Sesampainya di dalam kamarku, setelah membanting keras pintunya, aku menyapu kasar wajahku. Aku benar-benar marah saat mengetahui perasaan Putri.
Marah? Iya, marah! Marah dengan keadaan yang tidak berpihak sama sekali padaku. Marah karena aku tidak punya alasan untuk melarang Putri menyukai siapa pun.
Marah karena Putri adalah adikku dan aku adalah abangnya. Marah karena aku tidak bisa mengatakan bahwa aku menyukai adik kesayanganku itu. Marah karena aku harus memendam perasaanku sendiri sekian lama.
Marah karena aku masih belum bisa menghilangkan perasaan sukaku ini, padahal sudah puluhan gadis yang aku jadikan pelarian. Marah karena yang Putri sukai ternyata adalah Kei, sahabatku sendiri.
Andai itu laki-laki lain, mungkin sekarang aku akan menghajar laki-laki itu sampai babak belur dan menyuruhnya menjauhi Putri, tapi laki-laki itu, Kei.
Bagaimana bisa aku menghajar sahabatku sendiri? Apa alasanku untuk memintanya agar menjauhi Putri? Apa aku harus mengakui perasaanku ini?
Bagaimana dengan Putri sendiri? Baginya, aku hanyalah abangnya dan Kei lah yang ia sukai, bukan aku. Lalu, apa yang akan dikatakan ayah dan bunda, jika tahu aku menyukai adikku sendiri?
Terlebih, aku lebih dulu mengetahui perasaan sahabatku yang juga menyukai adikku. Iya, Kei memberitahuku tentang rasa sukanya pada adikku yang juga teman bermainnya sejak kecil, tapi saat itu aku hanya diam mendengarkannya.
Selain karena saat itu aku sedang menahan emosi, aku juga ingin bersikap cool di depan sahabatku itu sebagai abang dari gadis yang ia sukai, sedangkan Kei yang melihat ekspresiku yang diam seribu bahasa pun, hanya bisa ikut terdiam.
Saat itu, aku berharap perasaan Kei hanya main-main dan akan hilang dengan sendirinya, tapi sekali pun Kei tidak pernah memberitahu Putri tentang perasaannya, semakin lama aku menyadari jika perasaan Kei tidak main-main.
Entah apa yang membuatnya sampai sekarang masih memilih tidak mengatakannya pada Putri dan sekarang malah Putrilah yang mengakui perasaannya padaku.
"Jadi, mereka berdua saling menyukai!" pikirku sambil terpaku, "arrgh!" erangku penuh emosi seraya mengacak-acak rambutku, tapi tanganku berhenti saat atensiku menangkap deretan foto yang tertempel di dinding kamarku.
Flashback 12 tahun lalu, ayah dan bunda berhasil memaksaku berfoto bersama dengan bocah yang harus aku panggil adik itu dan tanpa meminta izinku, bunda memasang salah satu foto itu di dinding kamarku.
Foto pertama berhasil aku lempar dari balkon kamarku, hingga bingkai yang membungkusnya hancur berkeping. Pertama? Iya, karena setiap tahun bunda akan memaksaku melakukan hal sama, kami berfoto bersama.
Tidak! Tepatnya akulah yang terpaksa. Putri selalu dengan senang hati melakukannya dan lagi-lagi foto itu akan dipasang di dinding kamar kami masing-masing.
Bagaimana dengan foto kedua? Nasibnya tidak jauh berbeda dengan foto pertama, berakhir di bak sampah, sedangkan foto ketiga dan selanjutnya bertahan di dinding ini karena bunda mengancam akan memberikan hukuman, jika aku berani memindahkan foto-foto itu dari posisinya. Begitu pula foto pertama dan kedua yang kembali ke posisinya semula. Flashback off.
Aku memperhatikan foto-foto itu. Foto yang awalnya menampilkan wajah masamku yang sehabis menangis karena paksaan bunda. Wajah marahku di foto kedua. Wajah cemberutku di foto ketiga. Wajah malas dan terpaksaku di foto keempat dan wajah datar tanpa ekspresiku di foto kelima.
Namun, sesaat aku baru menyadari ekspresiku yang semakin berubah di deretan foto berikutnya. "Bagaimana bisa seorang bocah mungil nan tengil yang sangat menyebalkan itu, berhasil merubahku?" pikirku.
Entah sejak kapan, Putri berhasil meluluhkan egoku, hingga foto selanjutnya aku selalu tersenyum tampan di samping Putri.
Jika diperhatikan, senyum Putri selalu sama di setiap fotonya. Cantik! Bukan hanya berhasil meluluhkan ego seorang Vincent Adhitama, tapi tanpa Putri sadari, ia juga sudah berhasil meluluhkan hati lelaki yang dipanggilnya abang ini.
Aku menghela napas panjang, memijit ruang di antara dua alisku. Sekali lagi, aku memandang deretan foto itu. "Adik! Ingat V, Putri adikmu! Buang saja semua rasa ini!" monologku. Aku pun meraih kunci mobilku, pergi meninggalkan kamar yang penuh kenangan bersama adikku ini.
***
Kulajukan mobilku tanpa tujuan. Aku hanya ingin membawa hatiku yang lara. "Sasa ... " ucapku seorang diri. Seandainya saja, 10 tahun yang lalu cinta monyetku itu tidak meninggalkanku, mungkin aku tidak akan pernah menyukai Putri.
Sudah 10 tahun sejak Sasa pindah ke Singapura bersama kedua orang tuanya dan aku benar-benar sudah melupakan cinta monyetku itu.
Tidak butuh waktu lama untukku melakukannya, tapi kenapa untuk Putri berbeda. "Butuh waktu berapa lama agar aku bisa melupakan perasaanku ini?" lirihku.
Segala upaya sudah kulakukan, bahkan aku sudah berlari ke banyak gadis, untuk sekedar melupakan wajah cantiknya. Berlari dari satu pelukan ke pelukan yang lain. Beralih dari satu ciuman ke ciuman yang lain.
Sampai aku menemukan gadis yang wajahnya hampir mirip dengan Putri. "Mungkin, dengan cara ini akan berhasil," pikirku, tapi bahkan sampai kehangatan tubuh gadis itu pun, tidak berhasil membuatku melupakan rasa sukaku ini karena walaupun aku memaksa ragaku pada gadis lain, tapi hatiku tetap meronta memanggil satu nama yang terlarang "Putri Adhitama".
"Kenapa aku harus menjadi abangmu! Kenapa kau harus memanggil ayah dan bundaku dengan sebutan yang sama? Kenapa aku harus memanggilmu adik? Apa aku benar-benar tidak boleh menyukaimu hanya karena kata "adik" itu, sedangkan darah yang mengalir di tubuh kita berbeda? Tidak bisakah kau berhenti menganggapku abang?" lirihku seraya menggenggam setir mobil dengan kuat.
Lalu, aku membanting setir itu ke samping sampai mobilku berhenti di pinggir jalan. Tanpa aku sadari, aku sudah sampai di jalanan yang sepi. "Sejauh inikah sudah aku berlari?" tanyaku pada diriku sendiri.
Mataku memandang kosong kearah depan dari balik kaca mobil. Langit yang menghitam dengan tetesan air hujan yang mulai membasahi bumi, menyamarkan bulir air yang menetes di ujung mataku.
"Tuhan, jika menyukainya harus sesakit ini, tolong bantu aku melupakannya," pintaku lirih dengan air mata yang sudah tidak tertahan.
Di saat yang bersamaan, sebuah petir menyambar tepat di ujung jalan. Membuatku terhenyak sesaat melihat kilatannya. Aku pun memutar balik mobilku, kembali melajukannya. Kali ini, aku punya tujuan yang ingin kudatangi.
***
Rumah keluarga Dexter, seperti biasa aku langsung masuk ke rumah mewah ini. Rumah ini sudah seperti rumah kedua untukku.
"Masuklah, V! Kei ada di kamarnya," ucap Agust, sangat pemilik rumah yang melihatku datang. Aku tersenyum dan menyapanya, "Sore, Om. Baiklah, aku akan keatas," balasku.
Aku memasuki kamar Kei tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Di dalamnya, tampak Kei yang sedang memainkan ponselnya sambil berbaring di kasurnya.
"Oh, V! Kau datang? Kenapa tidak memberitahu dulu?" sapanya. Aku hanya berlalu di hadapannya. Aku berjalan menuju ruang gaming keren yang terdapat di dalam kamarnya ini.
"Apa kau datang sendiri?" tanya Kei lagi. "Hmmm? Apa kau berharap aku datang bersama Putri?" tanyaku balik seraya duduk di kursi gaming miliknya. Kei hanya menggaruk-garuk tengkuknya yang sepertinya, tidak gatal.
Tanpa menghiraukan pemilik kamar, aku mulai bermain game favoritku dan saat asyik bermain, ponselku berdering. "Bocah Tengil" tulisan di layar ponselku menunjukkan jika Putrilah yang menghubungiku.
Aku mem-pause-kan game-ku sebentar untuk menerima panggilannya. Agar mempermudah aku bermain game, aku meletakkan ponselku pada holder yang tersedia di samping layar komputer. Aku pun menerima panggilan itu, sambil melanjutkan game-ku yang tertunda tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments