#4 Akademi Pahlawan Courtfeig I (REVISI)

20 Juli 3026

1 tahun kemudian (penerimaan murid baru).

"Selamat pagi semuanya!" ucap seorang pria tua berambut klinis. Jika dilihat dari tampilannya, sepertinya orang itu adalah senior yang akan menjadi pembimbing kami di sini.

"Perkenalkan, nama saya William Harris. Kalian bisa memanggilku Mr. William atau Mr. Harris, jadi terserah kalian," jelasnya.

"Saya akan menjadi pembimbing kalian selama di akademi untuk melatih kemampuan kalian sebelum kalian dilantik menjadi pahlawan yang sesungguhnya," jelasnya dengan sebuah microphone kecil yang sengaja dijepitkan di kerah jaketnya. Raut wajahnya tampak tegas sehingga diriku langsung menimbulkan perasaan segan terhadapnya.

Kami semua dalam posisi 'istirahat di tempat' dengan kedua tangan dikepalkan di belakang. Pandangan tetap lurus ke depan, tanpa gerak sedikitpun. Keringat mulai bercucuran dari dahi sampai ke punggung. Kemeja hitam yang melekat di badanku seketika terasa lembab dan gerah.

Angin sepoi-sepoi berhembus dari arah berlawanan, membuatku sedikit lebih baikkan.

Banyak sekali orang-orang baru yang tidak kukenal di sini. Masing-masing barisan dipisah berdasarkan kelas yang kita ambil. Terdapat dua macam kelas di sini, antara lain: Durya dan Harpia.

Durya adalah kelas yang mendalami kekuatan fisik, meliputi panah, senapan serbu dan angin, pistol, pisau, dan pedang. Sedangkan, Harpia adalah kelas yang mendalami kekuatan sihir atau magis meliputi pembelajaran tentang mengendalikan berbagai elemen seperti tanah, air, dan sebagainya; kemampuan berbicara dengan hewan, memberikan perisai/perlindungan dan healing kepada teman. Kelas-kelas itu sudah ditentukan sejak awal pendaftaran.

"Kalian harus bersungguh-sungguh mempelajari dan mendalami kemampuan-kemampuan kalian. Bila kalian berturut-turut mendapat nilai pas, kalian akan ditempatkan di aliansi yang jauh dari kata aman!" tegasnya.

Aman? Maksudnya?

"Maka dari itu, usahakan nilai kalian tetap naik," lanjutnya. "Mengerti?"

"SIAP MENGERTI, PAK!"

"Baiklah, saya ingin mencoba tes sejauh mana kesungguhan kalian ingin menjadi pahlawan!" ucapnya sembari memasuki setiap barisan murid-murid.

Jantungku mulai berdebar. Keringat dingin bercucuran deras. Perasaan nervous seketika muncul di benak hatiku. Aku melihat beberapa orang di depanku diberi pertanyaan-pertanyaan oleh Mr. William.

"Beritahu siapa namamu, asal kotamu, alasan kau ingin menjadi pahlawan!" jelas Mr. William dengan tegas kepada salah satu murid dari Harpia.

Perempuan itu tampak kaget dan berusaha untuk menghilangkan kegugupannya. Tubuhnya yang kecil seperti kurcaci. Salah satu objek yang menyita perhatianku terhadap perempuan itu, yaitu sayapnya yang kecil. Seperti sayap yang biasa dijual di toko mainan.

Itu sayap apa sayap, kecil amat!

Duh, karma gak boleh kayak gitu!

Dengan tegas dan setengah berteriak, perempuan kurcaci itu mengatakan, "NAMA SAYA ALEXA LUMINA DARI ROSEVILLE. ALASAN SAYA BERGABUNG KE AKADEMI PAHLAWAN COURTFEIG ADALAH UNTUK MELAWAN DAN MEMBALAS DENDAM TERHADAP MAKHLUK-MAKHLUK JAHAT DI LUAR SANA!"

Suaranya seketika membuat kami semua melirik ke arahnya. Pandanganku otomatis mengarah padanya yang hanya berjarak 5 baris lebih depan dariku.

"Bagus!" jawab Mr. William sambil mengamati raut wajah perempuan mungil itu. Karena tubuh Mr. William yang jakung, dia terpaksa harus menunduk untuk menatap perempuan itu.

"Pegang omonganmu!" lanjut Mr. William yang langsung meninggalkan Alexa dan berjalan kebelakang sambil mengamati murid-muridnya satu persatu.

Pandanganku terfokus ke Alexa karena sayap kecilnya itu membuatku tidak habis pikir.

Melamun.

"OI!" Mr. William, tepat di depan hadapanku. Kini wajahnya tampak menyeramkan. Terlebih lagi aku tidak biasa menatap mata lawan bicara secara langsung.

Aku langsung menelan air liur secara otomatis. Pandanganku beralih ke depan, berusaha untuk tidak menatap pandangan Mr. William yang maut sekali.

"Apa yang sedang kau pandang?"

Glek.

Jantungku mati rasa.

"T–tidak, Pak!" jawabku, berusaha untuk menghilangkan rasa gugupku.

Ya Tuhan!!

"Beritahu namamu, asal kotamu, serta alasanmu bergabung ke dalam akademi pahlawan Courtfeig!" jelasnya. Aku bisa merasakan semua mata orang di sini

"Nama saya Nica Rosabelle. Saya berasal dari Rainville dan alasan saya bergabung dalam Akademi Pahlawan Courtfeig adalah karena saya ingin menjadi pahlawan untuk melindungi semua umat manusia dari bahaya dan dengan segenap hati dan diri saya!" jelasku. Aku berusaha untuk melawan rasa gugupku yang parah dengan tanpa melihat wajahnya langsung.

'Rosabelle' adalah nama pemberian dari Louis. Dia memberikanku nama itu berdasarkan warna rambutku yang seperti warna bunga mawar. Selain itu, untuk daftar di sini harus memiliki nama depan dan nama belakang.

"Kau yakin?" tanya Mr. William memastikanku. Wajahnya semakin dekat denganku. Dia sepertinya sedang menguji diriku yang sedang gugup parah.

Mataku tetap dengan pandangan lurus ke depan sambil kedua tangan yang dikepalkan dalam posisi istirahat di tempat. Lalu berkata, "Saya yakin dan akan berusaha dengan semaksimal mungkin. Pak!"

"Oke, buktikan nanti omonganmu! " jawabnya ketus dan langsung meninggalkanku. Ada perasaan lega tersirat dari dalam diriku.

BUKK

Tiba-tiba terdengar suara pukulan tepat di belakangku.

Mr. William telah memukul seseorang.

"Apa yang kau lakukan dengan memakai masker idiot seperti itu?!" bentak Mr. William dengan suara meninggi.

"Saya harus memakai masker karena saya memiliki alergi kulit yang tidak bisa secara langsung terpapar oleh sinar matahari. Pak!"

Mr. William menghela nafas.

Kami semua langsung memandang anak itu. Kedua mataku reflek menoleh ke arahnya walau aku tidak bisa melihat sepenuhnya karena dirinya tepat di belakangku.

"Sebutkan namamu, asalmu serta alasanmu gabung ke Akademi Pahlawan Courtfeig!"

"Nama saya Galen Favian dari Artesia. Alasan saya bergabung ke sini adalah karena saya ingin mencari pekerjaan!" jelasnya. Nada bicaranya seperti sedang melakukan rap.

"Kenapa harus menjadi pahlawan, sedangkan pekerjaan lain masih banyak seperti kuli bangunan, barista, pedagang ...,"

"Entahlah."

"Hmm," Aku yakin Mr. William tampak kesal dengan kelakuan anak yang bernama Galen itu semakin menjadi-jadi.

3 jam kemudian, bel berbunyi nyaring.

Akhirnya masa pengenalan awal di lapangan sudah usai dan kami diperbolehkan bubar untuk makan siang. Murid-murid langsung berhamburan menuju kantin akademi.

"Nica!" Louis memanggilku. Aku langsung melihat ke belakang dan mendapatinya dirinya berlari menghampiriku.

Tiba-tiba sesuatu menyita perhatianku. Anak bermasker hitam bernama Galen apalah itu, dipanggil oleh Tn. William. Anak itu langsung berlari menghampiri Tn. William dan dia sepertinya diberikan sebuah tugas khusus, sehingga dia bergegas berlari ke arah yang ditunjuk oleh Tn. William.

Louis pun ikut melihat anak itu.

"Kenapa kau memerhatikan dia?" tanya Louis, membuyarkan lamunanku. "Ayo makan siang!"

"Eh iya juga, ya, kenapa jadi merhatiin dia. Ayo!" kataku dan langsung menuju kantin bersamanya yang tidak jauh dari lapangan pelatihan.

Tiba di kantin,

Ramai sekali!

Suasana berisik terdengar jelas oleh indra pendengaranku. Untung saja kantin ini besar jadi kami tidak harus berdesak-desakan.

Aku dan Louis langsung mengambil nampan kosong dan meletakkannya di atas meja sambil menunggu giliran mendapat makanan dari para koki dari balik meja lipat.

"Maaf. Bu, ini gak bisa pilih, ya?" tanyaku sambil mengamati papan kayu yang bertuliskan menu makanan menggunakan kapur berwarna-warni.

"Oh tidak, manis. Menu berdasarkan hari," jelas seorang koki wanita menatapku sambil tersenyum dengan celemek yang melekat di badannya.

"Makananmu!" katanya sambil memberikan makan siang kepadaku. Makanan, tepatnya seperti bento dengan sepotong roti hangat baru dari oven, ikan tuna fillet, serta sayur brokoli dan sekotak jus jeruk.

"Terima kasih, Bu!" sahutku dengan membalas senyumannya sambil meraih makananku dari tangannya dan meletakkannya di atas nampanku.

"Aku tunggu kau aja!" kataku kepada Louis yang sedang menunggu makanannya.

Tak sampai semenit, Louis selesai mengambil mengambil makanannya.

"Di situ aja. Kosong!" katanya. Tetapi aku tidak bisa melihat di mana letak kursi dan meja makan yang kosong karena kantin ini penuh dengan murid-murid yang sedang makan siang.

"Aku tidak bisa melihatnya, mending kau yang memimpin jalannya," ucapku sambil membawa nampan berisi makanan.

"Baiklah!" Louis langsung berjalan duluan ke arah kursi yang katanya kosong. Aku pun mengikutinya dari belakang. Akhirnya kami tiba di sebuah tempat yang kosong. Kursi panjang serta meja panjang yang ada di setiap sudut kantin. Kami berdua duduk berhadapan.

"Selamat makan! " seru Louis setelah selesai berdoa dan langsung menyantap makanannya.

"Selamat makan!" jawabku sambil menusuk brokoli dengan sebuah garpu besi dan melahapnya.

Tiba-tiba datang seorang perempuan, menghampiri kami berdua.

"Halo, bolehkah aku bergabung dengan kalian?" sapa seorang perempuan, bertubuh mungil sambil membawa nampan makanan. Rambut pirang panjangnya seperti boneka, menatapku kami berdua yang sedang menyantap makan siang.

Ini yang tadi itu, kan. Perempuan bersayap kecil.

Raut wajahnya tampak kasihan. Aku pun langsung menerima permintaannya untuk bergabung dengan kami. "Silahkan, silahkan."

Aku mengizinkannya duduk di sampingku. Kulihat wajah Louis yang datar sambil melahap ikan tuna, memandang kehadiran perempuan itu dengan pandangan datar.

"Terima kasih!"

"Kenalkan, namaku Alexa Lumina!" lanjutnya dengan makanan penuh di dalam mulutnya.

"Sebaiknya kau telan makananmu dulu," sela Louis dengan ketusnya. Aku langsung menatap kedua mata Louis, memberi syarat agar lebih kalem dengan Alexa. Akan tetapi yang ada, Louis malah membuang tatapannya dariku.

Eh bener-bener!

Aku mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Alexa. "Namaku Nica Rosabelle. Salam kenal, ya!"

Dia pun membalas tatapanku dan ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi, tiba-tiba dirinya tersedak.

"Minum minum!"

"Sudah kubilang makan dulu, baru ngobrol!" jawab Louis, agak membentak Alexa yang sedang tersedak.

"Alexa, lebih baik kita makan dulu, ya, setelah itu baru kita ngobrol!" ucapku.

"Maafkan aku!" Raut wajahnya tampak ketakutan setiap kali ia menatap Louis.

Louis juga terlihat ketus sekali dengan Alexa.

Aku pun menyantap makananku sendiri sambil memerhatikan Alexa yang kelaparan seperti tidak makan seminggu.

20 menit kemudian, bel berbunyi menandakan kami harus masuk ke kelas masing-masing. Aku berpisah dari Alexa, sebab dia memasuki kelas Harpia. Padahal kami berdua belum sempat mengobrol satu sama lain lebih lama.

"Louis," panggilku. Memecahkan keheningan di antara kami berdua. Kami memilih untuk duduk di barisan paling depan agar bisa memerhatikan penjelasan dari tiap pengajar dengan jelas.

"Ya?" jawab Louis.

"Kau seharusnya tidak boleh ketus sekali dengan Alexa!" kataku dengan agak membentak.

"Emang kenapa?" jawabnya dengan santai.

"Ya gak kenapa-kenapa, sih, cuman ya kasihan tahu!" jelasku sambil menatap papan tulis besar. Suara bising langkah kaki menyelimuti ruang kelas. Masing-masing murid memilih bangku yang sudah tersedia untuk mereka duduki.

"Harusnya tuh kalau memulai pembicaraan dengan orang baru ya disertai dengan senyum gitu, ramah dikit lah!" ucapku.

Dia hanya tersenyum miring dan terdengar ketawa singkat dari mulutnya. "Gimana ya ...."

"Senyumanmu mengerikan sekali!" sahutku sambil melihat senyumannya yang terlintas di wajahnya. Tiba-tiba pandangannya pun menoleh ke arahku dengan membuat senyuman miring cringe-nya lagi. Kini dirinya menatapku terus-terusan. Aku berusaha untuk tidak melihat pandangannya. Tetapi tetap saja aku bisa merasakan kengerian tatapannya itu.

"Berhenti menatapku!" ucapku. Dia menyeringai.

"Apakah kau sadar akan kehilangan sesuatu?" Wajahnya tampak seperti seorang psikopat yang sedang mengincar target.

"Hah?" Aku langsung memeriksa setiap saku sampai diriku harus berdiri dari kursi panjang. Akan tetapi, aku tidak merasakan apapun yang hilang. Aku langsung memeriksa salah satu saku di kemejaku dan baru menyadarinya.

Pulpen.

Pulpenku hilang!

Aku baru menyadari bahwa pulpenku hilang. Aku tidak bisa belajar bila satu pulpenku hilang karena pasti akan teringat terus-menerus di pikiran sehingga menimbulkan perasaan gelisah. Tiba-tiba benda tersebut beralih di genggaman Louis. Ternyata dia yang mencuri pulpenku.

"KEMBALIKAN, LOUIS!" Aku langsung meraih pulpen hitamku dari genggamannya yang dirinya sengaja meninggikan tangannya agar aku kesusahan meraih benda penting itu. Bahkan ketika aku hampir mendapatkan benda itu, dia semakin meninggikan lagi tangannya.

Curang banget!

"Eh," Tiba-tiba aku terjatuh tepat di dadanya sehingga aku dapat mencium aroma coklat dari kemeja hitamnya. Perasaan malu seketika menjalar cepat ke diriku.

"Maaf maaf, gak sengaja serius!" ucapku terbata-bata dan segera menjauh darinya.

Malu banget asli!!

"Ini!" ucapnya sambil meletakkan pulpenku di atas mejaku. "Jangan marah nanti pipimu meledak."

"Pipi mana bisa meledak bodoh!" kataku yang agak mengomel dengannya. Tetapi reaksinya hanya tertawa melihatku. Sungguh langka sekali bagi orang lain melihatnya tersenyum bahkan ketawa seperti sekarang. Ketika dia bersama orang lain, dirinya tidak pernah menampakkan senyumannya. Beda ketika bersamaku dan anak-anak di Rainville dulu.

Kepribadian yang sungguh unik.

Tiba-tiba pengajar kami datang lengkap dengan balutan jas hitam yang melekat sambil membawa sebuah buku tebal, memasuki ruangan kelas yang sudah dipenuhi oleh para murid yang sedari tadi menunggu kehadirannya. Pelajaran pun segera dimulai. Kami mulai menyimak apa yang ia jelaskan dan masing-masing kami diberi sebuah buku tulis kosong tebal dan di sanalah kita bisa mencatat materi yang dijelaskan oleh tiap pengajar yang masuk ke kelas kami.

Kelas mulai hening dan hanya ada satu suara yang menggema di setiap sudut ruangan. Kulihat Louis yang begitu fokus memerhatikan penjelasan materi dari pengajar kami. Pulpennya tak jarang ia buka-tutup dan menggoreskannya di buku miliknya.

Aku tersenyum.

Memang ini sudah menjadi jalanku,

Nasibku yang sudah tertera melalui garis tanganku untuk menjadi seorang pahlawan.

--

Langit senja,

Butiran-butiran kecil awan mewarnai dunia. Matahari mulai bersembunyi ke arah Barat. Sudah sehari aku tinggal di tempat ini. Sebagian besar aku sudah mengenal dan berinteraksi dengan mereka walaupun aku suka lupa nama mereka.

Di sini, asrama Durya dan Harpia memiliki gedung yang terpisah. Tetapi semua bisa saling berbaur ketika waktu istirahat atau waktu bebas lainnya.

Makan malam setengah jam lagi.

Aku merapikan baju kotorku untuk dimasukkan di dalam keranjang kotor yang sudah tersedia. Semua perempuan di kamarku pun juga melakukan itu. Ketika aku selesai meletakkan baju kotor ke dalam keranjang kotor, aku melihat seorang anak perempuan berambut kepang coklat yang sedang asyik melempar panah kecil ke sebuah papan berbentuk bulat yang sengaja dia pasang di dinding belakang, tepat di atas tempat tidurnya. Dirinya tampak lihai melemparkan 4 buah anak panah berukuran kecil itu, tepat di tengah-tengah bulatan.

Aku pun menghampirinya.

"Emang boleh bawa ginian?" tanyaku. Kehadiranku justru membuatnya terkejut seperti sedang melihat setan. Dia pun kembali fokus menatap papan bulat tersebut dengan mengepal 2 buah anak panah kecil di tangannya.

"Boleh," jawabnya singkat.

"Mau coba?" tanyanya tiba-tiba sambil memberikanku dua buah anak panah kecil di tangan kanannya.

"Oh gak, makasih."

"Cuman mau bilang kalau kau mainnya keren!" lanjutku disertai dengan seulas senyuman.

"Makasih!" Tanpa tersenyum dan lanjut menancapkan anak panah kecil tersebut. Tampaknya dia tidak niat membuat obrolan denganku dan asyik dengan kegiatannya sendiri.

Kulihat jam di dinding, 7 menit lagi makan malam akan dimulai.

"Gak siap-siap buat makan malam?" tanyaku padanya.

"Duluan saja, aku akan menyusul," jawabnya tanpa senyuman bahkan menoleh ke arahku sekalipun.

"Oh oke!" jawabku sembari berjalan meninggalkan perempuan itu.

"Sombong banget!" gerutuku. Aku berjalan melewati koridor dan menuruni anak tangga untuk menuju kantin.

Bel makan malam berbunyi.

Semua murid berhamburan menuju kantin. Kulihat Louis yang baru saja melakukan interaksi dengan seorang lelaki sebayanya yang kemudian meninggalkannya.

"Louis!" panggilku.

"Hiyaa asik sudah memiliki teman baru!" godaku sambil menyenggol sikunya.

"Dia yang memulai pembicaraan dulu," jawabnya dengan agak kesal karena perlakuanku.

"Lagian, sih!" gumamku. Berharap tidak terdengar, tetapi nyatanya gumamku barusan terdengar olehnya. Pipiku langsung dicubit olehnya.

"Ih!"

"Nakal!" ucapnya dan langsung menarik tanganku untuk bergegas mengantre mengambil makanan, seperti saat makan siang tadi.

--

Selesai makan malam, kami pun diberi waktu bebas. Boleh mengobrol di kantin ataupun di luar ruangan.

Suhu malam menjadi lebih dingin dibanding siang hari.

Aku dan Louis memutuskan untuk duduk di dalam kantin sambil menghangatkan diri dari udara luar yang dingin.

"Louis." Aku memecahkan keheningan di antara kami berdua. "Selama satu hari disini, kau bertemu dengan orang yang aneh, gak?"

"Aneh?" tanyanya menatapku sambil melahap sepotong roti mentega. Roti adalah makanan favorit Louis. Bahkan dia bisa melahap 3 sampai 4 buah roti sekaligus dalam sehari.

"Ya aneh, masa waktu aku lagi ngurusin pakaian kotor, aku lihat seorang perempuan gitu menyendiri sambil lempar anak panah," jelasku. "Aku kan niatnya baik, yaudah aku tegur itu anak eh tau-taunya sombong banget ternyata!"

"Makanya jangan terlalu baik sama orang!" ejek Louis.

"Ya gak gitu juga, sih, ya kasian aja kok sendirian gitu. Gak taunya begitu kayak melihatku seperti seekor yeti yang tiba-tiba menyapa dia!" jelasku kesal.

Louis tiba-tiba tertawa mendengar perkataanku. "Yeti?"

"Santai aja kali gak usah ketawa juga," jawabku sambil memasang raut wajah cemberut. "Puas banget!"

Tiba-tiba orang yang sedang kubicarakan dengan Louis melewati kami berdua. Tatapannya kosong dan berjalan menuju pintu. Otomatis kedua mataku langsung menatapnya yang tidak menyadari kehadiran kami berdua.

Aku menyenggol lengan Louis. Dirinya sadar dan langsung menatapku serta melihat sosok perempuan yang kumaksud barusan.

"Itu!" kataku sambil menujuk perempuan aneh itu yang mendekati pintu keluar.

"Oh," Louis memanggut dan mengamati sosok perempuan tersebut.

"Gimana pendapatmu?"

"Mengerikan!" jawabnya.

"Tuh kan,"

Namun, di balik penampilan perempuan itu yang kaku, sebenarnya terdapat pribadi yang berbeda. Hanya saja aku belum mengetahuinya.

Terpopuler

Comments

Zhanshi04

Zhanshi04

wah keren ini sekolah, hm jadi penasaran kenapa Louis jutek😑

2020-04-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!