Aku tercenung sejenak, di samping pintu masuk ruang Bu Kartina—direktur factory—yang tertawa renyah menjamu tamu dari supplier kanvas cotton dan supplier serat eceng gondok dari industri rumahan yang menjadi partner bisnis perusahaan mikro tas lokal ini memberi jeda bagiku untuk mengatur napas.
Memikirkan bagaimana cara mendapatkan izin kerja di saat persiapan bazar akhir tahun membludak sungguh menggelisahkan sementara aku sudah menandatangani cuti kerja selama dua Minggu saat acara pernikahanku dan mas Dhika nanti.
Aku menunduk, membalikkan id card yang menggantung di dadaku. Aku yang tersenyum bahagia dan ramah di foto itu terlihat menyebalkan. Sikapku sungguh beda sekarang, aku sangat terusik dengan candaan dan keramaian. Fokusku yang biasa dengan mudah berkomunikasi dengan Bu Kartina untuk melakukan perencanaan dan pengorganisasian jadwal produksi tas. Menilai standar kontrol kualitas dan memperkirakan, negosiasi dan menyetujui anggaran dengannya dan karyawan buyar.
“Masuk aja, Ris. Ngapain di sini.” ucap mas Ilyas, manajer keuangan yang menggunakan kemeja abu-abu dan celana jins hitam.
“Sharing informasi kita. Kabarnya ada kenaikan harga dari para supplier.” ucapnya setengah berbisik.
Yah, alot. Kataku dalam hati. Kalau sudah begitu akan ada rapat penghitungan ulang keuangan untuk bahan mentah, produksi, dan kenaikan harga tas tetapi tidak mungkin memangkas biaya sumber daya manusianya. Harus ada loncatan baru untuk memenuhi target penjualan dan pemasaran. Dan aku kehilangan semangat untuk memikirkannya.
Aku menghela napas sembari mengikuti mas Ilyas masuk ke ruang Bu Kartina yang menggunakan reed diffusers aromaterapi sebagai pengharum ruangan. Kandungan minyak esensial dari lavender tersebar menenangkan.
“Kebetulan sudah lengkap formasi diskusi hari ini mas... mas... Kita mulai saja!” ucap Bu Kartina sembari menatapku. Ada sirat ketegangan di wajahnya yang terbingkai jilbab merah.
Aku mengulas senyum seraya membuka laptop yang kubawa. Selagi dua supplier tadi bergantian menjelaskan adanya masalah klasik seperti peningkatan harga dari bahan baku pembuatan kanvas cotton dan nylon anti air per roll-nya dari pabrik. Dari supplier anyaman eceng gondok (Eichornia crassipes) tumbuhan air yang hidup mengapung itu mengalami pengurangan jumlah pertumbuhan di alam. Otomatis kurangnya pasokan eceng gondok dari alam pun mengurangi jumlah produktivitas kerja dan produk unggulan perusahaan mikro ini aku catat baik-baik di microsoft word.
Terdengar helaan napas dari Bu Kartina, disusul senyum masam mas Ilyas. Cuma aku yang tetap biasa-biasa saja menanggapi perihal ini hingga aku tak kuasa menguap.
Bu Kartina menatapku dengan mendelikkan mata. Aku menutup layar laptop dan menghela napas.
“Sudah Bu rapatnya?” tanyaku tanpa membuang waktu. Keluar dari ruang ini dan menghirup udara bebas adalah niatku.
“Sudah... sudah...” Ia mengangguk, supplier yang belum mendapat putusan dari kami akan kelanjutan kontrak kerjasama atau tidak pamit undur diri dengan santun.
Bu Kartina mengantar mereka keluar ruangannya dan hilangnya orang luar dari ruangan ini membuat Bu Kartina dan mas Ilyas langsung menatapku.
“Kamu menguap lebar-lebar, Ris? Gila... kurang sopan santun kamu di depan banyak orang.” ucap Bu Kartina sambil menggeleng, mengkritik tingkahku yang tidak biasa.
Aku mengendorkan otot-ototku dengan merebahkan punggung di sandaran sofa.
“Mas Dhika kecelakaan, Bu. Aku semalam tidur di rumah sakit, aku capek, bingung.”
Bu Kartina yang mendengarnya langsung bergabung di sofa tunggal panjang abu-abu.
“Kecelakan gimana?”
Aku menjelaskan situasinya.
“Kamu serius, Ris?”
“Bentar-bentar...” Mas Ilyas tiba-tiba mengambil ponselnya di kantong clutch pria berbahan anyaman eceng gondok berwarna hitam.
“Dari kemarin banyak seliweran foto dan video mobil nabrak pohon jati, aku sempat lihat dan baca berita di sosmed kalau mobilnya udah di urus Polantas, mereka lagi cari bukti-bukti, cuma satu dari keterangan polisi kalo nggak ada jejak pengereman ban di aspal!”
“Maksudnya rem mobilnya blong? Gak mungkinlah mas, mobil itu bakal dipakai untuk lomba dua bulan lagi.” sanggah ku langsung.
“Tapi aku nggak gegabah, aku serahin ke pihak berwajib soal kecelakaan itu.” kataku lugas. “Sekarang aku lebih mikir ke pernikahanku dan kondisi mas Dhika. Aku nggak kuat mikir. Bu... Izin nggak kerja dong... Aku nggak fokus.”
Bu Kartina menatapku dengan wajah sendu seraya memelukku erat.
“Ya Allah, Risha... Pantes aja kamu kelihatan malas-malasan kerja dari kemarin. Ibu kira kamu udah bosan kerja. Ya Allah... Sayang...”
Aku menerima peluk persahabatan ini dengan pasrah. Tiada mungkin bagi aku menolak segala bentuk perhatian atasanku.
“Libur dua hari boleh, Bu?” tanyaku tak menyia-nyiakan kesempatan mengharukan ini untuk menenangkan diri.
Bu Kartina menggeleng. “Tidak bisa, Risha. Kamu gak boleh sendiri!”
“Yah...” Aku berkeluh dan kecewa. Padahal badanku di sini, pikiranku di rumah sakit.
Bu Kartina menarik pelukannya seraya menatapku. Sebagai direktur factory, perangainya yang cerewet sekaligus tegas membuatnya terlihat tidak pernah main-main dalam berkata bahkan wajahnya terlihat tegas bahkan wajahnya tidak ramah.
“Ya udah nggak papa, Bu.” Aku mengangguk pasrah. Tidak akan membantah, energi diri ini sudah lemah. Tetapi sebentar saja wajah Bu Kartina berubah, dia tersenyum hangat.
“Kamu masih punya kerjaan untuk nemenin kita ke rumah sakit. Gila kamu, Ris. Kenapa nggak ngomong dari tadi malam. Telepon ibu.”
“Nggak sempat, Bu.”
Bu Kartina beranjak, meraih kedua tanganku dan menariknya. “Ayo kita ke rumah sakit, urusan bazar bisa sama karyawan yang lain. Bisa senewen kamu kerja sekarang! Kasian karyawan yang lain kamu semprot padahal nggak salah.”
Alhamdulillah... Aku balas memeluk Bu Kartina cukup lama. Aku juga takut itu terjadi dan berimbas pada kesehatan mental mereka.
“Ayo kalau gitu, Bu. Aku jadi semangat.”
Mas Ilyas meraih laptop kerjaku seraya tersenyum pedih.
“Risha... Risha...” Mas Ilyas tersenyum lebar, “nanti aku kabarin kabar terbarunya. Semoga bukan yang ngurus pikiran lagi!”
“Makasih mas.”
Aku mengikuti Bu Kartina keluar ruang kerjanya. Dengan harapan nantinya di rumah sakit mas Dhika sudah jauh lebih baik dari kemarin.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Ersa
lingkungan kerjanya real banget kyk yg nyata gitu..
2023-08-23
0
App Putri Chinar
masih teka teki
2023-07-23
0
Afternoon Honey
wah ngak ada jejak pengereman ban.. kecelakaan yg banyak mengundang tanya nih... 🤔
2023-07-03
1