"Nyonya muda, Tuan sudah kembali." Seorang pelayan datang melapor. Yan Hao cuma memandang kosong, namun dia tetap melangkah.
Melangkahkan kakinya ke ruang utama, Yan Hao memaksakan senyum di wajahnya.
"Kakak." Yan Hao menyapa Gu Xinji dengan senyum mengembang di wajahnya. Xinji mengangguk dan melanjutkan langkah kakinya menaiki tangga menuju kamarnya.
"Kakak, apakah kau akan malam denganku?"
Jingxi berhenti sebentar di tangga, dan tanpa menoleh menjawab, "Tidak, aku ada janji makan malam di luar."
"Baik." Yan Hao menjawab pelan. Ia sudah tahu jawabannya, tapi tetap bertanya, berharap mendapat jawaban berbeda dari suaminya.
"Nyonya, perlu saya siapkan makan malam sekarang?" bibi Wang bertanya. Ia kasihan melihat nyonyanya yang ditolak tuan mereka. Ingin menghibur tapi tidak tahu bagaimana caranya, jadinya bibi Wang hanya diam disisi nyonya mudanya. "Bi, apakah saya bisa pergi sebentar? rasanya sesak di rumah ini?"
"Nyonya ingin keluar?"
"Ia bi."
"tapi tuan baru saja pulang."
"Tidak apa-apa bi, saya hanya keluar sebentar, lagipula Xinji tidak akan peduli saya ada atau tidak." Yan Hao menjawab dengan sendu. Senyum yang biasanya ceria dan sering menular ke para pelayan, hari ini seperti tertutup awan, yang ada hanya kesedihan yang membayangi wajah cantiknya.
"Biar Pak Chao temani nyonya."
Yan Hao hanya diam, tidak menanggapi bicara bibi Wang.
Sementara itu, di kamar lantai atas, Gu Xinji mandi, tapi di benaknya terbayang senyum Yan Hao, tatapan matanya yang berharap, dan wajah kecil yang cantik. Ia tahu, Yan Hao tidak bersalah, namun setiap kali melihat wajahnya bayangan wajah saudaranya, Fushen, selalu membayang, masih teringat pembicaraan terakhir dirinya dengan kakak laki-lakinya sebelum kematiannya. "Xiao Ji, bisakah aku memohon sesuatu padamu?"
"Katakan." Xinji menjawab dengan tenang.
"Ada seorang gadis yang ingin kulindungi, tolong gantikan aku, seumur hidup ini aku akan berterimakasih padamu."
"Siapa dia?"
"Dia seorang gadis kecil, Yan Hao, aku ingin melindunginya dalam hidupku, tapi waktuku..... sekarang dia sedang menungguku di biro catatan sipil, kami akan menikah, tolong gantikan aku." Gu Fusheng menatap Xinji dengan penuh harap. Di wajahnya yang pucat ada terselip harapan agar saudaranya mau memenuhi permintaanya. Badan Gu Xinji menegang, ia boleh meminta apa pun padanya, tapi kenapa harus pernikahan, sementara dia sendiri belum ada keinginan untuk menikah.
"Tolong berjanjilah." Gu Fusheng memegang erat tangan Xinji. "Dia hanya seorang gadis kecil, dia banyak membantuku di pulau, membuatku merasa bahwa hidup ini berarti, bukan hanya menunggu kematian, aku menyayanginya, dan ingin melindungi kepolosannya dari kekejaman dunia ini, tapi aku tidak bisa, dan itu satu-satunya yang membuatku menyesal." Setitik air mata penyesalan jatuh di wajahnya yang pucat. Gu Xinji memandang saudaranya, mengambil keputusan dalam hatinya, "Baik, aku akan membantumu menjaganya, aku akan menikahinya." Lamunannya buyar ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya.
Menyelesaikan mandinya, Gu Xinji keluar dengan hanya mengenakan piyama handuk, sambil menyeka rambutnya yang basah dia membuka pintu. Di depannya berdiri butler (kepala pelayan) Li. "Ada apa?"
"Tuan, nyonya muda keluar."
Tangan Xinji yang masih menyeka rambutnya yang basah seketika berhenti, "kemana?"
"Nyonya tidak mengatakan apa-apa."
Jantung Xinji berdetak cepar, ada rasa tidak enak dalam hatinya, berbalik mengambil telpon, segera ia menghubungi Yan Hao, namun tersadar kalau selama ini dia tidak pernha menyimpan nomor hp istrinya, selama ini jika ingin menghubungi Yan Hao, Xinji hanya menghubungi Bibj Wang, baginya Yan Hao tidak akan kemana-mana, dalam benaknya sudah terukir bahwa apa pun yang terjadi Yan Hao tidak akan pergi, dia hanya akan menunggunya di villa mereka. Jadi saat mendengar Yan Hao pergi, perasaanya menjadi tak karuan. "Panggil bibi Wang!" perintah Xinji dingin.
"Baik, tuan." Butler Li berbalik, segera menuju ke arah dapur memanggil bibi Wang.
"Anda memanggil, tuan." bibi Wang berkata dengan sopan.
"Hubungi Hao'er, tanyakan dimana dia, tidak... tidak.. biar aku saja, mana nomor Hao'er."
Xinji segera menghubungi Yan Hao setelah dering pertama telpon diangkat, "Hallo," maaf hp nyonya tertinggal di rumah, nyonya lagi keluar."
Setelah mendengar, Jinxi langsung menutup telp, setelah itu ia menghubungi Pak Chao. "Dimana?" suaranya tenang, dingin, dan terkesan menjauh. Pak Chao yang menjawab telpon di seberang langsung menggigil, dia tahu, tuannya sedang marah, semakin tenang suaranya semakin marah dia.
"Tuan, nyonya ada di Qinghe, dan nyonya sedang minum, saya takut nyonya mabuk."
Raut wajah Xinji berubah, setelah menutup telpon, Xinji menatap bibi Wang dan butler Li, wajah keduanya memucat, selama ini nyonya muda tak pernah melangkah keluar rumah sendirian apalagi sampai mabuk di luar, biasanya bibi Wang menemani kemanapun nyonya ingin pergi.
"Wu Chen, siapkan mobil." Tanpa kata Xinji bergegas keluar, langsung menuju mobil yang sudah disiapkan Wu Chen di depan rumah.
Bibi Wang dan Butler Li saling pandang, "ada apa dengan nyonya?" bibi Wang bertanya tapi disambut gelengan kepala oleh butler Li.
Sementara di Qinghe, setelah minum beberapa gelas kepala Yan Hao tertunduk, posisi itu yang dilihat Jinxi tiba. Tapi belum sempat ia membangunkan Yan Hao, tiba-tiba kepala Yan Hao mendongak menatap Jinxi. Matanya yang berair seperti bulan penuh yang bersinar, menatap Jinxi dengan cahay yang cemerlang. Jinxi terpana, dia selalu tahu kalau Yan Hao sangat cantik, kecantikan yang polos dan bersih, membawa ketenangan di dekatnya. Tapi malam ini, kecantikan Yan Hao naik ke level baru, matanya bersinar, pipinya kemerahan, bibirnya mungil dan ada sedikit belahan ditengahnya berwarna merah karena alkohol seperti habis mengalami ciuman yang menggairahkan, dan raut wajahnya sangat sensual. Jakun Jinxi naik turun, terpana, namun sebelum bisa melakukan apa pun, tiba-tiba tangan mungil dan lembut memeluk pinggangnya. "Hubby, kamu datang. Aku tahu, kamu peduli padaku." Yan Hao bicara sambil mendusel-dusel wajahnya di perut Xinji. Reaksi Yan Hao yang diluar dugaan membuat tubuh Xinji menegang, badannya tiba-tiba memanas, darah seolah mengalir tebalik menyerang otaknya.
"Hao'er ayo pulang."
Yan Hao tiba-tiba berdiri berjalan dengan tegap keluar tanpa menunjukkan gejala mabuk. "apa dia tadi berpura-pura." batin Xinji memandangi Yan Hao yang berjalan keluar.
"Paman Chao!"
"Ya, nyonya."
"Pinjamkan aku kertas sama pulpen."
Tertegun sejenak, Pak Chao segera berlari mengambil kertas dan pulpen yang diminta Yan Hao. "Ini, nyonya."
Sambil berjalan mendekati Xinji Yan Hao berkata, "Hubby, berbalik."
Xinji: "......"
Melihat Xinji yang hanya diam, Yan Hao jadi gemes, "Ayo suami, cepetan, nanti keburu lupa akunya." Yan Hao bicara sambil membalikkan badan suaminya. Saat Xinji telah berbalik, "menunduk sedikit, badanmu terlalu tinggi aku gak nyampe!"
Xinji: "...... "
Yan Hao meletakan kertas di punggung Xinji yang mulai menunduk sedikit, entah apa yang di oret-oretnya, setelah selesai kertas itu di serahkan pada pak Chao
"Paman Chao, ini nomor undian yang akan keluar besok, paman harus membelinya." sambil meletakan kertas berisi angka-angka di tangan pak Chao
Gu Xinji: ".... "
Pak Chao: "......."
Setelah itu dia berjalan lurus, belum ada dua langkah pinggangnya segera diraih Xinji. "Mau kemana?"
"Pulang,"
"Kemana?"
"Villa Lan Hua"
"Ayo kuantar." melihat Yan hao hanya diam, Xinji berkata, "kenapa lagi?"
"Suamiku, aku sudah tahu, kekasihmu sudah pulang, dan dia sangat cantik, hiks.. hiks..." air mata Yan Hao jatuh sebesar jagung dari sudut matanya yang indah. "kalau kamu ingin kita pisah, bisakah menunggu sampai bunga-bungaku mekar? waaa... waa... waaa...." air matanya jatuh seperti butiran hujan. Sudut mulut Xinji berkedut, rasa geli tertera jelas di wajahnya namun ditahan karena takut Yan Hao akan semakin keras menangis. Saat ini dihadapannya bukan istri yang biasanya tenang dan sopan, Xinji merasa yang ada di hadapannya saat ini adalah bocah peremouan yang baru yang baru saja beranjak dewasa. Pak Chao yang melihat nyonyanya menangis dengan keras hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Buru-buru menutup mulut istrinya yang semakin kencang menangis, Xinji berkata dengan lembut, "Siapa yang akan bercerai, jangan bicara omong kosong! ayo pulang, kita bicarakan dirumah." Xinji berkata lembut sambil mendorong Yan Hao ke dalam mobil.
Sebelum masuk Yan Hao yang masih terisak meraih lengan baju Xinji dan menggosok sisa air mata beserta ingusnya. Xinji yang melihat ulahnya hanya bisa terdiam.
"Pak Chao, jangan lupa belikan nomor undian itu."
Pak Chao: "......."
Xinji: "......"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Nur Rohim
/Drool/
2024-01-29
0
Teteh Lia
wkwkwk. ingusnya jg ikut nempel tuh
2023-12-17
0
Teteh Lia
semakin tenang suaranya, semakin marah. baru tahu nih ada orang yg begini. 👍
2023-12-17
0