“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Yang menyambut kedatangan Vano adalah Elvina sendiri. Vano langsung tersenyum dan menyapa Elvina dengan hangat.
“Hai, El,”
“Iya, Pak. Silahkan masuk,”
“Hmm…saya di teras aja kali ya,”
“Lho kenapa?”
“Nggak enak sama ayah ibu kamu,”
“Mereka di ruang tamu,”
Vano menduga kalau kedatangannya sudah ditunggu oleh orangtua Elvina dan jujur itu membuatnya gugup. Padahal belum mau mengutarakan niatnya sekarang. Apalagi kalau nanti datang lagi untuk berkata pada orangtua Elvina bahwa Ia ingin Elvina menjadi istrinya, sudah dipastikan Ia sangat gugup.
“Assalamualaikum, Om, Tante,”
“Waalaikumsalam, Vano,”
Vano tersenyum, dalam hati Ia bahagia sekali karena ternyata namanya sudah diketahui oleh orangtua Elvina.
“Kayaknya Elvina udah cerita soal saya ke orangtuanya, karena mereka udah tau saya siapa,” batin Vano.
“Maaf ganggu waktunya,”
“Nggak ganggu. Vano dari rumah?”
“Iya, Om. Dari rumah langsung ke sini. Tadi saya tanya dulu ke Elvina boleh atau nggak saya datang, Alhamdulillah boleh. Soalnya mau kenal sama Om Tante. Oh iya ini ada titipan dari mama,”
“Waduh kenapa repot-repot, terima kasih ya, salam untuk orangtua kamu,” ujar Dini.
“Elvina udah izin dulu tadi ke kami. Ya kami jawab nggak apa-apa, datang saja, ‘kan orang mau menyambung tali silaturahmi itu justru bagus,”
“Gimana kesibukan kamu, Vano?”
“Ngajar aja, Om,”
“Hanya mengajar di kampusnya Elvina ya?”
“Kebetulan ada dua kampus, tapi yang satu lagi memang cuma sabtu dan minggu aja, kalau di kampus tempat Elvina, saya setiap hari ngajarnya,”
“Oh begitu,”
Perlahan rasa gugup Vano hilang karena orangtua Elvina menerimanya dengan baik, sehingga tidak membuatnya canggung. Mereka langsung mengajaknya mengobrol seolah sebelumnya sudah pernah bertemu. Mereka juga hangat sekali sehingga membuat Vano nyaman.
“Oh iya, kalau Om dan Tante izinkan, saya boleh ajak Elvina untuk makan di luar sebentar?”
Elvina mengerjapkan kedua matanya dan langsung menatap orangtuanya yang menahan senyum geli melihat reaksi anaknya.
“Makan dimana?”
“Terserah Elvina, Om. Sesuai seleranya Elvina aja,”
“Nggak, saya lagi nggak mau keluar, Pak. Maaf ya, Pak,”
Kedua orangtua Elvina lumayan kaget juga mendengar jawaban Elvina yang ternyata tidak mau pergi dengan Vano.
“Gimana Elvina aja. Kalau memang mau, ya silahkan. Tapi Elvina nggak mau, Vano,”
“Oh iya nggak apa-apa kok, Om. Lain kali aja,” Vano terlihat tidak masalah ketika mendapat penolakan walaupun sebenarnya Ia kecewa.
“Lain kali? Aduh, jangan deh ngajak-ngajak aku pergi berdua lagi, takut lho aku bawaannya,” batin Elvina.
“Kita makan di sini aja bareng-bareng, gimana? Kamu lagi nggak buru-buru ‘kan?”
Tidak jadi makan bersama Elvina, ternyata Vamo malah diajak makan bersama orangtua Elvina di rumah.
Elvina menatap kedua orangtuanya dengan mata membulat. Ia tidak paham kenapa orangtuanya malah mengajak Vano makan bersama. Suasana nanti pasti canggung kalau seandainya Vano bersedia.
********
“Mama, bisa kasih tau ke aku nggak sih? Siapa cewek yang Abang suka itu? Katanya ‘kan mahasiswi, namanya siapa tadi? El siapa, Ma?”
“Elvina,”
“Nah iya Elvina, terus mukanya kayak apa? Aku belum liat mukanya. Cantik ya pasti? Selera abang pasti nggak main-main,”
“Hahahaha ya menurut kamu aja,” Lisa tertawa karena anak bungsunya ternyata sepenasaran itu pada perempuan yang berhasil menarik perhatian abangnya. Lisa berharap setelah kenal, anaknya itu bisa beradaptasi, bisa menerima, sama halnya dengan apa yang akan dilakukan Elvina nantinya kalau memang jadi jodohnya Vano.
“Kata aku sih cantik,”
“Abang itu sebenarnya nggak mikirin fisik harus cantik, harus spek model, harus begini begitu. Tapi Abang bilang ke Mama, pokoknya pas ngeliat Elvina pertama kali, Abang naksir, terus Abang perhatiin aja karakternya kalau di kelas gimana. Sebelum naksirnya lebih jauh nih, Abang juga cari tau tentang Elvina,”
*****
“Abang, gimana? Kok lama sih? Abis jalan-jalan dulu ya sama ceweknya?”
“Ya ampun, Abang baru datang langsung dikeroyok sama kamu, Dek,”
Davina mendengus kesal. Ya wajar saja Ia penasaran, dan langsung menyerang abangnya yang baru sampai rumah dengan pertanyaan semacam itu karena abangnya tadi pamit ingin ke rumah Elvina.
“Iya ih si Adek kenapa sih posesif banget sama abangnya. Kalau emang abang jalan sama El kenapa?”
“Ya nggak apa-apa, tapi sesekali ajakin aku dong,”
“Mau apa?”
“Biar aku gangguin,”
“Sstt eh kok gitu? Nggak boleh ya ganggu percintaan Abang,”
Lisa menatap anak bungsunya dengan tatapan tajam dan itu langsung membuat Davina membungkam mulutnya.
“Iya, aku cuma bercanda. Ih Mama kenapa baper banget sih,”
“Yee baper-baper. Mau sampai kapan Abangmu jomblo kalau adiknya posesif gini,”
“Nggak, Ma. Nanti juga kalau udah kenal sama El, Davina langsung akrab, nggak posesif nyebelin kayak gini lagi, bahkan aku yakin dia bisa jadi bestie sama Elvina. Karena umur mereka ‘kan nggak jauh,”
“Ih aku aja belum kenal sama orangnya. Coba dong liat fotonya,”
“Ntar ketemu langsung aja,”
“Ya kapan, Abang? Kelamaan abang ah, aku pengen nilai dia nih,”
“Heleh, gaya banget kamu. Udah kayak orang gede aja mau nilai-nilai,”
“Lho, ‘kan harus dong, Ma. Aku nggak mau Abang salah pilih pasangan,”
“Sebelum kamu yang nilai, Papa Mama udah nilai duluan, Abang apalagi. Jadi kamu nggak usah khawatir soal itu,”
Davina mendengus dengan wajahnya yang merengut. Ia takut Abang satu-satunya itu dikecewakan oleh perempuan. Takut juga perhatian dan kasih sayang abangnya jadi hilang. Walaupun sudah sering ditenangkan oleh orangtua dan abangnya sendiri bahwa sampai kapanpun Ia akan menjadi princess di rumah ini, Vano akan tetap menjadi abang yang sayang terhadap dirinya sebagai adik, tak akan mengurangi kasih sayang ataupun perhatiannya.
“Eh cerita dong tadi gimana? Ketemu sama orangtua Elvina ‘kan, Bang?”
Lisa menarik lengan anaknya supaya duduk di ruang tamu, jadi mereka tidak pegal bicara sambil berdiri, dan tidak di depan pintu juga.
“Ketemu, Ma. Bahkan aku diajakin makan bareng,”
“Lho, bukannya mau makan di luar sama Elvina ya rencana Abang sebelumnya?”
“Iya tapi Elvina nggak mau, Ma. Dia mungkin emang lagi nggak mau ya banyak interaksi cuma berdua sama aku aja, jadinya dia nolak deh. Terus aku malah diajakin makan bareng sama orangtuanya yang benar-benar baik banget sama aku, mereka hangat, aku yang tadinya gugup eh nggak lama kemudian mencair dan akrab sama mereka,”
“Jadi Abang makan bareng sama Elvina dan orangtuanya?”
Davina mengambil posisi duduk di sebelah kanan abangnya, sementara Lisa duduk di sisi kiri Vano. Keduanya sama-sama penasaran dengan cerita yang akan disampaikan oleh Vano mengenai pertemuan pertamanya dnegan orangtua Elvina tadi.
“Iya, diajakin makan bareng. Ya udah Abang ikut deh, terus jadi makin nyambung ngobrolnya sama ayah bundanya Elvina,”
“Mereka baik ke abang? Beneran?”
“Iya, Dek,”
“Syukur deh, kalau galak, nggak usah mendingan, Bang. Cari yang lain aja,”
“Hahahaha mana bisa begitu?”
“Ya bisa lah, cari yang lain, yang orangtuanya baik, bisa terima abang. Kalau terima abang aja nggak bisa terus gimana terima aku sama mama papa coba?”
“Justru harus usaha supaya bisa diterima, ‘kan banyak yang kayak begitu. Awalnya ditentang orangtua, tapi karena usaha akhirnya orangtua luluh deh, tapi untungnya Abang ketemu orangtua Elvina yang nggak keras. Mereka benar-benar baik kok. Abang juga awalnya deg-degan pas ketemu mereka, tapi karena mereka nya langsung welcome, jadi Abang nggak deg-degan lagi deh. Paling nanti balik lagi deg-degannya pas mau ngomong ke mereka kalau Abang pengen Elvina jadi istri abang,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments