Bab 4

Matahari melempar tasnya ke sembarang arah. Dia meraih ponselnya dan mencoba untuk menghubungi seseorang hingga beberapa kali, tetapi teleponnya tak kunjung diangkat. Matahari menghela napas kasar lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata.

Gadis itu kembali membuka matanya. Dia menyentuh pipinya yang masih terasa perih lalu mengusap sudut bibirnya yang bernoda darah.

Jika boleh jujur, ini adalah tamparan pertama yang berhasil mendarat di pipi Matahari. Ya, meskipun Hadi tidak pernah memberikan perhatian kepada Matahari, tetapi tidak pernah sampai memukul atau melukai fisik.

Namun hari ini, demi istri barunya Hadi berani menampar Matahari alih-alih membujuk gadis itu supaya mau menerima Indira sebagai ibu pengganti untuk Matahari.

Matahari beranjak duduk, dia mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir dengan sendirinya sedari tadi. Dia kembali mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Venus lagi. Namun, telepon dari Matahari tetap tidak diangkat.

Menghela napas panjang. Matahari berusaha menenangkan hati dan pikirannya dari rasa sakit. Sekali lagi, Matahari mencoba menghubungi Venus. Dia sangat berharap kekasihnya itu menjawab teleponnya.

“Kak Venus. Kakak di mana sekarang?” tanya Matahari begitu teleponnya diangkat.

“Di lapang Basket, latihan. Kenapa?”

“Bisa jemput aku sekarang gak?”

“Memang kamu lagi di mana?”

“Di rumah. Aku mau jalan sama Kak Venus sekarang.”

“Gak bisa. Aku lagi latihan basket sekarang.”

“Tapi Kak ....”

“Aku sibuk, Sunny. Dan aku juga capek sekarang. Tolong ngerti!”

Matahari menggigit bibirnya menahan isakan agar tidak terdengar oleh Venus. Saat ini Matahari ingin mengadu dan menceritakan semuanya kepada Venus, berharap kekasihnya itu bisa membawanya ke dalam dekapan dan menenangkannya.

“Gak bisa izin dulu latihannya ya?”

“Enggak bisa. Lagian sekarang cuacanya mendung, bentar lagi pasti hujan.”

Matahari menghela napas panjang dan kembali menggigit bibirnya agar tangisnya tidak terdengar oleh Venus.

“Kamu nangis? Kenapa?”

“Enggak apa-apa.”

“Sudah deh, jangan drama. Aku lagi males ladenin kamu sekarang.”

Sambungan telepon pun terputus begitu saja. Venus sengaja mematikannya secara sepihak.

Matahari tersenyum getir. Nyatanya, Venus bukan lagi obat yang bisa menyembuhkan setiap rasa sakit yang dia rasakan. Bukan lagi rumah yang biasanya selalu menciptakan kehangatan dan kenyamanan.

Mungkin benar yang dikatakan orang-orang, semakin lama hubungan akan semakin membawa ke dalam rasa bosan. Dan sepertinya Venus sedang ada di titik tersebut. Titik rasa bosan kepada Matahari.

***

“Kak, aku boleh tanya gak?”

“Apa?” tanya Venus.

Dia menatap gadis yang kini ada di hadapannya. Venus terpesona akan kecantikan wajah sang gadis hingga dia enggan untuk berpaling. Satu tangannya secara refleks terulur mengusap anak rambut yang menghalangi dahi gadis itu lalu menyelipkannya ke belakang telinga.

Sadar sang gadis menggigil kedinginan, Venus langsung melepaskan jaket yang dia pakai. “Pake jaket ini dulu. Kamu pasti kedinginan,” ucapnya.

“Kakak bagaimana?” tanya Bulan.

Venus tersenyum. Dia kembali mengusap rambut Bulan yang sedikit basah karena terkena air hujan dengan lembut. “Sudah gak apa-apa pake saja jaketnya,” ucapnya.

“Maaf, gara-gara nungguin aku sampai selesai main basket lo jadi harus pulang kehujanan. Harusnya gue bawa mobil saja tadi,” ucap Venus lagi.

“Gak apa-apa kok. Lagian kan aku sendiri yang mau nungguin Kak Venus latihan sampai selesai.”

Sama halnya seperti perasaan, cuaca juga begitu sulit untuk ditebak. Paginya langit nampak sangat cerah, tapi kemudian sore hari turun hujan secara tiba-tiba. Hal tersebut membuat banyak orang menjadi kelimpungan mencari tempat untuk berteduh dan menyelamatkan diri dari rinai air dari langit.

Itu juga yang terjadi kepada Venus sekarang. Dia yang sedang dalam perjalanan pulang terpaksa menepikan motornya untuk berteduh di halte bus.

“Eh, tadi kamu mau tanya apa?” tanya Venus.

Bulan menggigit bibir bawahnya. Dia nampak ragu untuk bertanya kepada Venus. Takut kalau Venus akan marah atau tersinggung.

“Itu ....”

Sebelah alis Venus terangkat menatap Bulan, menunggu gadis itu melanjutkan perkataannya.

“Kapan Kakak putusin Kak Matahari?”

Venus menghela napas panjang. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain, melihat rinai hujan yang turun begitu deras.

“Kita gak mungkin kayak gini terus kan, Kak? Lagian lama-lama Kak Matahari juga pasti curiga dan dia akan tahu semuanya,” ucap Bulan.

“Aku tahu itu. Suatu saat dia pasti akan tahu hubungan kita,” gumam Venus.

Bulan mengangguk. “Jadi, kapan Kakak mau jujur sama Kak Matahari tentang hubungan kita?”

Venus terdiam sejenak sembari menatap Bulan dengan sorot yang sulit ditebak.

Jujur saja, Berat rasanya bagi Venus untuk mengakhiri hubungan dengan Matahari. Dua tahun berpacaran dengannya dan hampir tidak pernah ada masalah besar di antara mereka membuat Venus merasa tidak memiliki alasan untuk putus.

Namun, Venus juga tidak bisa berlarut dalam keadaan seperti ini. Venus tidak boleh terikat hubungan dengan dua gadis dalam satu waktu. Jelas, itu akan menyakiti kedua gadis tersebut dan juga dirinya sendiri.

“Kak?”

“Ah, ya?”

Bulan berdecak lalu cemberut, kesal karena ternyata sedari tadi Venus malah melamun.

“Jadi bagaimana?” tanya Bulan.

Tak sesuai perjanjian di awal yang pernah Bulan katakan kepada Venus bahwa dirinya tidak akan banyak menuntut kepada Venus terutama tentang hubungan Venus dengan Matahari. Namun, entah mengapa kali ini Bulan ingin membahasnya.

Bulan ingin memiliki Venus seutuhnya. Bulan tak mau lagi bertemu dengan Venus secara diam-diam supaya tidak ketahuan oleh Matahari.

“Jangan cemberut gitu, dong,” bujuk Venus sembari tersenyum kepada Bulan. “Aku janji akan segera selesaikan semuanya dengan Matahari,” ucapnya lagi.

Mendengar hal itu membuat hati Bulan berbunga-bunga. “Beneran? Harus secepatnya, ya. Atau kalau enggak, biar aku saja yang mundur.”

“Iya, Sayang.”

Venus kembali mengulas senyum manisnya. Satu tangannya terulur mengusap pipi Bulan dengan lembut. Tatapan mereka saling mengunci satu sama lain, cukup lama. Hingga perlahan kepala Venus mendekat, ingin menyentuh bibir tipis Bulan yang begitu menggoda.

TIN TIIIIIN ....

“Sial!” umpat Venus karena kaget.

Venus tidak jadi mencium bibir Bulan karena tiba-tiba saja seseorang mengagetkannya dengan suara klakson mobil yang cukup keras.

Canggung. Bulan langsung mundur beberapa langkah menjauh dari Venus serta memalingkan wajah ke arah lain. Dia baru sadar bahwa mereka saat ini sedang di tempat umum. Untung saja jalanan sepi, kalau tidak Bulan pasti akan sangat malu.

“Hujannya sudah reda. Ayok, aku antar kamu pulang.”

Bulan mengangguk. Dia berjalan mengikuti Venus yang sudah menaiki motornya. Setelah itu mereka langsung melesat membelah jalan raya meninggalkan halte bus.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!