Pernikahan itu menyatukan dua insan, menyelaraskan perbedaan, dan menjadi jalan ibadah terpanjang meski tiap tikungan menanti sebuah ujian.
___________________________________________
"Saya terima nikahnya, Alula Marfu'ah binti Amin dengan mas kawin sebentuk cincin emas tunai karena Allah."
"Sah."
Suara lantang Arya mengucapkan ijab qabul dan diikuti dengan ucapan sah dari Irwan dan seorang dokter sebagai saksi menjadi pembuka jalan pada kehidupan baru antara Arya dan Alula.
Keduanya kini telah sah menjadi pasangan halal yang sudah selayaknya saling berpegangan tangan dalam menapaki tiap tumpuan kehidupan, entah itu datar, menanjak atau pun terjal.
Arya memasangkan sebuah cincin di jari manis Alula yang menjadi mahar dan tanpa pengikat antara dirinya dan gadis yang telah resmi menjadi istrinya.
Alula kemudian di minta untuk menyalami tangan Arya, dan dengan patuh gadis itu melakukanya meski dengan hati yang tidak sepenuhnya ikhlas.
"Nak, tanggung jawab ayah sekarang telah berpindah kepadamu, ayah titip Lala, yah. Dia adalah satu-satunya harta tak ternilai yang ayah miliki di dunia ini. Meski kadang dia suka jahil dan ceplas-ceplos, tapi dia tetaplah berhati lembut, jangan sakiti dia dengan kata-kata atau dengan sikapmu. Ayah tahu, kalian menikah karena desakan ayah, tapi ayah harap semoga rasa cinta bisa tumbuh di antara kalian."
Amin menjeda perkataannya sejenak untuk menahan rasa sesak dan air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar dari pelupuk mata. Memegang tanggung jawab sebagai ayah memang tidaklah mudah, tapi melepas tanggung jawab kepada orang lain ternyata jauh lebih berat.
Rasanya baru kemarin Amin menimang sang anak, menyuapinya makan, dan kini sang anak telah resmi menjadi istri orang. Sejujurnya ada rasa tidak rela yang mengekang di dalam dada, tapi ia tak memiliki kuasa lagi sebab Sang Penguasa sudah menanti kepulangannya.
"Kehidupan rumah tangga itu seperti selembar tissue yang sangat rapuh, jika kamu selalu membuatnya basah dengan air mata, tak menutup kemungkinan kelak dia akan koyak. Ayah sadar tidak ada rumah tangga yang selalu bahagia, kadang ada saja hujan lebat dan badai yang menghantam. Tugasmu, jadilah matahari yang mampu meredam badai dan menghangatkan setelah hujan, sayangi dia dan arahkan dia ke jalan yang baik." Amin mengakhiri nasehatnya kepada sang menantu meski suaranya terdengar sangat lamah.
Kini Amin beralih menatap buah hatinya yang sejak tadi terisak dalam diam, ia jelas tahu rasa sakit hati yang tengah dirasakan Alula. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan kebaikan untuknya.
"Maafkan ayah yang egois ini, Nak. Mungkin kamu masih ingin bebas bersama temanmu, tapi percayalah, ayah melakukan ini karena ayah menyayangimu." Amin mengusap air mata yang membasahi pipi Alula.
"Jadi istri yang taat yah, Nak. Kamu tahu, wanita yang taat pada suami dan mengerjakan kewajibannya sebagai hamba Allah, kelak di akhirat nanti dia bisa masuk surga melalui pintu mana pun yang dia mau. Belajarlah mencintai suami kamu, karena dialah imammu sekarang," ujar Amin sebisa mungkin menahan air matanya yang sejak tadi terasa begitu panas di mata.
"Iya, Ayah," ucap lirih gadis itu dengan suara yang bergetar.
"Oh iya, jika nanti ayah pergi, tolong jangan terlalu bersedih yah, cukup doakan ayah disetiap penghujung solatmu ...." Suara Amin tercekat di tenggorokan, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya berhasil menjebol pertahanannya.
"Ayah, jangan bicara begitu, ayah pasti akan sehat, iya 'kan dokter?" Alula menatap ke arah dokter yang berdiri di sisi lain tempat tidur. Tatapannya seolah memohon untuk dijawab dengan kata 'iya', sayangnya dokter itu hanya tertunduk tak memberikan jawaban apa pun.
"Nak, ayah sangat mencintai kamu, tapi ayah juga mencintai ibumu, ayah sangat merindukannya, ayah izin menemuinya yah." Amin tersenyum menatap sang putri, lalu menggenggam tangan Alula dan mempertemukannya dengan tangan Arya.
"Tidak, jangan Ayah, kita doakan saja Ibu di sini, jangan tinggalkan Lala." Tangis Alula pecah.
Di saat bersamaan, Irwan yang melihat kondisi sahabatnya semakin lemah langsung mendekat ke telinganya guna membisikkan kalimat tahlil (Lailaha illallah Muhammadar rasulullah) dan membimbingnya untuk ikut mengucapkan kalimat itu.
Tepat setelah Amin mengucapkan kalimat itu, mata laki-laki paruh baya itu perlahan menutup hingga genggaman tangannya di atas tangan Alula dan Arya terlepas.
Alula terdiam melihat genggaman tangan sang ayah yang lepas, ia beralih menatap sang ayah yang telah menutup mata dengan wajah yang pucat.
Tubuh gadis itu seketika bergetar dan luruh ke lantai dengan tatapan kosong. Air mata masih saja mengalir tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hingga beberapa saat berlalu, ia masih dalam posisinya tanpa suara, bahkan saat Irwan mengajaknya berbicara, gadis itu tak merespon.
Arya ikut berjongkok melihat Alula yang kini terlihat benar-benar hancur, ada rasa iba yang menghampiri laki-laki itu, tapi ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa saat ini.
Usai berpikir keras dan membuang egonya, akhirnya laki-laki itu menarik tubuh mungil Alula ke dalam pelukan, ia tahu gadis itu tidak membutuhkan apa pun saat ini selain sandaran yang kokoh, dan itu adalah dirinya.
Tak ada perlawanan dari gadis itu, ia hanya diam di dalam pelukan Arya, makin lama tubuhnya terasa semakin bergetar, dengan suara isakan yang masih berusaha ia tahan. "Menangislah jika kamu ingin menangis," lirih Arya sambil menepuk pelan punggung Alula.
Suata tangisan Alula pun akhirnya terdengar memenuhi ruangan itu, tangisan pilu dari seorang gadis yang ditinggal cinta pertamanya. Tangisan yang membuat siapa saja mendengarnya akan ikut merasakan kepedihan itu.
Hari pernikahan yang seharusnya menjadi hari membahagiakan, justru berubah menjadi hari paling menyedihkan seumur hidup Alula.
Alula benar-benar merasa hancur saat ini, orang yang selama ini membuatnya merasa dicintai kini telah pergi untuk selama-lamanya. Bagaimana nasibnya setelah ini? Sungguh semua itu masih menjadi rahasia, hanya Allah yang tahu.
.
.
.
Sore itu usai pemakaman, Alula ikut di mobil Arya untuk pulang. Sepanjang perjalanan tak ada sama sekali percakapan di antara mereka, Alula hanya duduk dengan tatapan sendu sambil sesekali menatap ke arah luar jendela, sementara Arya hanya fokus dengan kemudinya.
"Ekhem, kita ke rumahmu dulu untuk mengambil barang-barangmu, mulai malam ini aku akan membawamu ke rumahku."
Arya mulai membuka suara tanpa menoleh sedikit pun kepada gadis di sampingnya.
"Tidak, aku ingin tetap tinggal di rumah ayah."
Arya menoleh ke arah Alula dengan alis yang saling bertautan.
"Tidak bisa, Lala! Aku tidak bisa tinggal di sini karena jauh dari kantorku."
"Ya sudah, Om tinggal saja di rumah Om, dan aku tinggal di sini sendiri."
Arya memejamkan mata sambil mengatur napas perlahan. Ini adalah hari pertamanya menikah sekaligus hari berduka Alula, jadi sebisa mungkin dia harus berusaha sabar.
"Mana bisa begitu, kita sudah menikah, jadi jarak kita tidak boleh jauh, bagaimana aku bisa menjagamu jika seperti itu?" Arya berusaha menjelaskan setenang mungkin.
"Memangnya aku anak kecil apa?" protes Alula sambil bersedekap tangan di depan dada dengan kening yang mengerut dan bibir yang mengerucut.
Arya memutar bola mata jengah sambil mengembuskan napas kasar. Sungguh ia benar-benar muak harus berhadapan dengan anak kecil yang tidak bisa mengerti dengan keadaan.
"Ya sudah, gini saja, kita pulang ke rumahmu dulu untuk mengambil barangmu, saat akhir pekan aku akan mengantarmu ke sini untuk bermalam, bagaimana?"
Alula tampak berpikir sejenak lalu akhirnya mengangguk setuju.
.
.
.
Hari telah begitu gelap saat mereka tiba di rumah Arya. Keduanya keluar dari dalam mobil sambil menenteng barang-barang milik Alula.
"Eh, Bro! Dari mana saja kau? Dari tadi aku mencarimu." Arya sedikit tersentak saat dari arah belakang seseorang menepuk bahunya dengan kuat.
"Ngapain ke sini?" tanya Arya sinis kepada sahabat sekaligus asistennya, Ferdi.
"Yaa ngapain lagi, mau cerita tentang cewek lah." Pandangan Ferdi kini beralih ke arah seorang gadis mungil yang berada di samping Arya.
"Siapa dia, Bro?" tanya Ferdi mendekat ke arah Alula.
"Dia ... Dia ...." Arya sedikit bingung menjawab pertanyaan Ferdi, jika ia berkata jujur, sudah pasti satu kantor akan langsung heboh karena ulahnya.
"Aku tahu dia bukan adikmu, apa sekarang kamu berganti selera? Wah parah, Men. Rumor g*y yang melekat padamu saja masih belum hilang, sekarang kau akan mengganti rumor itu dengan rumor baru jika kau seorang pe do fil?"
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Neulis Saja
jujur lebih baik daripada berbohong maka akan melahirkan kebohongan yg lain
2024-03-14
0
Qaisaa Nazarudin
#Alula
2023-09-01
1
Qaisaa Nazarudin
Gila banget Arya 30 tahun,Sementara Lila 16 tahun,,Arya udah kayak pedofil..
2023-09-01
1