“Tadi kayaknya aku liat Heyra di sini deh,” Vindra baru saja sampai di titik di mana ia terakhir kali melihat sosok Heyra dalam penglihatannya.
Vindra mengedarkan pandangannya pada manusia yang berlalu-lalang di sekelilingnya berharap sosok yang ia cari masih berada di sana dan mampu ditangkap kembali oleh indra penglihatannya.
Harapannya bukan hanya sekadar harapan, tapi harapan yang menjadi kenyataan. tak butuh waktu lama bagi Vindra untuk menemukan kembali sosok Heyra yang sedang berjalan pelan, sendirian di tengah lalu-lalang manusia yang saling bergerombol bersama teman-teman mereka, mencari tempat duduk paling strategis ataupun hanya sekadar bercanda ria saja.
“Heyra!” Vindra segera meneriaki Heyra sembari menghampirinya, berharap ia akan sadar akan kehadirannya di sini.
Heyra yang merasa terpanggil segera menoleh ke sumber suara. Sekilas ia tampak memasang wajah terkejut ketika melihat sosok Vindra, teman SMP-nya itu berjalan menghampirinya.
“Heyra, gimana kabarmu? Sehatkan?” tanya Vindra dengan senyum sumringah.
“Iya sehat.” Heyra membalasnya lirih dengan kepala yang sedikit ditundukkan, memperlihatkan gestur gugup.
“Oh ya, by the way tadi aku liat kamu di lapangan, aku manggil kamu tapi kamu gak nyaut,” ucap Vindra dengan nada yang cukup bersahabat.
“Oh ya? Maaf aku gak denger,” namun tetap, Heyra masih membalasnya dengan irit dan lirih, seakan Vindra hanyalah teman yang hanya sebatas teman kenalan, bukan teman yang sudah akrab dan bisa menjadi tempat berkeluh kesah seperti dulu.
“Yaudah kalo gitu sekarang mau ikut aku gak duduk bareng sama Umar, sama Bima juga di depan sana.” Dari kejauhan Vindra menunjuk dua buah kursi kosong di samping kursi yang diduduki oleh Umar dan Bima, cocok untuk Vindra dan Heyra yang memang hanya berdua saja.
Heyra menggeleng cepat. “Gak usah Vin, gapapa, aku duduk sama temen-temen sekelasku aja.”
Detik itu juga Heyra menyudahi pembicaraan dan segera pergi bergabung dengan anak-anak yang sedang menempati kursi-kursi yang Vindra duga sebagai anak-anak dari kelas X-1.
Heyra tak memberikan kesempatan pada Vindra untuk berbicara dengannya lagi yang sebenarnya Vindra masih ingin sekali berbicara lebih lama dengannya.
Dengan kecewa setengah hati, sendirian Vindra berjalan kembali ke tempat Bima dan Umar, menempati kursi kosong di samping mereka lalu duduk di sana. Kursi kosong di samping Vindra yang seharusnya ditempati oleh Heyra, sekarang diisi oleh seorang cewek.
Ketika mata Vindra dan mata cewek tersebut saling bertemu, cewek tersebut langsung tersenyum kepada Vindra dan mengajaknya bersalaman.
“Namaku Aurel, salam kenal,” ucapnya. Ketika tangan cewek itu terulur sudah siap menunggu jabat tangan darinya, Vindra segera meraih tangan tersebut lalu bersalaman sambil mengatakan.
“Namaku Vindra, salam kenal. By the way kamu dari kelas berapa?” tanya Vindra sambil tersenyum ramah.
“Kelas X-5, kalo kamu?” tanya balik Aurel.
“X-3,” balas Vindra. “Oh…"
Setelah beberapa percakapan ringan, acara MPLS akhirnya dimulai sehingga mengharuskan mereka menyudahi percakapan mereka.
Kedua MC yang akan memimpin jalannya acara sudah naik ke atas panggung dengan microphone yang terpasang di kerah mereka. Masing-masing dari mereka juga membawa secarik kertas yang isinya adalah teks MC dan susunan acara MPLS.
Beberapa sambutan dari kepala sekolah, Waka kesiswaan dan kurikulum, lalu dilanjutkan hiburan dari sebuah grup band yang Vindra belum ketahui namanya sudah terlaksana.
Ketika para anggota band sedang membereskan alat musiknya dibantu oleh panitia, Aurel menggunakan jeda waktu tersebut untuk bertanya perihal sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak tadi.
"Vin." Panggil Aurel, Vindra lalu menoleh.
"Kamu lagi ada masalah?"
“Masalah? Enggak kok,” balas Vindra sedikit bingung, kenapa tiba-tiba Aurel yang baru saja menjadi temannya setengah jam yang lalu bertanya perihal 'apakah kamu ada masalah'.
“Kamu gak usah bohong, keliatan dari ekspresi wajahmu.” Vindra tersentak pelan. Ia sepertinya mengerti apa yang dimaksud oleh Aurel. Vindra menghela napas lelah lalu mulai bercerita.
“Jadi sebenarnya begini…” Vindra memulai cerita, Aurel fokus mendengarkan.
-
“Oh….” Vindra selesai menceritakan dengan singkat apa yang baru saja ia alami.
“Entah kenapa sejak menjelang MPLS ini Heyra kayak makin jauh gitu, kayak dia itu gak suka kalau aku deketin, padahal emang udah dari dulu kita deket kayak sahabat,” lanjut Vindra setelah menyelesaikan ceritanya.
Aurel diam sejenak. Posisinya di sini tak ada bedanya dengan siswa-siswa yang lain. Ia hanya seorang siswa yang sedang menjalankan MPLS dan belum mengenal siapapun di sini kecuali teman-teman SMP dan SD yang kebetulan satu sekolah lagi dengannya.
Namun itu pengecualian untuk perempuan pemalu yang sulit mendapatkan teman yang Vindra jelaskan tadi.
Dari pengalaman hidupnya yang bermacam-macam sewaktu kecil dan profesi orang tua angkatnya yang seorang psikolog, Aurel bisa mengetahui seperti apa perempuan yang Vindra maksud. Kelas X-1 dan pemalu. Ia yakin bisa mengenali perempuan itu dengan mudah, pikirnya.
“Yaudah, mungkin dia emang lagi ngambek atau apa, jadinya gak pengen dideketin dulu. Lama-kelamaan juga bakal kayak dulu lagi kok,” kata Aurel berusaha menghibur Vindra.
Acara MPLS sudah berlangsung selama tiga hari dan berjalan dengan lancar. Sekarang Vindra hanya perlu menunggu hari di mana ia akan melaksanakan upacara bendera dan mapel pertamanya di SMA. Dan hari di mana ia bisa berbicara dengan leluasa bersama Heyra lagi.
Sudah satu minggu sejak hari pertamanya menjalankan MPLS dan belum satu kali pun ia berbicara dengan Heyra. Sudah sih, itupun hanya bertegur sapa ketika tidak sengaja bertemu dan menanyakan kabar lalu dilanjutkan basa-basi singkat yang terasa canggung.
Vindra merasa mereka berdua seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu, yang pada kenyataannya mereka sudah saling mengenal sejak di bangku SMP.
...----------------...
Malam itu Heyra tak bisa tidur dengan nyenyak. Walaupun lampu kamarnya sudah dimatikan dan laptop di meja belajarnya terus menyala menyanyikan playlist lagu lofi, Heyra tak pernah bisa melepaskan overthinking-nya tentang hari esok.
Besok ia akan sekolah. Satu set seragam sekolah abu-abu bersama almamaternya sudah bertengger rapi di hanger yang ia gantungkan di daun pintu lemari.
Tasnya yang ia letakkan di bawah meja belajar tampak sudah gemuk berisi buku pelajaran yang akan ia bawa esok. Lalu, jika semuanya sudah siap seperti itu, apa yang membuat Heyra overthinking hingga tak bisa tidur?
Ini bukan masalah di sekolah atau keraguannya bisa bangun pagi dikeesokan harinya, namun tentang bagaimana ia menghadapi Vindra besok ketika mereka tak sengaja saling bertemu.
“Vindra….” Heyra bergumam pelan. Posisi tidurnya diubah menyamping menghadap dinding. Terdengar nada rindu dan sedih di dalamnya.
Heyra kembali mengubah posisi tidurnya. Ia sedikit membangkitkan tubuh lalu diraihnya gagang laci pada nakas di samping tempat tidurnya. Ia membuka laci tersebut lalu mengeluarkan sebuah buku berukuran sedang berwarna abu-abu dengan sedikit taburan glitter pada sampulnya.
Di sampulnya terdapat dua tempelan stiker sepasang remaja perempuan dan laki-laki bergaya kartun yang sedang berdiri berjejeran sambil mendadah-dadahkan tangannya dengan wajah tersenyum.
Lalu di atas stiker tersebut terdapat tulisan tegak bersambung bertuliskan Heyra’s Diary. Siapapun yang melihat buku itu pasti akan tahu kalau kedua stiker sepasang remaja itu adalah Heyra dan Vindra itu sendiri.
Heyra mulai membuka halaman pertama buku diary-nya. Pada halaman pertama buku tersebut, dituliskanlah Heyra kata-kata pembuka darinya dan apa-apa yang akan ia tulis di buku tersebut.
Halaman selanjutnya ia buka, dan di sanalah kenangan semasa SMP nya sampai sekarang mulai terputar, didominasi oleh kenangan-kenagannya bersama Vindra.
Seperti foto selfie iseng saat apel pramuka, foto Heyra bersama monyet saat kunjungan ke kebun binatang, dan foto Vindra yang disuruh hormat ke tiang bendera selama 15 menit karena datang terlambat saat upacara bendera.
Potongan-potongan kecil kenangannya kembali muncul menghiasi bagian memori otaknya. Wajah Vindra beberapa kali muncul diikuti wajah sang ibu, ayah, keluarga besar, dan teman-temannya.
Air matanya masih menitik kala senyum mulai merekahkan bibirnya. Heyra menyadari betapa dekat dan akrabnya mereka dulu sebelum masa-masa SMA ini dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments