primadona sekolah.
"Lo tau fungsi pisau?" tanya si pemangsa sengaja merubuhkan keberanian yang masih tersisa dalam tekad sang korban.
Gadis itu mulai terisak hebat. Getaran tubuhnya tak lagi bisa disamarkan.
"Oh. Lo nggak tau ya?" Laki-laki itu meletakan pisau itu tepat di atas pipi korbannya.
"Gue kasih tau, atau perlu diberi contoh langsung?" bisiknya.
Gadis itu sontak menggeleng kuat. Rupanya, dia masih takut menjadi jelek.
"Yaudah, materi aja dulu. Prakteknya belakangan," ujar si pemangsa yang semakin membuat rasa takut korbannya kian membeludak.
"Gue mohon, jangan lakuin apapun sama gue!" jeritnya tertahan.
"Stt ... gue cuma mau ngasih materi aja, Babe. Bukan mau merusak tatanan wajah cantik elo," tutur dia masih dengan volume suara rendah.
"Oke gue jelasin, dengerin baik-baik ya! Fungsi pisau itu tidak lain dan tidak bukan hanya untuk merobek, menusuk, dan menggores ... daging," jelasnya tak acuh dengan keadaan sang korban yang terlihat sangat ketakutan.
"Gue mohon, jangan bunuh gue. Gue nggak tau apa salah gue sama elo, kalau pun ada, tolong maafin gue." Kini isakan itu berubah menjadi tangis lirih yang sarat akan balas kasihan.
"Begitu?" tanya si pemangsa dengan nada mengejek. "Tapi gue mau ngelakuin sesuatu sama elo gimana, dong?" Dan pertanyaan itu, terdengar seperti serine kematian ditelinga sang korban. Si korban semakin berontak, berusaha melepaskan ikatan kuat yang mengikat tangan dan kakinya. Namun, semua sia-sia.
Si pemangsa membungkuk, memandangi wajah korbannya lekat, niatnya ingin menenangkan tapi justru malah membuat sang korban tertekan.
"Cewek cantik nggak boleh nangis, nanti cantiknya ilang," bisiknya.
Pisau kecil itu kini tengah mengusap-usap pipi mulus korbannya disertai gerakan menusuk-nusuk kecil "Rileks, rasanya nggak sesakit pas ditolak gebetan kok. Serius!"
"Lo pernah digigit semut?" tanya dia yang hanya dibalas isakan, yang justru membuatnya semakin bersemangat.
"Jawab! Atau gue langsung praktek ke pipi mulus elo!" ancamnya tidak main-main.
Sang korban mengangguk.
"Jawab pake mulut, mulut lo masih berfungsi, 'kan? Atau mau gue jahit aja? Sayang cuma jadi pajangan, mending sekalian ditutup ya, 'kan?"
"Pe-per-na-nah."
"Jadi nggak masalah dong kalau kulit lo digigit pisau gue? Rasanya sama kok." Pertanyaan jebakan.
Dan raungan tangisan kini kembali menjadi suara latar yang apa bila didengar oleh orang normal sangat memilukan.
"Loh, kok, nangis lagi? Cup! Cup! Cup!"
Tapi justru tangisannya malah semakin menjadi-jadi.
"Tolong! Gue mohon ampuni gue."
"Gue janji, gue nggak bakal laporin lo ke polisi. Gue bakal pergi menghilang dari hidup lo." Oh sepertinya korbannya kali ini pandai bernegosiasi.
Dia terkekeh sinis.
"Mungkin semua akan semudah itu, kalau lo itu bisa jaga sikap. Dengan lancangnya lo mengancam Berlian gue, lo enggak punya hak buat mengusik dia!" geramnya.
"Tapi oke, kali ini gue kasih elo kesempatan. Sekali lagi lo berulah, gue pastiin lo akan lebih menderita dari pada hari ini."
"Dan, jangan beranggapan gue ini manusia pemilik empati tinggi."
"Jadi betina, gue putuskan untuk membebaskan elo dengan syarat lo engga ganggu dia lagi."
Sang korban mulai tenang walau napasnya masih memburu, dia terlihat mengangguk seakan berjanji bahwa dirinya tak akan melakukan kesalahan yang sama.
Dia pun mengamankan pisaunya, kemudian menyerahkan satu botol air mineral yang sudah dicampur dengan obat, "minum ini!"
Muka gadis itu terlihat memucat. "Ini bukan racun, hanya penghilang ingatan sementara yang sewaktu-waktu bisa gue ingatkan! Anggap semua ini hanya mimpi yang sewaktu-waktu bisa menjadi kenyataan!" peringatnya.
Dan dengan sigap sang korban langsung meminum cairan bening itu, dan tidak butuh waktu lama tubuhnya pun terkulai lemah.
Dia tersenyum sinis. Bahkan dia terdengar bersenandung ria.
"Satu hama sudah terselesaikan! Brilian gue bakal tetap aman. Bigi kamu aman." lirihnya.
...💫...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments