"Luk, lo marah digangguin?"
Alex bertanya seperti anjing ketakutan karena pemiliknya marah.
"Luk, ayolah. Gue tau lo enggak mungkin kalah, tapi sebagai pengawal yang baik, ya gue mesti protektif dong sama lo. Jadi kalo lo kenapa-napa ya spontan gue satset."
Alex itu seperti saudara beda orang tua Luka. Lio memungut Alex dari tempat dia dibuang saat tubuhnya masih merah dan meletakkan Alex di kamar yang sama dengan Luka, hingga mereka tumbuh bersama. Itulah alasan terbesar kenapa Alex yang kurang ajar tetap berada di sekitar Luka.
Tapi Luka tidak sedang peduli pada ocehan Alex. Pria itu berjalan lurus sambil memikirkan istrinya.
Sekarang Luka bertanya-tanya siapa yang perempuan itu pikirkan saat mau membunuh Luka. Gerakannya yang brutal itu terlihat menarik. Seolah-olah dia mau berdansa sambil membunuh.
"Oya oya, kayaknya aku ngelewatin sesuatu," ucap suara menyebalkan.
Di depan pintu bangunan Luka, Lio bersedekap menunggunya. Dia melihat kening Luka yang mengeluarkan darah sekalipun suda diseka, lalu tersenyum.
"Kamu sama Trika kayaknya beneran cocok, yah. Sama-sama ganas," komentar dia santai.
"Lo mungut dia di mana?" tanya Luka dingin.
"Di tempat yang bikin dia lebih milih masuk neraka daripada tetep di sana." Lio berjalan mendekat. "Kamu udah liat mata yang keliatan mau bunuh semua orang biar dia puas? Itu bukan aku yang bikin. Itu murni dari dia. Dia pembenci, pendendam, pemarah."
Luka mengerutkan kening saat Lio mengulurkan tangan ke bagian sayatan Bintang.
"Kamu bunuh Tri?" tanya Lio tenang. Dia menyayangi Binatang, tapi sebagai mainan Luka. Kalau Luka merusak mainannya, ya itu terserah Luka. "Kayaknya enggak. Bau darah kamu enggak banyak. Tapi kamu bales ini kan?"
"Gue yang balesin, Bang." Alex menyahut bangga. "Jangan marah yah kalo mainan lo ketusuk tulang rusuknya sendiri."
"Bagus." Lio melepaskan Luka dan tersenyum bangga. "Terus, sekarang kamu mau apa? Kamu suka mainan barunya?"
Luka tak menjawab, hanya berlalu meninggalkan Lio. Saat tahu Alex dan Tirta mau mengikutinya, Luka bergumam, "Enggak usah."
Mereka berdua kurang ajar, tapi tahu kapan harus patuh. Dibiarkan Luka pergi memasuki bangunannya yang sepi.
Pria itu melintasi lorong tanpa kehidupan. Naik ke lantai satu, dua, tiga, dan akhirnya sampai di lantai empat, lantainya sendiri.
Luka masuk ke kamarnya yang megah, berdiri di depan cermin dan menyeka darah di keningnya.
Luka tidak marah soal Bintang melukainya. Ia yang mengajak duel jadi itu memang jelas akan ada luka. Tapi Luka tersinggung sebab perempuan itu malah memikirkan orang lain.
Beraninya dia melampiaskan kebencian pada Luka padahal Luka tidak peduli padanya.
Dia memanfaatkan Luka saat seharusnya Luka yang mempermainkan dia. Itu bahkan tidak layak disebut lelucon.
"Padahal saya enggak bakal nyiksa kamu kalau kamu tau diri, Tri." Luka membuang kain bekas memgelap darahnya ke tempat sampah. "Tapi sekarang kamu yang minta."
Menghantam pedangnya pada Luka sambil memikirkan orang lain itu pernyataan perang. Akan ia ladeni sampai dia porak-poranda.
Luka masuk ke kamar mandi, membasuh dirinya sendiri. Lantas berpindah ke kamar pakaiannya, mengambil setelan baru sebelum turun ke bawah.
Luka menuruni tangga menuju lantai bawah, melewati ruangan Alex dan Tirta sering bermain game.
"Tirta," panggil Luka tanpa menoleh.
"Ya, Bos?" Tirta loncat, mengikuti Luka terburu-buru. "Lo mau ke mane, Bos?"
"Suruh Tri dandan. Gue tunggu di gazebo."
Tirta yang mendengar perintah itu seketika tercengang. Mungkin Luka mau menyiksa Bintang karena dia kesal. Itu jelas mustahil bagi orang yang baru saja terluka untuk pergi makan bersama di gazebo, tapi kenapa Luka harus melakukannya?
Kayaknya omongan Lio sekali lagi benar. Kenyatan Luka mengundang Bintang makan malam itu berarti sedikit saja dia tertarik, sekalipun untuk menyiksa.
Bintang nampaknya memang selera bosnya yang sadis ini.
*
Dukung karya ini dengan like 👍 kalian dan mampir ke karya author lainnya 👇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Widhi Labonee
hmmm,,, apakah ini kisah awal" nya narendra kak othor???
2023-07-08
4