Suara salam yang terdengar saat Za sedang membersihkan debu-debu yang menempel di perkakas yang ada di ruang tamu. Aktivitas yang selalu dilakukan Za saat dia libur mengajar.
Za bergegas membuka pintu. Dia tersenyum kaku saat melihat seorang pria bertubuh tinggi tegap berdiri di depannya. Wajahnya tertutup masker sehingga dia tidak bisa mengenali orang yang sepertinya tengah melempar senyum padanya. Dan reaksi Za tetap datar seperti kaca jendela ruang tamu.
"Apa kabar adikku yang cantik?"
Mendengar suara yang terhalang masker itu Za membolakan mata. Sejak melihat kedua bola matanya, Kirana sudah menebak jika pria yang menggendong tas ransel itu adalah Bian. Namun tubuhnya yang terlihat lebih bagus dari dua tahun lalu saat Bian terakhir kali pulang, Za sedikit ragu.
"Nggak disuruh masuk, nih?" seloroh pria itu.
"Masuk aja, Mas. Kayak di rumah siapa," sahut Za memberi jalan pada kakak sepupunya.
Dia pun lantas pergi ke dapur. Membuatkan minuman untuk Bian yang jauh-jauh datang dari Samarinda.
"Kata Ibu, Mas pulangnya besok," kata Za sambil mengambil gelas dari rak piring.
"Nggak jadi. Mas udah kangen sama kamu," sahut Bian sambil menarik kursi.
"Heleh! Dasar Kang Gombal."
Bian pun terkekeh. Dia menerima es teh manis buatan Za. Dan gelas besar itu pun kosong seketika.
"Ya ampun. Mas Bian nggak minum berapa hari, sih?"
"Es teh buatanmu nggak ada duanya Za. Lagi, dong!" Bian mengangsur gelas kosong itu.
"Modus!" Za mengambil gelas kosong itu lalu membuatkan es teh manis sekali lagi.
Bian memang suka bercanda, seringkali menggombal pada Za. Mungkin karena belum ada wanita yang bisa digombalinya.
Eka Biantara, pria tampan berusia 29 tahun yang masih enggan menjalin hubungan serius dengan wanita. Meski sudah merantau jauh dari kampung halaman, namun saat pulang kampung statusnya masih saja jomblo.
Sejak ibunya meninggal, rumah Za memang menjadi tujuannya saat pulang kampung. Rumah orang tuanya berada di kampung sebelah. Namun Bian membiarkannya kosong dan setiap seminggu dua kali dibersihkan oleh orang suruhannya.
Dia sudah dianggap anak sendiri di rumah Za. Karena hubungan darah yang masih sangat kental. Ibu Bian dan ibu Za hanya dua bersaudara. Jadi tidak ada saudara dekat lain selain keluarga Za.
"Bulek sama Paklek ke mana, Za?" tanya Bian melihat rumah sejak tadi hanya dipenuhi oleh celotehan mereka berdua.
"Kondangan ke teman kantornya Ayah. Sebentar lagi paling juga pulang. Mas Bian istirahat dulu aja. Kamarnya baru saja dibersihin."
"Prepare banget kamu, Za. Thank you, ya." Senyum manis Bian melengkung.
"Hmm. Mana oleh-olehnya?"
Bian pun menepuk dahinya. Jangankan oleh-oleh. Baju saja dia bawa sekedarnya.
"Sorry. Nggak bawa. Nanti saja aku traktir sorean," sahutnya.
"Beneran, lho!"
"Iya. Kapan sih aku bohong sama kamu, Za. Bilang pulang besok saja aku belain maju satu hari. Demi apa coba kalau bukan demi Zahidah si paling ceriwis," sahut pria itu sambil beranjak dari kursi. Dia bergegas lari masuk ke kamar karena Za sudah bersiap melempar kotak tisu padanya.
Bian keluar lagi dengan penampilan yang sudah lain. Berkaos singlet dengan celana pendek dan handuk yang tersampir di bahunya. Za hampir tak percaya jika tubuh yang dulu kerempeng sekarang terlihat sedikit berotot. Sayang terlanjur jadi kakak sepupu.
"Nggak masak, Za?" tanya Bian yang melihat meja makan sejak tadi kosong melompong.
"Nggak. Ibu sama Ayah kondangan, aku disuruh beli makanan sendiri. Mubadzir kalau masak katanya."
Dan benar dugaan Za, Bian mengajaknya untuk mencari makan. Dia tentu saja mengangguk cepat saat Bian menawarinya untuk makan di warung mie yang sedang hits karena sering direview oleh food blogger. Tanggal tua uang jajannya sudah setipis lembaran tisu di depannya. Untung saja sang donatur datang tepat pada waktunya.
Sembari menunggu Bian mandi, Za bersiap. Dia mengganti baju rumahannya dengan celana panjang dan blus. Juga memoles wajahnya sedikit agar tidak kontras jika berjalan dengan Bian yang ketampanannya entah dari mana dia isi ulang.
"Nggak usah gincuan gitu kenapa sih, Za!" protes Bian melihat lipstik warna nude yang menempel di bibir Za.
"Dikit, Mas. Biar nggak malu-maluin jalan sama kamu."
Bian menggeleng seraya membuang nafas pelan. Dasar perempuan, sudah cantik dari sananya saja masih tidak percaya diri. Harus memoles wajah saat keluar rumah meski itu hanya sekedar mengoles pewarna bibir dan perona pipi tipis-tipis.
Za sungguh heran dengan kakak sepupunya. Seolah tidak ada capeknya setelah perjalanan jauh, dia rela mengantri dengan pembeli lainnya. Karena mustahil berharap kedai mie yang sedang viral itu sepi pengunjung. Setiap hari antriannya mengular. Dan Bian yang baik hati tidak akan membiarkan adiknya berdiri untuk mengantri.
Dua piring mie bercita rasa pedas itu pun tersaji di depan mereka setelah melalui perjuangan panjang. Za masih menambahkan satu sendok sambal lagi karena dia termasuk penyuka makanan sangat pedas.
"Hah!" Za mengibaskan tangan di depan mulutnya karena kepedasan.
Bian menggeser air jeruk hangat yang dipesannya. Za pun meneguknya sedikit demi sedikit. Rasanya seperti terbakar saat mulutnya merasakan pedas yang luar biasa diguyur air hangat. Namun sesaat kemudian rasa pedas itu berkurang.
Omelan Bian tak terhindarkan. Pria itu sudah mengingatkan Za untuk tidak terlalu banyak menambahkan sambal.
"Mas Bian lama-lama mirip Ibu," celetuk Kirana sambil mengusap hidungnya.
"Mirip apanya?"
"Cerewetnya," jawab Za lalu dia terkekeh.
"Haish! Kamu itu kalau dibilangin nggak nurut. Sakit perut baru tau rasa."
Za mengabaikan ocehan Bian. Dia kembali sibuk dengan piring di depannya yang tinggal tersisa sedikit isinya.
Selesai menghabiskan mie, Bian tidak mengajaknya pulang. Melainkan mampir ke salah satu mall terdekat. Za tidak menolak meski dia sekarang enggan menghabiskan waktu jalan di mall tanpa tujuan. Kali dia hanya ingin menemani Bian yang katanya butuh mencari sesuatu.
"Ayo lah! Aku juga udah lama nggak nge-mall." sahutnya.
"Masa sih? Bukannya dulu sering banget nongkrong?" valas Bian sambil mengulurkan helm.
"Malas. Udah nggak ada teman," aku Za karena memang teman nongkrongnya semasa kuliah dulu sudah menikah dan sibuk dengan keluarganya.
"Makanya cari teman, Za. Biar nggak sendirian terus. Cari teman hidup sekalian," gurau Bian.
"Nggak usah dicari nanti juga ketemu kalau sudah waktunya."
Bian terkekeh. "Pasrah banget kamu. Biarpun jodoh kita sudah ada, tapi tetap diusahakan, Za."
"Tuh kan, Mas Bian beneran ketularan Ibu sama Bapak. Sendirinya aja masih jomblo. Nyuruh-nyuruh orang nikah."
Bian tertawa lepas. Bahkan beberapa orang yang sedang berada di tempat parkir mengalihkan perhatian pada mereka. Pada Bian maksudnya. Karena mereka adalah ciwi-ciwi abg yang tentu saja akan terpesona melihat wajah Bian.
Sesampainya di mall mereka naik ke lantai dua. Entah hendak ke mana tujuan Bian. Za menyejajarkan langkah dengan Bian mengikuti ke mana saja arah kaki sepupunya itu.
Benak Za mendadak penuh tanya saat Bian mengajaknya masuk ke sebuah toko perhiasan. Melihat-lihat cincin yang dipasang di etalase. Bahkan Bian mengukur jari Za untuk sebuah cincin yang akan dibelinya.
"Za, bantu pilihin yang bagus," ujar pria itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari beberapa contoh model cincin yang ditunjukkan oleh pramuniaga toko.
"Semua bagus, Mas," sahut Za tanpa berniat memilih salah satunya. Hatinya menjadi was-was, pikirannya pun mendadak kacau. Jangan-jangan ayah dan ibunya sudah membicarakan tentang perjodohan dengan Bian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Eliani Elly
next
2023-08-17
1