Aku melangkah ke dapur untuk menghampiri Laura yg tengah berkutat dengan wajan dan spatula.
Ku lihat dia tengah menggoreng tiga telur mata sapi.
"Kok tiga? " Tanyaku keheranan, pasalnya tadi zain, Darren, dan juga sahim sudah pada makan.
" Ya tigalah, kalo yg sekarat itu nggak di kasih makan, bisa bisa dia mati duluan sebelum kita membuatnya menderita." Sahutnya sembari sembari meletakkan dua piring berisi nasi dan telur yg baru saja dia goreng.
" Kita makan dulu aja ma, urusan si bangsat itu mah belakangan." Ucapnya sebelum memasukkan suapan nasi ke dalam mulutnya.
Aku pun segera melahap nasi yg ada di depanku lantaran perutku juga sudah keroncongan sedari tadi, di tambah mendapat kenyataan yg baru saja di ungkap Laura, semua itu sangat menguras tenaga.
Terkadang ada yg bertanya "rumahnya bagus kok makan pakai telor ceplok aja?" Itulah pertanyaan para tetangga kala melihat anak anakku sedang makan.
"Anak anakku nggak ada yg rewel kok, bahkan kalau di kasih lauk tumis kacang panjang campur toge sama tempe goreng, mereka tetep lahap makannya." Sahutku apa adanya, karna memang sesederhana ini menu makanan di dalam rumahku.
Kami makan dalam diam, tak ada obrolan sedikitpun yg menyertai kami, Laura terlihat begitu lahap memakan nasi beserta telur mata sapi yg setengah matang.
Sedangkan aku, aku hanyut dalam pikiran ku, dulu awal pernikahan ku dengan papanya Laura, aku merasakan wanita paling beruntung, karna awal dia pulang dari kapal tepat di tahun dua ribuan, dia memberikan uang hasil kerjanya selama setahun di kapal sebesar delapan juta rupiah.
Di tahun itu uang yg dia berikan terbilang cukup besar, sehingga aku dapat menggunakannya untuk merintis usaha.
Satu juta untuk membeli mesin jahit dan juga mesin obras.
Sisanya aku gunakan untuk membeli kain, benang, dan juga bahan bahan lainnya, ya aku memulai usaha yaitu memproduksi celana slim fit, dan celana kantor berbahan wol.
Dan usaha itu semakin berkembang, karna memang aku bukan tipe wanita yg suka menghambur hamburkan uang, sebagian keuntungan aku gunakan untuk membeli kain lagi dan juga mesin jahit lagi.
Aku kira, suamiku akan memberikan nafkah sebesar pertama kalinya memberiku nafkah, ternyata realita yg aku bayangkan tidak semanis yg aku Terima.
Dua bulan setelah Laura lahir, suamiku pulang dalam keadaan berseri seri, kebahagiaan jelas terpancar dari wajahnya.
Tapi ada yg berbeda dari sebelumnya, dia pulang tanpa membawa peralatan kapal seperti tahun lalu, saat aku menanyakannya, dia jawab peralatan untuk mancing dia tinggal di tempat temannya.
Lalu dia mengatakan bahwa kerja di laut susah, kapalnya sering di terpa badai, akhirnya dia hanya memberikan uang tiga ratus ribu rupiah.
Dulu aku sama sekali tidak mempermasalahkan uang segitu, karna aku masih punya usaha sendiri yg dapan menghasilkan keuntungan sebesar dua ratus lima puluh ribu setiap minggunya.
Aku pikir setelah bersabar menantinya akan ada rezeki lebih yg dia bawa, ternyata salah, setahun kemudian dia pulang dengan membawa uang yg sama.
Tahun berganti sampai suatu hari usaha yg aku dirikan semakin menurun, harga kain dan benang yg melambung tinggi, akan tetapi harga celana yg aku jual harganya tetap sama tidak ada kenaikan harga, akhirnya aku bangkrut, tepat di saat Laura umur 4 tahun.
Jujur saja, waktu itu aku hampir frustasi, memikirkan bagaimana melanjutkan hidupku tanpa penghasilan, belum lagi tahun depan Laura sudah harus daftar sekolah TK.
Akan tetapi keberuntungan masih berpihak padaku, malam itu erik adik laki laki ku pulang bersama laki laki seumurannya.
"Hallo nona, siapa namamu? " Sapa laki laki itu kepada Laura,
Terlihat binar kebagian di wajahnya kala menatap wajah Laura.
"Om," alih alih menjawab pertanyaan laki laki tersebut, Laura justru berlari ke arah omnya dan mengacungkan kedua lengannya, tanda minta di gendong.
" Ini om emil, dia pemilik garment yg om kelola." Ucap erik sembari meraih tubuh Laura ke dalam gendongannya.
"Ah, panggilan om itu terlalu muda untuk laki laki seumuran aku rik." Sahut laki laki yg baru saja ku ketahui bernama emil.
"Hahaha bapak mah bisa aja, terus maunya di panggil apa sama Laura? " Tanya erik sembari mencubit gemas pipi gembul Laura.
"Aku lebih suka di panggil ayah oleh Laura, daripada di panggil bapak sama laki-laki setua kamu ha-ha-ha." Sahut emil di sertai gelak tawa yg mampu membuat dua sudut bibirku terangkat membentuk sebuah senyuman, sedangkan erik justru terlihat kikuk saat emil mengatakan keinginannya barusan.
"Ya kali aku manggil mas, ya nggak cocok buat seorang bos besar seperti Pak emil hehehe, " Sahut erik iringi senyuman malu malu.
Sedangkan aku yg memperhatikan mereka dari dalam kamar seketika senyum senyum sendiri seperti orang kesambet, entah kenapa aku merasa begitu bahagia kala orang tersebut berusaha mendekatkan diri dengan Laura.
"Pokoknya, mulai sekarang kamu harus berhenti memanggilku bapak, aku tidak setua itu!" Ketus emil sembari menyilangkan kakinya.
"ngomong ngomong, Laura umur berapa sih?" tanya emil sembari memindai penampilan Laura saat ini.
"empat tahun." sahut erik cepat.
"Harusnya umur empat tahun udah terbiasa pakai baju loh, jangan di biasakan pakai tank top sama ****** ***** aja, nanti kebiasaan sampe gede nantinya," Protes emil terdengar keberatan dengan penampilan Laura.
" Nggak tau aku, padahal setiap bulan aku selalu membelikannya gaun yg bagus, tapi nggak pernah di pakai." Timpal erik apa adanya.
"Bukan nggak pernah di pake rik, Laura kalo keringetan suka keluar bintik bintik merah, nantinya bakalan rewel, makannya aku biarkan dia pakai tank top sama ****** ***** aja, lagian juga cuma di dalam rumah." Sahutku panjang lebar, agar emil tidak terlalu menyudutkan penampilan Laura
"Yang namanya anak kecil, kalo berkeringat ya pasti badannya bintik bintik merah, ntar kalo udah terbiasa juga bakalan sembuh kok," Di luar dugaan, emil justru menimpali ucapan ku dengan panjang lebar juga.
Emil terlihat mengambil sesuatu dari paper bag yg dia bawa lalu menyerahkan pada Laura.
"Laura pakai baju ini ya, nanti jalan jalan sama om erik juga, ok!" Titah emil pada Laura, mata elangnya terus memandangi wajah Laura yg terlihat kebingungan.
"Sama bawa ke kamar, minta mama buat Pakaikan baju ini." Titah erik sembari mengusap rambut pirang keponakannya, ya, Laura mempunyai rambut pirang sejak kecil, sehingga banyak tetangga yg memberinya julukan londo Jawa.
"Rambutnya bagus ya, hidung mbangir, matanya tajam, besok kalau udah gede dia bakal tumbuh jadi perempuan tegas, tapi manja, hahaha." Celetuk emil sambil tertawa terbahak-bahak, haish menyebalkan sekali orang itu.
Aku memakaikan baju yg Laura berikan tadi, ternyata setelan blazer anak berwarna hitam, Laura terlihat lebih bagus pakai baju ini, sejenak aku terpaku melihat penampilan Laura saat ini, kalau di sandingkan dengan emil, dia memang cocok menjadi anaknya, sama sama mempunyai mata elang yg begitu berwibawa.
"Mamaaa, panas." Rengek Laura beberapa saat setelah memakai setelan blazer itu.
"Tahan ya dek, kan Laura mau jalan jalan, sana ke om erik, nanti kalau di luar juga nggak panas kok," Ucapku menghiburnya dan menyuruhnya untuk menyusul omnya di ruang tengah.
"Waaah, cantik banget keponakan aku," Jerit erik terdengar heboh sembari meraih tubuh Laura ke atas pangkuannya, lalu di ciumnya pipi Laura berulang kali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Syafa Aprilia
Ckkkk kata²nya di bintangi ya Thor🤭 sensor matiketu..🤣🤣🤣🤣
2023-06-24
0