"Harta yang paling berharga, adalah keluarga "
tagline populer dalam sebuah serial keluarga.
Harusnya benar. Iya. Idealnya benar seperti itu.
Tetapi di dunia yang kita tinggali ini, ideal adalah sebuah teori, atau mungkin dongeng. Nyaris tidak pernah ada garis linier antara harapan dan kenyataan, usaha dan hasil. Jadi, jargon-jargon tentang hidup ideal, sesungguhnya hanyalah delusi. Omong kosong politisi lewat corong demokrasi yang basi.
Keluargaku, adalah contoh teori tentang ideal yang sebatas delusi.
Dulu, sewaktu aku kecil, aku tak pernah mendengar dongeng lain selain dongeng nabi Ibrahim. Tidak tentang kancil dan buaya, atau persahabatan kura-kura dan seekor rusa. Cerita-cerita fabel seperti itu adalah kebohongan yang membodohi anak-anak, kata ibuku.
Jadi, saat anak-anak lain membaca dongeng Pinokio, kata seorang teman sekelas ku itu dongeng terbaik yang pernah ia baca. Boneka kayu yang disihir peri biru menjadi hidup, agar menghibur tukang kayu yang menciptakannya.
Atau dongeng tentang sinterklas yang mengendarai kereta kencana dengan sekumpulan rusa yang menyeret keretanya di setiap malam natal, menghampiri cerobong asap setiap rumah umat Nasrani. Lalu diam-diam memasukkan hadiah di sana untuk anak-anak kecil yang sudah berbuat baik sepanjang tahun.
Juga dongeng tentang Maling Kundang yang lupa diri ketika sukses meminang anak bangsawan negeri seberang. Ia lupa pada ibunya maka sambil mengiba, sang ibu memanjatkan doa agar Tuhan menghukum Malin Kundang. Terkutuk lah ia menjadi batu.
Demikianlah, dongeng-dongeng itu sangat menginspirasi. Menanamkan nilai-nilai moral kebajikan. Tapi kata ibuku, itu semua pembodohan. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari sebuah kebohongan?
Jadi, bercerita lah ibu tentang nabi Ibrahim. Konon, dia membangkang pada ayahnya yang menyembah berhala. Dia menghancurkan patung-patung sesembahan raja dan pengikutnya. Maka ia pun tertangkap, dan divonis hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup. Tetapi Tuhan menolong Ibrahim dengan menjadikan api yang membakarnya dingin, sedingin es. Kata guru agamaku di sekolah, "Ibrahim pun menggigil dalam kobaran api itu. "
Dahsyat!
Di sekolah, guru-guru bosan mendengar ocehan tentang kisah nabi Ibrahim ku. Meski ku debat mereka dengan argumen bahwa kisah Ibrahim punya banyak bagian, mereka menganggap itu sama saja.
Mereka menginginkan aku menceritakan hal lainnya, dongeng lainnya yang penuh kebohongan itu.
Teman-tenan sekelas, ketika acara pementasan drama tahunan mulai berkumpul berkelompok untuk berdiskusi mengenai cerita dongeng apa yang akan kami mainkan sebagai pertunjukan panggung kami.
Usulan pun beragam; dongeng Cinderella, dongeng Tangkuban Perahu, dongeng Putri Salju, dongeng Timun Mas. Nama-nama itu terasa asing di kupingku karena aku belum pernah sekalipun mendengarnya. Tak satupun di antara temanku yang mau meminta usulanku mengenai dongeng apa yang akan dimainkan. Karena mereka sudah menduga jawabannya, "Kisah Ibrahim menghadapi Raja Namrud," lalu mereka semua akan menertawakan.
"Kenapa semua orang menganggap ini lucu? padahal, ini adalah kisah teladan terbaik yang pernah terjadi. Beneran kejadian. Ada ditulis di kitab suci yang tak terbantahkan kebenarannya," debatku, sengit.
"Tapi nggak semua orang di sini tau tentang cerita itu," sahut seorang teman.
"Jadi kalian ada yang belum pernah dengar tentang cerita nabi Ibrahim?" Tukasku. Ada perasaan bangga yang perlahan menyeruak ketika merasa memiliki hal yang tidak diketahui oleh orang lain.
Teman-temanku terdiam memandangiku dengan tatapan aneh.
"Biar aku ceritakan," aku mulai hendak bercerita.
"Maria nggak akan paham, percuma kamu cerita juga." Seorang temanku buru-buru memotong. Kini semua orang memandangi Maria, temanku yang duduk di bagian paling belakang di sudut ruangan.
Maria terkejut, ia terlihat tak siap dengan situasi canggung karena diperhatikan teman sekelas. Makanya, Maria hanya nyengir aja memamerkan deretan giginya yang ompong. Di lehernya, melingkar kalung Rosario.
Jam istirahat hari itu memang sengaja kami gunakan untuk berdiskusi mengenai rencana pentas drama kami bulan depan. Suara riuh anak-anak kelas lain di luar sana sayup terdengar. Kami, kelas 3A mengadakan rapat tertutup.
Aku baru saja mengambilalih rapat setelah sedari tadi terpinggirkan. Aku merasa memiliki kesempatan untuk unjuk diri ke yang lainnya.
"Maria pasti tahu raja Nimrod, kan? Di Alkitab, Namrud disebut dengan Nimrod. Pemburu perkasa di mata Tuhan, dia menjadi raja di Mesopotamia.." Aku tak mau memberi kendali ke anak lain yang memotong pembicaraanku.
Maria menggeleng dengan cepat, seolah tak ingin menjadi pusat perhatian terlalu lama.
Anak-anak lain kini balik menatapku. Seolah menantang.
"Kalau Abraham, kamu pasti tahu, dong?" Aku belum menyerah.
Maria kali ini mengangguk. Aku lega.
"Abraham adalah Bapa segala bangsa. Bapa orang-orang beriman, ada perbedaan antara penulisan nama di kitab-kitab samawi..."
seorang temanku, anak laki-laki lain mengacungkan jari menginterupsi. "Kitab samawi itu kayak apa?"
Aku terkekeh pelan. Momen inilah yang aku tunggu. Menjadi sumber informasi, pusat perhatian. Merasa dibutuhkan dan diakui sebagai mahluk sosial.
"Em, pertanyaan bagus. Jadi kitab-kitab samawi adalah kitab-kitab dari Tuhan yang diturunkan kepada para nabi.." Lagi-lagi seorang teman yang lain menginterupsi.
"Kita di sini mau rapat pentas drama, atau mau dengerin ceramah, sih?" si anak bertubuh gendut yang barusan menginterupsi terdengar memprotes.
Beberapa anak tampak berbisik-bisik menahan tawa sembari mencuri pandang ke arahku. Semua anak terlihat setuju dengan protes si gendut. Aku mulai kuatir.
"Kalau mau pentas cerita nabi-nabi, pas bulan puasa saja. Atau di acara maulid nabi, itu baru pas," tambah anak perempuan yang lain. Kali ini diiringi gumaman anak lain yang setuju. Aku semakin kuatir.
"Aku Minggu kemaren di gerejaku baru saja ada acara pentas drama kisah Alkitab. Aku bermain peran sebagai bunda Maria, sesuai namaku. Nanti, untuk next nya aku bakal ajak kamu, ya Gus." Tambah Maria di tengah protes itu.
Jawaban Maria barusan sontak mengundang lebih banyak tawa lagi dari anak yang lain. Membuatku semakin terpojok.
"Kita putuskan saja cerita yang akan kita bawakan, yaitu dongeng legenda danau Toba." Si gendut songong akhirnya mengambil alih rapat. Aku sungguh tak senang.
"Jelasin dulu dong ke Agus sinopsisnya, jangan-jangan dia belum tau lagi cerita danau Toba seperti apa," saran dari seorang teman yang lain lagi. Terdengar lebih seperti ejekan ketimbang saran.
Sepertinya memang sebuah ejekan. Karena kudengar yang lainnya tertawa.
"Tenang aja. Khusus untuk Agus, aku udah menyiapkan peran khusus yang paling pas buat dia." Pancing si gendut lagi.
Anak-anak lain tampak begitu antusias.
Aku sebenarnya ingin marah, namun kutahan. Penasaran juga peran apa yang disiapkan untuk aku?
Si gendut sengaja memasang tampang mengesalkan, "jadi pohon deket danau Toba," lanjutnya kemudian.
Tawa yang lain pecah. Aku tersudut, hampir menangis rasanya. Tetapi aku tak bisa menangis. Jadi sebagai gantinya, aku memaksakan diri untuk tertawa. Meskipun pahit.
Usulanku kembali ditolak. Aku kembali tidak diterima oleh teman-temanku. Demokrasi selalu berpihak pada kelompok terbesar, pada suara terbanyak, bukan kepada yang benar.
......................
Di rumah, aku tampak murung. Tak ada yang menanyakan kabarku hari ini di sekolah dan apa yang terjadi di sekolah. Ayah belum pulang, ia pasti berjudi lagi bersama teman-temannya. Padahal, uang yang didapat ayah hasil dari menjadi petugas parkir liar dan tukang ojek pengkolan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tetapi kebiasaan buruknya sulit dihilangkan.
Ibu sibuk menyelesaikan urusannya di dapur dan aku berdiam diri di kamar. Ibu sesekali memanggilku hanya untuk makan atau menanyakan apakah sudah sholat atau belum. Ibu tidak peduli pada kehidupan sosialku. Memang tak ada yang peduli. Ibu, mungkin satu-satunya orang yang masih memperhatikan aku, walau hanya sebatas "sudah shalat? Sudah mengaji? Sudah mandi?"
Tidak ada obrolan lain selain pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Kadang, kalau ibu memiliki sedikit waktu luang, ia berbaik hati menceritakan dongeng. Dongeng yang sama dan nyaris berulang, iya. Kisah nabi Ibrahim.
Aku pernah menanyakan mengapa ibu senang mengulang-ulang kisah itu. Jawab ibu adalah karena Ibrahim benar-benar karakter panutannya sebagai perempuan, sebagai seorang ibu.
Ibrahim itu cerdas dan logis. Ia juga pelindung yang baik bagi istrinya. Sabar ketika Sarah, istrinya belum juga dikaruniai anak yang mereka dambakan. Bahkan ketika akhirnya ia harus menikahi budaknya, Hajar atas desakan Sarah yang menginginkan Ibrahim agar memiliki seorang anak, Ibrahim tetap berusaha memperlakukan Sarah dengan sangat baik.
Ia juga teladan bagi para ayah. Ia menghargai sangat menjunjung tinggi rasa hormat pada anaknya. Hal yang jarang dimiliki para ayah kebanyakan, apalagi ayahku. Saat Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail sebagai ujian baginya, Ibrahim tak egois. Ia tetap meminta pendapat sang anak. Ibrahim mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Aku mengerti sekarang mengapa ibu mencintai kisah Ibrahim ini. Sebenarnya itu didorong perasaan rindunya pada sosok suami yang mengayomi dan penuh perlindungan seperti Ibrahim, yang tak pernah ibu dapatkan dari ayah.
Ayahku adalah sosok raja Namrud. Jika jodoh adalah cerminan diri, maka harus dipahami bahwa ayah dan ibu adalah sebuah cermin cekung; nyata, terbalik, diperkecil. Jika ibu adalah wanita lemah lembut yang menyerahkan sepenuh hidupnya untuk mengabdi pada suami, maka ayah ada di sisi sebaliknya.
Ayah pemarah dan temperamental. Sifatnya itu sedikit banyak menurun kepadaku. Ia bisa marah besar pada hal-hal kecil. Ia bisa memukulku seperti samsak, dan pergi meninggalkan rumah seharian penuh meskipun wajahku biru lebam.
Ibu merawat lukaku tanpa banyak bicara. Ia lebih banyak diam meskipun dari wajahnya jelas terlihat ia sangat terpukul. Aku menyadari ia sepertinya mencoba menghindari kontak mata terlalu sering denganku. Apa mungkin ia hanya tidak tega saja?
Ia menempelkan kompres ke luka di wajahku, sesekali aku meringis kesakitan.
Saat ibu mulai mengobati luka di bagian punggungku, barulah kudengar ibu bicara:
"Dulu," itu terdengar sangat khas ibuku sekali. Dan sepertinya aku sudah hafal apa yang ingin ia sampaikan.
"Nabi Ibrahim," sudah jelas, kan?
Nada bicara ibu terdengar setengah terisak. Jelas ia berusaha menahan tangis.
"Ketika ia akhirnya memiliki anak dari Sarah. Tuhan mengutus dua malaikat tak dikenal yang menyaru sebagai manusia. Mereka datang bertamu ke rumah Ibrahim untuk memberitahu Sarah dan Ibrahim kabar gembira itu,"
Ibu berusaha mengalihkan fokusku agar tidak terlalu merasakan sakit saat ibu membersihkan luka lebam ditubuhku. Dan jujur, metode dari ibu seperti ini seringkali manjur. Alih-alih merasa kesakitan, aku terbawa oleh kisah yang diceritakan ibu sehingga tidak terlalu merasa kesakitan lagi.
Ibu lihai dalam bercerita. Ia pintar menggambarkan suasana dalam kisahnya sehingga seolah aku hadir menyaksikan langsung peristiwa itu.
"...tetapi kedua malaikat itu nggak hanya datang untuk membawa kabar gembira. Mereka juga diutus untuk memberi kabar buruk, untuk menghancurkan kota kaum Sodom dan Gomora yang durhaka pada Tuhan."
Ibu memeras handuk kecil terakhir, dan sembari mengobati luka terakhir, ia menutup kisahnya dengan konklusi yang menarik:
"Begitulah. Kegembiraan dan kesedihan selalu datang berpasangan. Takdir baik dan buruk dari Tuhan, tidak pernah terpisahkan dan tidak dapat ditolak."
Ibu menyudahi pekerjaannya.
"Kamu harus kuat dan selalu siap menerima itu semua. Saat kamu merasa baik-baik saja, itu juga berarti semuanya sedang tidak baik-baik saja."
...----------------...
Malam itu pintu rumah diketuk keras dari luar. Ayahku pulang.
Sepertinya mabuk berat. Seperti biasa.
Ibu buru-buru menyuruhku masuk ke kamar. Ia tampak kuatir padaku. Aku langsung menuruti ibu dengan bersembunyi di balik pintu kamar.
Ibu membukakan pintu untuk ayah. Ayah yang mabuk langsung jatuh ke pelukan ibu. Bau alkohol menyeruak menyasar ke seluruh ruangan rumah, tetapi ibuku adalah perempuan penurut yang bodoh--aku tidak lagi menyebutnya polos. Ia keukeuh dalam kesabarannya mengurus dan merawat ayah.
Dengan kekuatan yang seadanya, ibu coba membopong tubuh berat ayah ke kamar. Sepanjang langkah menuju kamar ayah terus bernyanyi tak keruan.
Aku mengintip dari balik tirai kamar, ibu tak lagi terlihat menangis. Ia kini benar-benar tegar. Kedua tubuh orangtuaku menghilang di balik tirai kamar mereka. Kudengar suara pintu kamar tertutup.
Keheningan menyeruak di rumahku beberapa saat setelah ibu meletakkan tubuh ayah di atas ranjangnya. Tetapi itu tak berlangsung lama.
Aku mendengar suara benda terbanting keras dari arah kamar orangtuaku. Disusul suara jerit tertahan ibuku, juga erangan ayah yang mirip erangan binatang buas.
Rasa keingintahuanku mendorongku untuk mengintip dari lubang kunci pintu kamar orangtuaku.
Seketika darahku berdesir. Aku melihat tubuh ibuku telentang--dan kini telanjang--berada di bawah tubuh ayahku yang juga telanjang. Ayah menahan kedua pergelangan tangan ibu di kedua sisi tubuhnya, entah bagaimana ayah yang kulihat saat datang tadi dalam kondisi mabuk berat dan terlihat lemah, kini memperoleh kekuatannya kembali.
Ibuku terlihat tak nyaman. Namun ia tak melakukan perlawanan apapun kepada ayah. Termasuk saat ayah mulai memaksa kedua paha ibu agar direntangkan. Dari lubang kecil di pintu, aku melihat ayah terlihat sangat buas.
Ayah tampak berkali-kali mendorong pinggulnya menekan bagian bawah perut ibu, seolah memaksakan sesuatu dari dirinya menghujam masuk ke pangkal paha ibuku. Ayah mengeluarkan erangan mirip serigala lapar. Sedang ibuku terlihat pasrah. Setitik air matanya mengalir di pipi ibu, yang akhirnya menangis sedari tadi.
Samar-samar kulihat beberapa luka memar di tubuh ibu, seperti bekas pukulan, seperti lebam di tubuhku. Hatiku teriris menahan geram.
Tepat ketika momen ayah mengejan, lalu menekan tubuh ibu semakin kuat. Ibuku terlihat seperti menahan nafas. Kepala ayah terangkat ke atas, disusul kemudian teriakan melenguh, tarikan nafas panjang seolah-olah ayah telah melepaskan sebuah beban. Suara yang ia keluarkan mirip lengkingan serigala di bawah bulan purnama.
Lalu semuanya berhenti. Kepala ayah jatuh lunglai di atas kedua payudara ibu. Keduanya terlihat berkeringat, berkilap diterpa cahaya remang lampu kamar.
Tak lama kemudian ayahku tertidur. Suara dengkurannya terdengar jelas. Di atas ranjang reyot itu, dua tubuh orangtuaku yang telanjang, tergeletak kelelahan
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments