Setelah berjalan kaki sekitar sepuluh menit melewati jalan raya dan menyusuri trotoar, Dita tiba di gang kecil yang selalu ramai.
Banyak anak kecil bermain dan berlarian di gang itu. Sementara jika masuk lebih dalam ke kawasan kontrakan Dita, tetangganya kerap terlihat berkumpul dan mengobrol.
Untungnya, hunian Dita yang berada di lantai dua sedikit menyelamatkannya dari keramaian di bawah sana.
“Aku pulang…” ujar Dita.
Seperti biasa. Hawa panas selalu menyeruak ketika berada di dalam kontrakan sederhana itu. Di sana, dua orang wanita telah terlihat sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.
Ruangan yang ukuranya sekitar 6x4 meter itu menjadi tempat tinggal Dita bersama dua orang saudarinya di kota ini.
Hanya sebuah kipas dinding berukuran sedikit lebih besar yang menjadi pendingin ruangan di sana. Untungnya terdapat sebuah kulkas yang menjadi penolong ketika udara benar-benar sangat panas. Botol-botol air mineral berjajar rapi di balik pintu kulkas.
Duduk di bawah kipas sembari minum minuman dingin menghadirkan kepuasan tersendiri bagi mereka.
“Kak Dita…” salah seorang dari mereka bertiga memecah keheningan.
Gadis dengan riasan yang terlihat lebih tebal itu pasti adiknya Dita.
“Hmm…” sahut Dita.
“Udah balik?” tanyanya lagi.
“Belom. Ini bayangannya doang,” jawab Dita malas.
“Heheh...”
“Capek banget, deh. Hari ini diomelin orang lagi…” keluh Dita.
“Kenapa?” tanya satu orang lagi.
Wanita berambut coklat itu mengalihkan perhatiannya pada Dita setelah tadi sibuk dengan ponselnya.
“Kan ada orang yang kartunya ilang, pas dijelasin kalo bayarnya seratus ribu, malah ngomelin Aku… Aku kan Cuma kerja, ya nurut aja sama apa yang disuruh bos…” ungkap Dita.
“Dit… Masih mending kamu diomelinnya di ruangan kamu, sendirian, kan? Gak ada yang liat. Lah, Kakak tadi dibentak-bentak bos pas meeting sama staf yang lain. Tapi gak sampe ngeluh-ngeluh mulu kayak kamu, Dit,” balasnya.
“Huh…” Dita mengambil nafas dalam
Batinnya berharap Ia tak pernah mengungkapkan keluhannya tadi.
“Mau pada makan lagi, ga? Kak Risha? Ros ” tanya Dita.
“Mau…” jawab mereka kompak.
“Apaan?”
“Cari di aplikasi, kek…” ucap Risha sambil sibuk dengan ponselnya.
“Banyak… Mau ayam? Atau apa? Rosie? Kak? Pada mau apaan?” Dita menawarkan pilihan.
“Terserah…” jawab Risha.
“Kak Dit… Aku pengen kuitiaw siram…” kata Rosie.
“Kak Isha juga?”
“Ngikut aja…”
“Ya udah… Kuitiaw siram tiga, ya… Aku pesenin” ucap Dita datar.
“Rosie kamu yang turun,” sambar Risha.
“Iya, iya…” balas Rosie.
“Nih,” Dita meletakkan ponselnya, “mandi dulu.”
Setelah selesai dengan urusannya di kamar mandi, Dita melihat makanan yang dipesannya sudah tersaji dan siap disantap. Ketiga kakak-beradik itu akhirnya menyantap makanan mereka dengan lahap.
“Ck. Kakak jadi keinget lagi omongan Bibi…” tiba-tiba Risha mengubah alur pembicaraan dan menghentikan suapan makanannya.
“Ooh. Yang tadi siang?” tanya Dita datar.
“Iya, Dit. Kakak sakit ati banget baca chat-nya Bibi-“
“Bi Rahayu?” Rosie memotong ucapan Risha.
“Siapa lagi...” balas Dita.
“Emang Bi Rahayu ngomong apa?” Rosie penasaran.
“Sebenernya dari minggu-minggu kemaren Bibi nanyain utangnya Bapak ke Bibi. Cuma tadi siang Bibi sampe bilang ‘kalian juga dulu sekolah tuh dibantu sama Bibi’… Dih. Dulu kata dia ke nenek ‘jangan suka ngungkit-ngungkit masa lalu entar ga jadi berkat’, malah dianya yang ngungkit-ngungkit kayak gitu. Terus kakak jawab gini aja, ‘maaf banget Bi. Isha juga tau gimana dulu Tita sama Devi ngomong apa ke Bapak’. Makanya kakak sakit ati banget ” tutur Risha.
“Lah. Dulu waktu si Tita nyari-nyari kerjaan di kota juga kan Bapak yang urus dia, kan? Kasarnya si Tita tuh Bapak yang nampung, ya kan? Inget Rosie juga walupun dulu masih bocil” sahut Rosie.
“Iya. Lagian kalo Bibi butuh banget buat bayar kuliah si Santi, kenapa gak minta sama si Tita, sama si Devi, sih. Di-status mah si Tita suka bangga-banggain mulu adeknya. Giliran buat kuliahnya, kita yang pusing.” gerutu Risha.
“Tapi udah dibayar?” tanya Rosi
“Udah. Untung ada di si Dita. Oiya, Dit. Nanti kakak ganti setengahnya ya kalo dari pak Baskoro udah cair.”
“Setengahnya??” tanya Dita lesu.
“Iya, kan? Setengah-setengah.”
“Kan tadi dari kak Isha cuma ngasih seperempatnya?”
“Ih. Ini bayarin utangnya Bapak, lho. Itung-itungan gitu, sih”
Tapi kan uang aku… pikir Dita.
“Hmm…” pungkas Dita pasrah.
Obrolan itu berakhir bersamaan dengan habisnya makanan di hadapan mereka. Kini, mereka kembali sibuk dengan ponsel mereka masing masing.
Berbeda dengan kedua saudarinya yang nampak asyik dan sesekali terlihat tertawa santai, Dita terlihat memainkan ponselnya dengan raut wajah yang sangat serius. Mungkin ada hal penting yang Ia temukan.
“Kayaknya Aku diterima kerja di tempat yang waktu itu Aku ceritain, euy” ujar Dita
“Seriusan?”
“Kapan? Kata siapa?”
Risha dan Rosie nampak semangat
“Yang beberapa minggu lalu nawarin kerjaan... Ternyata dia temen deket HRD-nya… .” ungkap Dita.
“Wih. Keren banget ordal-nya kak Dita” Rosie terkekeh.
Dita ikut menyeringai mendengar ucapan adiknya barusan.
“Gajinya gimana, Dit?” tanya Risha.
“Waktu interview sih bilangnya UMR…”
“Bagus, dong ! Kamu gak perlu banyak kerja part-time lagi buat kuliahnya si Rosie” seru Risha.
“Iya, sih. Tapi itu masih kayak bocorannya aja. Panggilan resminya belom ada, sih,” balas Dita.
“Ya semoga aja bisa cepet pindah kerja lagi. Sayang-sayang skill kamu jadi kependem kalo kelamaan kerja di sana.” Yang Risha maksud adalah tempat kerja Dita yang kekurangan cahaya matahari itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments