Tiga bulan kemudian, saat sore menjelang Timo terlihat sedang duduk di teras depan rumahnya, kini pria itu terlihat seperti mayat hidup karena rutinitas sehari-hari pria itu hanya duduk termenung dan berharap kalau Selena akan kembali pulang ke rumah minimalis itu.
Namun, harapan kadang tidak sesuai dengan keinginan dimana bukan Selena yang pulang melainkan sebuah surat undangan yang segaja wanita itu kirim untuk Timo, seorang pria yang sudah tidak memiliki semangat lagi untuk tetap bertahan hidup. Padahal baru kemarin wanita itu juga mengirim surat gugatan cerai pada Timo. Tapi sekarang lihatlah Selena dengan tidak punya hati malah mengirim lagi selembar surat undangan.
"Permisi, apa Anda Pak Timo?" tanya laki-laki yang berpakian serba hitam itu.
Timo hanya mengangguk sambil menatap lurus ke depan, dengan tatapan mata yang sangat kosong dan wajah datarnya.
"Ini Pak surat undangannya, Nyonya Selena sangat berharap Bapak datang di acara beliau." Laki-laki itu terlihat meletakkan surat undangan itu di atas meja. Tepat di depan Timo yang sama sekali tidak tertarik untuk membuka suara. "Kalau begitu saya permisi dulu Pak." Sesaat setelah mengatakan itu laki-laki yang di utus oleh Selena itu langsung pergi begitu saja.
Tepat setelah laki-laki itu pergi Timo sekarang mulai melirik secarik kertas undangan itu, dan tidak berselang lama pria itu malah langsung saja meremas undangan yang di depannya ada foto Selena dan seorang laki-laki yang begitu sangat gagah jauh lebih muda daripada dirinya.
"Tega-teganya kau menghianatiku Selena, rupanya kau benar-benar wanita yang gila harta." Timo tersenyum getir sambil kembali meremas surat undangan itu. "Kau memang sengaja menaburi garam di atas lukaku ini Selena," kata Timo yang sekarang terlihat mulai meranjak dari duduknya, entah apa yang saat ini akan pria itu lakukan.
***
Terlihat dengan senyum yang mengembang Abraham terlihat membawakan mapan yang berisi makan malam untuk sang ayah. Namun, saat anak laki-laki itu akan memegang gagang pintu Nadia, sang adik malah menarik baju Abraham.
"Kak Abra, aku boleh ikut 'kan, masuk ke dalam? Aku janji tidak akan ribut." Nadia gadis kecil yang bermata bulat itu, baru kali ini ingin ikut masuk ke dalam kamar Timo karena biasanya Nadia selama ini malah merasa takut dengan sang ayah.
"Apa benar kamu mau ikut?" Abraham bertanya pada adiknya hanya untuk sekedar memastikan.
Nadia dengan lugunya mengangguk sambil tersenyum simpul. "Benar Kak Abra, karena aku ingin melihat Ayah." Nadia terlihat semakin melebarkan senyumnya.
"Baiklah, kalau begitu tolong kamu buka pintu kamar Ayah karena Kakak sepertinya tidak bisa membuka pintu ini, disaat tangan Kakak sedang memegang mapan," kata Abraham sambil memberikan sang adik isyrat untuk segera masuk dulun ke dalam kamar itu.
Nadia sekali lagi mengangguk dan segera berjalan mendekat ke arah pintu itu, supaya tangan kecilnya bisa meraih gagang pintu.
"Ayo Nadia, buka saja pintu itu karena saat ini pasti Ayah sudah sangat lapar." Abraham terdengar menyuruh Nadia untuk segera membuka pintu.
"Kakak benar aku harus segera membuka pintu ini, karena pasti Ayah sudah sangat lapar." Nadia kemudian dengan semangat terlihat membuka pintu itu.
Namun, pada saat pintu itu sudah berhasil ia buka, gadis kecil bermata bulat itu langsung saja menjerit histeris, karena apa yang Nadia lihat saat ini sangat menyeramkan di kedua mata gadis kecil itu.
"Ayah!" teriak Nadia setengah menjerit.
Sedangkan Abraham yang dari tadi berada di belakang Nadia, segera maju selangkah demi melihat apa yang saat ini sang adik sedang lihat dengan mimik wajah yang begitu panik, karena baru kali ini Abraham mendengar Nadia menjerit histeris seperti saat ini.
"Ayah kenpa–" Kalimat Abraham terputus karena anak laki-laki itu malah melihat Timo yang sudah bu nuh diri dengan cara menggantung di ri pada kipas yang ada di atas sapu lantai. "Ayah!" Abraham tanpa aba-aba langsung saja membuang mapan yang ia bawa, sehingga terdengar suara pecahan gelas serta piring yang berisi makanan tadi.
Ceerangg ...!
Pecahan piring itu sudah terlihat berserakan di lantai. Namun, Abraham tidak mempedulikan akan hal itu demi melihat bagaimana keadaan Timo saat ini.
"Ayah ... Kak Abra, Ayah kenapa?" tanya Nadia yang begitu shock saat melihat sang ayah yang sudah tidak bergerak lagi, dengan posisi kedua tangan yang terkepal serta lidah yang menjulur keluar dan mata yang terpejam.
Abraham yang tahu kalau saat ini Timo sudah tidak bernyawa lagi, dengan cepat menarik pergelangan tangan Nadia dan segera membawa tubuh kecil adiknya itu untuk masuk ke dalam pelukannya, karena anak laki-laki itu merasa kalau saat ini yang harus ia lakukan berusaha untuk saling menguatkan satu sama lain dengan Nadia.
Sebab hanya itu yang bisa Abraham lakukan, dan tidak mungkin anak laki-laki itu akan meraung, menjerit, hingga menangis histeris di saat adiknya saat ini mungkin saja sedang merasa ketakutan. Sehingga membuat Abraham yang umurnya masih terlalu kecil hanya bisa menenangkan adiknya itu sendiri di malam yang sangat sunyi dan sepi ini.
***
Tepat pu kul 12 malam Abraham segera mencari bantuan, supaya bisa menurunkan tubuh kekar sang ayah karena dirinya tidak akan mungkin bisa melakukan itu sendiri.
"Semoga saja, orang-orang di desa masih pada bangun," gumam Abraham pelan dengan air mata yang anak laki-laki itu tidak bisa ia tahan lagi, karena rupanya letak rumah minimalis milik keluarga kecil Abraham terletak agak sedikit jauh dari permukiman warga. Sehingga membuat anak itu harus berjalan beberapa puluhan meter supaya bisa sampai di rumah para warga.
Dinginnya malam, serta suara-suara jangkrik bahkan suara hewan yang lain tidak Abaram hiraukan demi anak laki-laki itu bisa meminta bantuan, karena ia merasa kalau tubuh kaku ayahnya harus segera di turunkan dari atas baling-baling kipas tempat Timo bu nuh diri.
Rupanya di pagi itu Timo memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri, daripada harus melihat Selena bahagia bersama laki-laki lain selain dirinya.
"Ibu, Ibu ... adalah wanita yang sangat tega dan jahat di dunia ini. Lihatlah karena kelakuan Ibu, Ayah sampai mengakhiri hidupnya." Lirih Abraham yang saat ini sedang malihat surat undangan pada telapak tangannya, karena rupaya tadi ia sempat mengambil surat undangan yang sudah di remas itu dari genggaman tangan Timo. "Aku bersumpah akan membalaskan kematian Ayahku ini," kata anak laki-laki itu yang sekarang malah terdengar bersumpah, dikegelapan malam serta rasa sesak dan sakit dada Abraham.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments