Jodoh Siapa

Sarapan pagi ini, aku bertemu dan duduk di satu meja dengan kakek. Sejak pulang dari Singapura dua hari yang lalu, kakek sangat sulit untuk ditemui. Kata ayah, jadwal kakek sangat padat untuk dua bulan ke depan. Banyak investor asing ingin bertemu dengannya guna membicarakan saham perusahaan. Kalau mendengar hal itu, hatiku sedikit terenyuh. Mengingat perjuangan kakek membangun perusahaan ini dari sebuah kedai baju sampai menjadi sebuah merek terkenal di internasional. Siapa yang tidak mengenal brand SYALEM, brand fashion terbaik di tanah airku.

“Kakek minta maaf karena tidak menyambut kepulanganmu kemarin,” ucap Kakek setelah menyelesaikan suapan

terakhirnya.

Aku tersenyum. “It’s okay. Lea tahu, kok, Kakek sangat sibuk.”

Kakek mengangguk pelan. “Kau sudah ke kantor?” tanyanya tanpa melihat wajahku.

Aku mengulum bibir. “Um, mungkin hari ini.”

Kakek mengangkat gelas yang berisi air putih dan meneguknya sampai habis. “Jangan sampai terlambat! Kakek

menunggumu di sana,” tukasnya.

Aku mengangguk pelan. “Semoga tidak, Kek,” jawabku.

Aku berjalan menuju mobil. Sementara itu, ibu mengikuti langkahku dari belakang.

“Aku harus ke kantor sekarang, Bu. Kakek akan marah, kalau aku terlambat. Ibu dengar, kan, tadi?” ujarku saat berhenti di depan pintu mobil.

“Ibu tahu. Makanya Ibu sudah menyiapkan beberapa cemilan sehat dan air putih ini untuk kau bawa ke kantor. Ibu tidak ingin kau sakit karena terlalu lelah bekerja.” Ibu menyodorkan sebuah tas bekal kepadaku.

Aku tersenyum. “Aku sudah besar, Bu. Kalau lapar, tinggal pesan saja, kan?”

Ibu menggeleng. “Makanan seperti itu kurang bergizi. Lagipula, Ibu suka memasak untuk kalian.”

Aku menghela napas sembari tersenyum. “Baiklah. Akan ku habiskan nanti,” ucapku.

Ibu tersenyum malu-malu.

Tidak lebih dari empat puluh lima menit, aku sampai di kantor. Ku lempar kunci mobil pada sekuriti yang berada di depan lobi. Aku berlari menuju lift dan masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian, aku sudah sampai di lantai sepuluh. Setelah pintu lift terbuka, aku berlari menuju ruangan kakek. Sekretaris Jihan tersenyum menyambutku. Aku hanya mengangguk dan masuk ke dalam tanpa persetujuannya terlebih dulu.

“Aku tidak terlambat, kan, Kek?” tanyaku dengan semringah.

Kakek melihat jam tangannya. “Hampir saja.”

“Ah, syukurlah,” ucapku dan duduk di atas sofa yang berada di depan meja kerja kakek.

Kakek berjalan ke arahku sambil membawa tumpukan berkas di tangannya. Setelah duduk di sampingku, dia melempar berkas itu tepat di hadapanku. “Periksa kembali dan tunjukkan hasilnya dua hari lagi pada Kakek!”

Aku mengangguk pelan dan terpaksa. Semua perintah kakek tidak bisa ditolak ataupun ditawar. Baginya waktu adalah uang dan uang adalah kebahagiaan. Kupikir ini akan terus berakar di keluargaku, di mana uang adalah puncak kehidupan yang sesungguhnya. Namun, tidak untukku. Aku sangat terusik dengan kalimat itu karena bagiku kebebasan tanpa aturan Ahmad Ghad Syalem adalah kebahagiaan. Ah, sudahlah, aku tidak boleh berharap banyak dalam keluarga ini.

Makan malam bersama orang-orang yang ku sayang menjadi sebuah momen yang selalu ku rindukan. Kali ini aku dapat melihat wajah kakek, ayah, dan ibu di hadapanku. Aku benar-benar merindukan suasana seperti ini.

“Sudah lama aku tidak merasakan makan malam yang luar biasa seperti ini,” ujarku sambil memandang kakek, ayah, dan ibu secara bergantian.

Ibu tersenyum dan mengusap pipiku dengan lembut.

“Kakek tidak akan mengirimku ke luar negeri lagi, kan?” tanyaku dengan sedikit rengekan.

Kakek hanya diam.

“Kau sudah berhasil mengatasi satu masalah di Singapura. Itu berarti waktunya kau istirahat dari pekerjaan ini,” jawab Ayah dan menatapku dengan sendu.

“Masih banyak yang harus kita selesaikan, Han. Kau pikir masalah yang kau timbulkan di Korea Selatan sudah selesai? Belum sempurna,” sela Kakek dan memandang ayah dengan tatapan tajam.

“Aku minta maaf, Ayah,” ucap Ayah dengan lirih.

Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan-pelan. “Aku akan membantu Ayah untuk menyelesaikannya,” jawabku dan tersenyum pada ayah.

Kakek mengangguk.

Sementara itu, Ibu memegang pundakku seakan-akan tidak memberi izin untuk pergi jauh lagi darinya. “Ibu tidak ingin kau pergi lagi,” ucapnya.

Aku tersenyum.

“Kau sudah memberitahu Alesha, Han?” tanya Kakek pada ayah yang duduk di sampingku.

Ayah menggeleng. “Lebih baik Ayah saja yang mengatakannya.”

“Kau memang tidak pernah bisa diandalkan!” seru Kakek dengan nada keras.

“Bukan seperti itu, Yah. Aku tidak cukup berani untuk mengatakannya. Alesha adalah putriku satu-satunya, aku tidak ingin menjadi musuhnya hanya karena perjodohan ini,” bantah Ayah berusaha tetap tenang.

Aku tersentak. Perjodohan? tanyaku dalam hati.

Kakek mendengus. “Kalian semua, dengarkan baik-baik! Terutama kau, Alesha!” serunya sembari menatapku dengan tajam.

Aku bergidik ngeri dan hanya menunduk.

“Usiamu sudah 27 tahun dan sudah terlalu lama hidup sendiri. Kakek juga tidak pernah melihatmu dekat dengan seorang pria. Sehingga, Kakek dan ayahmu sepakat dan sangat menginginkan kau segera menikah. Apalagi, Kakek sudah semakin tua, ayah dan ibumu juga seperti itu. Kami memerlukan penerus untuk mewarisi perusahaan ini,” ucap Kakek sembari menahan napasnya pelan-pelan.

Sudah ku duga, ini pasti akan terjadi. Lalu, apa yang akan kalian inginkan lagi? bisikku dalam hati.

“Kakek sudah memilih pria yang pantas untuk menjadi suamimu. Keluarganya terpandang dan serba berkecukupan. Kakek rasa kau tidak akan merasa kekurangan apapun setelah menjadi istrinya.” Bola mata kakek bertemu dengan bola mataku.

“Maksudnya Kakek sudah menjodohkanku tanpa sepengetahuanku?” tanyaku berusaha meyakinkan keraguan ini.

Ayah mengangguk. “Ayah juga sangat mengenal keluarganya. Pilihan kakek tidak akan salah, Lea.”

Dengan spontan, aku menghentakkan kakiku. Kemudian, memandang ke arah kakek. “Kakek tidak bertanya lebih dulu padaku?”

Kakek menggeleng. “Untuk apa?”

Aku menggigit bibirku.

“Dia yang terbaik untukmu,” tukas Kakek dengan tegas.

“Aku tidak mengenalnya, Kek,” bantahku dengan suara yang lebih keras.

Ibu terus menggenggam tanganku dan aku bisa merasakan kekhawatirannya yang sangat besar.

“Kau tidak perlu mengenalnya karena Kakek sangat mengenalnya. Kau hanya akan menikah dengannya, dengan pilihan Kakek.” Sorot mata kakek membuatku hampir runtuh mempertahankan penolakan ini.

“Aku yang akan menjalani kehidupanku, Kek. Kenapa Kakek tidak mengerti juga?” tanyaku dengan air mata yang masih bertahan untuk tidak menetes.

“Lalu, apa yang ingin kau lakukan? Kau ingin mencari pria lain?” tanya Ayah yang saat itu menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Aku menoleh ke arah ayah. Sepertinya ayah sedang mengisyaratkan sesuatu padaku. “Ak-aku… aku… aku sudah punya pilihan,” ucapku dengan terbata-bata.

Ayah terkejut, sementara ibu menggenggam tanganku dengan kuat dan berharap aku berhenti melakukan penolakan ini.

“Aku punya pilihan sendiri untuk masa depanku.”

“Alesha,” ucap Ibu dengan lirih.

“Aku sudah memilihnya untuk menjadi suamiku nanti. Aku tahu kalian pasti bertanya-tanya siapa dia, di mana aku bertemu dengannya. Aku hanya butuh waktu untuk mengenalkannya pada kalian.” Aku menjelaskan sesuatu yang

sebenarnya tidak ada sama sekali dan berharap semua orang yang ada di ruangan ini menerima jawabanku.

Kakek menghapus sisa air di bibirnya. “Oh, ya? Bawa dia ke hadapan Kakek! Kakek akan menilai pilihanmu itu,” ucapnya sembari tersenyum sinis.

Aku menelan ludahku. Bagaimana ini? Aku harus membawa seorang pria yang ku sebut kekasih dan menunjukkannya pada kakek? Apa yang sedang ku lakukan sekarang? ucapku dalam hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!