Euis sedang berada di ruang bimbingan konseling untuk mendaftarkan diri di program beasiswa.
" Bapak yakin sekali kamu bisa dapat beasiswa ini " Pak Rahman terlihat sangat yakin dengan kata perkataannya.
" Doakan Euis ya Pak "
" Pasti Is, Bapak dan segenap guru-guru pasti akan mendoakan kamu "
Mendapatkan dukungan dari Pak Rahman dan para guru lainnya membuat Euis semakin percaya diri dan optimis bahwa pengajuan untuk program beasiswanya akan berjalan lancar.
"Tapi kamu sudah bicara dengan orang tuamu Is? " Tanya Pak Rahman.
Raut wajah Euis yang semula sedang gembira mendadak menjadi muram, Sampai detik ini Ia belum berbicara dengan keluarganya mengenai rencana kuliahnya.
" Belum Pak " Jawab Euis singkat.
" Sampai saat ini Bapak masih tidak mengerti dengan cara pikiran Bapakmu, Bagaimana mungkin anak yang begitu potensial tidak bisa Ia dukung sepenuhnya? Bahkan Kakak kamu Si Asep tidak memiliki prestasi yang gemilang seperti kamu tapi Bapakmu tetap menguliahkannya "
Euis sebetulnya sedih jika ada seseorang yang membandingkan Ia dengan Kakaknya.
Walaupun hubungan mereka tidak baik, tapi Euis begitu menyayangi kakaknya.
Euis juga tidak mengerti Mengapa nilai akademis Aa Asep bisa turun drastis, padahal dari SD sampai SMP Aa Asep selalu menjadi tiga besar.
Bapak bahkan pernah memarahi Aa Asep habis-habisan karena nilai rapotnya ketika SMA banyak yang merah.
Tapi walaupun marah terhadap Aa Asep, Bapak tidak pernah membandingkan Euis dengan Aa Asep.
Sekarang kakaknya itu sudah kuliah semester 6 di Universitas Pakuan Bogor jurusan hukum.
Walaupun nilai akademisnya masih belum bagus, tapi setidaknya Aa Asep masih rajin berkuliah dan tidak terasa 2 semester lagi Ia akan lulus.
Melihat Euis hanya diam saja Pak Rahman melanjutkan ucapannya.
" Tapi mau bagaimanapun, kamu harus tetap meminta izin dengan kedua orang tuamu Euis. Jika kamu tidak berani berbicara dengan bapakmu biar Pak Rahman bantu"
" Tidak usah Pak, insya Allah nanti malam Euis akan bilang kepada keluarga Euis mengenai beasiswa ini "
" Bapak doakan semoga Bapakmu terketuk pintu hatinya dan memberikan izin kepadamu untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran"
Euis mengamenkan kata-kata Pak Rahman, semoga setelah 6 tahun pikiran bapak yang kolot sudah berubah.
Motor Honda Beat warna hitam yang dikemudikan Euis masuk ke dalam pekarangan rumahnya.
Euis terkejut karena melihat mobil polisi yang terparkir rapih di rumahnya.
Beberapa tetangganya seperti mencuri-curi pandang melihat ke arah rumahnya.
Ia bertanya-tanya mengapa mobil polisi bisa berada di rumahnya? Dengan banyak pertanyaan di benaknya Euis, Ia beranjak masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu sudah ada dua anggota polisi, Bapak, Ibu, dan Aa Asep.
Euis tidak berani untuk bersalaman dengan semuanya, karena wajah semua orang yang berada di ruangan itu terlihat sangat kusut.
Ia langsung masuk ke dalam kamarnya.
Euis bahkan melihat ibunya menangis sambil memeluk Aa Asep.
Sedangkan Aa Asep terlihat menunduk, memainkan tangannya dan berwajah sangat kusut.
Dari Kamar tidurnya Euis mencoba untuk mendengar percakapan mereka.
Bermenit-menit Ia mendengar percakapan di ruang tamu sampai akhirnya Euis bisa mengambil kesimpulan.
Ternyata Aa Asep tertangkap menggunakan obat terlarang. Ia sudah menjadi TPO bersama teman-temannya
Badan Euis seketika lemas, Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bagaimana mungkin Kakaknya bisa menggunakan obat terlarang? Buat apa? Hidup Aa Asep selama ini normal-normal saja.
Ia tidak pernah terlibat perkelahian atau tindakan melanggar hukum lajnnya.
Tapi apa yang Euis dengar adalah sebuah kenyataan, pak polisi bahkan membawa Aa Asep beserta bapak untuk menuju ke kantor polisi.
Terdengar sayup-sayup suara tangisan ibu, Euis dapat membayangkan Bagaimana perasaan Ibu dan Bapaknya mengetahui bahwa Aa Asep menggunakan obat terlarang.
Euis tidak tahu bagaimana kakaknya itu bisa terjerat dengan obat-obatan terlarang, padahal keluarga mereka merupakan keluarga yang sangat sederhana dan juga religius.
Dari kecil ia dan kakaknya selalu dimasukkan ke dalam madrasah oleh Bapak agar mendapatkan pendidikan agama.
Seingat Euis suara Aa Asep ketika mengaji sangatlah merdu, Asep bahkan tidak pernah meninggalkan salatnya dan selalu senang jika diminta menjadi imam di rumah ketika salat.
Entah pergaulan dari mana yang sampai membuat Aa Asep kehilangan arah seperti ini.
Setelah mendengar Pak Polisi sudah pergi dari rumahnya, Euis langsung keluar dari kamar dan menuju ruang tamu.
Di ruang tamu Ibu masih menangis dan tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Euis menghampiri Ibu dan memeluk ibu untuk menenangkannya.
Tubuh ibunya bahkan sampai bergetar, sepertinya Ibu sangat shock mendengar semua ini.
Butuh Waktu hampir 30 menit sampai tangisan Ibu reda.
" Ibu ke kamar dulu ya, kepala ibu tiba-tiba pusing "
" Euis antarkan Bu "
" Tidak usah, kamu tolong bersihkan saja cangkir-cangkir ini " Ibu menunjuk ke arah meja yang penuh dengan cangkir.
Ibu berjalan dengan lemas, Euis memperhatikan Ibu sampai benar-benar masuk ke dalam kamar.
Euis merapihkan meja dan membawa cangkir bekas teh ke dapur kemudian mencucinya hingga bersih.
Di dalam kamarnya, hatinya benar-benar tidak karuan. Euis masih tidak mengerti kenapa semua ini terjadi.
Sambil menatap langit-langit kamarnya, Euis menunggu kedatangan Bapak dan Aa Asep.
Hari sudah berganti malam tapi Bapak belum juga datang.
Ibu belum juga keluar dari kamar, begitupun dengan Euis.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu.
Akhirnya tepat pukul sepuluh malam Nely dapat mendengar suara motor bapak.
Euis langsung keluar dari kamarnya dan menghampiri Bapak.
Bapak pulang tanpa Aa Asep, wajah Bapak tampak kusut sekali.
Euis tidak berani bertanya apapun dan hanya bertanya apa Bapak mau di buatkan minum?
" Boleh Is kopi hitam satu ya " Ucap Bapak sambil melepaskan sepatunya.
Ibu sepertinya sudah tidur karena tidak keluar dari kamar walaupun Bapak sudah pulang.
Bapak langsung mandi sementara Euis membuatkan minum.
Tidak beberapa lama Bapak keluar dan Euis memberikan kopi hitam buatannya.
" Diminum dulu Pak "
" Makasih Is " Bapak duduk di meja makan dan mulai menyeruput kopinya.
Bapak banyak melamun malam itu sambil menikmati kopinya.
Euis tidak berani berkata-kata apalagi bercerita tentang beasiswanya.
" Ibumu sudah tidur ya? "
" Sudah sepertinya Pak "
" Ya sudah kamu tidur saja, sudah malam besok harus sekolah " Ucap Bapak tanpa melihat kearah Euis.
" Iya Pak " Euis langsung beranjak masuk ke dalam kamarnya.
Di lihat dari wajah Bapak, sepertinya masalah Aa Asep belum selesai.
Euis baru mulai tidur ketika mendengar suara tangisan Ibu dari dalam kamar.
Sayup-sayup Euis mendengar suara Bapak yang coba menenangkan Ibu.
Baru kali ini keluarganya di tempa musibah yang sampai membuat Ibu dan seisi rumah bersedih karenanya.
Euis berharap Aa Asep baik-baik saja dan secepatnya bisa berkumpul kembali bersama kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments