Aku cukup bahagia setelah menikah. Suamiku yang menyanyangiku, dia menunjukkan cinta kasih yang tulus padaku. Memerlakukanku dengan sangat baik dan lembut, seketika aku terbuai dengan kasih sayangnya. Hanya ada senyuman bahagia di awal pernikahan.
Malam pertama yang kubayangkan akan menjadi momen menegangkan, ternyata menjadi indah saat bersamanya. Kelembutan di setiap sentuhan yang merupakan awal bagiku, aku merasakan kehangatan dan kenikmatan hakiki yang sudah sewajarnya dialami oleh para pasangan baru. Aku bersyukur untuk itu.
Dia pun mengaku puas bermalaman denganku, kami memikmati kehangatan yang memabukkan sekaligus mulai kurasakan getaran dalam dada yang semula terasa samar menjadi semakin nyata. Ya, mungkinkah ini cinta?
"Kamu lelah?" Tanya dia padaku di pagi sebuta ini, dia yang tampak menggoda dengan senyum semburatnya yang paling aku suka darinya.
Sebenarnya aku sungguh lelah karena kemarin merupakan puncak acara resepsi pernikahan, dan malamnya langsung digempur habis-habisan. Rasanya tidak ada tenaga yang tersisa, tapi aku tidak ingin mengecewakannya. Dengan senyuman tulus, aku mengangguk dan menyambutnya dengan penuh kerelaan.
Pagi itu menjadi pagi pertamaku bangun kesiangan yang tidak lain karena ulahnya, tentu menjadi bahan gunjingan sanak saudara yang masih berada di rumah. Namun, pria itu tidak cukup di situ, di dapur saat sedang menyiapkan menu sarapannya, dia kembali bermanja denganku. Menaruh dagunya di pundakku, memeluk dan mengecupi area leher hingga sampai pada bibirku. Aku tidak kuasa jika terus-terusan digoda seperti itu. Alhasil, aku pun mengalah dan kembali melakukannya di dalam kamar kami. Ya, benar, tidak jadi ada acara sarapan karena kami keluar setelah lewat siang.
"Mas, bangun. Sudah sore," aku menepuk-nepuk lengannya yang terbuka tanpa pakaian atasan.
"Huah, nantilah. Sini kembalilah tidur di sampingku," ucapnya dengan tangan yang menepuk-nepuk sisi ranjang sebelahnya.
"Nggak ah, aku gak enak sama saudara. Dari pagi kita belum ketemu mereka lho, kamu juga belum makan," ujarku yang mengajaknya untuk bangun dan membuka matanya yang rapat dengan mulut yang sedikit menganga itu.
"Bawa saja makanannya ke sini, bilang aja kalau aku kelelahan. Sudah sana," pria itu mengibaskan tangannya dan mengenai lengan Daisya.
Wanita itu keluar dengan wajah yang sembab dan sekujur tubuh yang terasa pegal. Namun, dia berusaha tetap tersenyum dan beramah tamah dengan para saudara, om-tantenya, serta bergabunh duduk di ruang tengah menikmati kudapan pasar yang tersedia di meja.
"Aduh, aduh, aduh, pengantin baru sore-sore gini baru keluar kamar ya? Ekhem, bagaimana rasanya jadi pengantin baru, hem?" Senggol Marina–tante dari suamiku, adik pertama mama mertuaku yang terkenal keramah tamahannya.
"Enak kan? Hem?" Tanya Tante Marina mengedip-kedipkan sebelah matanya.
Aku hanya tersenyum malu-malu, mana mungkin aku mengakui jika memang rasanya begitu memabukkan yang sebelumnya belum pernah kurasakan seumur hidupku.
Terlihat banyak sekalian aneka kue dan kudapan pasar yang berwarna-warni, aku mengambil dan memakan kue nagasari yang dibungkus dengan daun pisang dan terasa gurihnya, "bagaimana, enak kan? Itu buatan tante, lho!" Lagi-lagi Tante Marina berbicara.
"Sangat enak, Tante, manis dan gurihnya pas." Komentarku pada kue buatan tante.
"Iyalah, enak. Tinggal makan, gak keluar duit. Gemuklah tuh dia seminggu di sini," celetuk Rohati–mama mertuaku.
Aku yang sedang semangat mengunyah dan ditambah perut sedang kelaparan langsung kenyang seketika karena ucapan mama mertua. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kalimatnya itu, tapi nada bicaranya tidak enak didengar telinga. Mungkin memang karena diriku yang mudah tersentil hatinya, jadi, apa-apa langsung dibawa ke hati.
"Ngakunya anak orang kaya, punya rumah mewah ini itu, mantunya seorang pengusaha bla bla bla, ternyata wlek! Prumpt! Omong kosong," lagi-lagi mama mertuaku seperti mengejekku di hadapan keluarga besarnya.
"Hahaha, gak papa ya, Nduk?" Tante Marina mungkin tahu kesedihanku, beliau mengelus lenganku berulang.
"Lah iya, kita di sini bela-belain hemat. Bikin acara yang yang terbaik yang paling bagus, tapi tetap konsepan sederhana. Sedangkan, mereka di sana minta ini itu, seserahan, barang-barang perabotan rumah. Ternyata apa? Gak ada timbal baliknya, cukup kita yang dibikin bankrut, lah elah Gusti-Gusti, cukup jadi bahan rong-rongan keluarga si Daisya!" Mama mertuaku tipikal orang yang julid dan banyak bicara, tidak ayal jika aku bisa menjadi topik perbincangan kapan dan dimana saja.
Aku tersenyum pias, mungkin sekarang wajahku sudah memucat karena sangkin malunya jadi bahan perbincangan keluarga suami. Kue nagasari yang lezat itu, seketika terasa hambar di lidahku. Tidak lagi berselera dengan kue yang berada di tanganku dan kudapan lainnya meski mereka tadinya terlihat menarik karena berwana-warni di mataku.
"Daisya, bangunkan suamimu! Suruh dia makan dulu," perintah mama mertua yang langsung aku turuti.
"Iya, Ma," sautku kemudian beranjak ke dalam kamar kami. Dia, pria itu masih tengkurap dengan selimut yang menutupi sebagian tubuh bagian bawah.
Aku menepuk-nepuk kakinya pelan, "Mas, mama minta kamu bangun dan makan dulu. Ayo, bangun yuk, sudah cukup tidurnya."
Tidak ada pergerakan, hanya bermengulat sesaat.
"Mas, bangun, yuk! Gak enak sama om tantemu tu di depan nungguin kamu keluar," ajakku lagi.
"Ish! Jangan ganggu orang lagi istirahat bisa, gak? Aku ini capek!" Sentaknya dengan kaki yang menendang dan tanpa sengaja mengenai bagian perut bagian bawahku.
Ah, rasanya nyeri, nyaris kram karena hentakan kakinya. Dia benar-benar kasar.
"Aku disuruh mamamu. Kalau gak disuruh, mungkin aku akan membiarkanmu tidur sampai lusa," ujarku dengan nada yang tetap tenang.
"Akh (menguap), aku masih mengantuk. Cepat siapkan air hangat untuk mandi, siapkan juga baju ganti!" Perintah Rezky–suamiku yang garang ini.
Tanpa membantah, aku menyiapkan air hangat berlanjut dengan mengambilkan pakaian di dalam lemari. Entah, tabiat manusia belahan bumi mana yang selalu mengambil pakaiam dengan cara ditarik dari bawah, bukan diangkat.
Seperti isi lemari suamiku yang berantakan karena bekas tarikan baju urutan bawah, bukan diambil dari yang paling atas atau setidaknya bagian yanh atas diangkat.
Sekenanya, aku mengambilkan kaus berwarna hijau army dan celana jeans selutut untuknya. Kami keluar dari kamar bersama, dia berjalan mendahuluiku.
"Eh, baru keluar pengantin prianya. Kusam sekali wajahnya, Ka Rez? Kenapa?"
"Ah, tidak, Tante. Ini kelelahan saja," ujar Rezky senyam-senyum.
"Ish, baju kamu kusut banget sih? Gak disetrika?" Komentar Rohati alias mama mertuaku.
"Iya nih, Daisya gak setrikain dulu bajunya. Kan jadi kusut begitu, Ma," jawab suamiku yang menyalahkanku atas hal yang seharusnya bukan menjadi kesalahanku.
"Bagaimana sih kamu, Daisya. Penampilan suami diperhatikan dong, jangan cuma minta uangnya aja. Ah, kalau punya menantu pemalas gini, rasanya pengin kusiram dengan air garam!" Ucap mama mertua yang sangat kentara jika beliau membenciku.
Dalam hati aku berujar, "bagaimana aku sempat menyetrikain baju anakmu, Ma.Kalau aku saja baru jadi menantumu semalam. Masa iya langsung beresin kamar yang seperti kandang ayam itu?" Namun, aku belum mempunyai keberanian sebanyak itu untuk mengatakan kalimat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments