Tahun 1904, Trenggalek
KESIBUKAN masyarakat di Trenggalek sebenarnya merupakan hal yang umum untuk setiap wilayah di Hindia. Mulai dari perdagangan, transportasi, pembangunan, dan pertanian, semua aspek telah menjadi bagian dari penduduk lokal. Raden Mansyur Haris, seorang pejabat di Trenggalek yang baru saja diangkat, terlihat berkeliling di sekitar kota dengan berjalan kaki, ditemani dengan beberapa tentara pemerintahan kolonial dan pejabat Eropa yang lain.
Raden Haris baru saja menerima telepon dari seorang rekannya yang berada di Batavia, Tuan Lodewijk van Heerens. Tentu saja, ini masih menyangkut masalah penyerangan di pelabuhan Priok. Memang, peristiwa ini tidak diketahui oleh khalayak umum, karena ini bukanlah urusan mereka ataupun kepentingan dari pemerintahan awam.
Ini adalah masalah di antara para magi. Raden Haris merupakan seorang magus yang kompeten dari keluarga bangsawan kecil lokal yang bekerja untuk para magi di pemerintahan kolonial. Masalah penyerangan itu juga diyakini sebagai masalah bagi para magi. Banyak para magi yang khawatir akan tereksposnya dunia mereka. Alam para magi sebenarnya telah dirahasiakan dari masyarakat. Magi telah bersembunyi di balik dimensi yang mereka ciptakan sendiri.
Sebab itu Raden Haris berusaha untuk mencegah masalah ini dengan sungguh-sungguh. Dengan mengirimkan para magi yang bekerja bersamanya ke Batavia, ia yakin bahwa kasus ini dapat diselesaikan dengan cepat. Namun, Raden Haris juga harus menghadapi ancaman dari “pemerintahan dunia umum”, atau pemerintahan non-magis. Pemerintah kolonial sangat kejam dalam memberlakukan aturan untuk pribumi.
Raden Haris tengah menuju ke sebuah bangunan bergaya Barat yang merupakan bangunan Kantor Kontrolir Kolonial Trenggalek. Kantor itu ditempati oleh seorang pengawas yang ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk mengawasi jalannya pemerintahan pribumi di Trenggalek. Sudah menjadi kewajiban sang Raden untuk selalu melapor ke sana setiap minggunya.
Gedung itu dilengkapi dengan empat pintu yang menempati seluruh penjuru mata angin. Raden Haris terlihat masuk melalui pintu utama yang selalu dilalui oleh para pejabat lokal, pintu barat, karena lokasinya dekat dengan jalan raya. Bangunan itu lebih menekankan warna bata putih dibandingkan interior-interior bangunan kolonial lainnya.
Di dalamnya, di lantai dasar, terdapat bagian administrasi. Di sana, ada sebuah tangga yang menghubungkan dari lantai ke lantai. Raden Haris beserta rombongannya kemudian menaiki tangga bangunan itu. Karena ruangan kontrolir yang sekarang sedang direnovasi akibat banjir, ruangan kontrolir sementara dipindahkan ke lantai dua.
Mereka sampai di depan pintu ruangan sementara sang kontrolir. Haris mencoba untuk mengetuk dengan sopan.
“Permisi, Meester Kontrolir. Kami dari Pakuan.”
Pintu pun terbuka. Seorang laki-laki dewasa dengan kumis yang sedikit tebal menyambut sang Raden itu. Dia mengenakan dengan rapi seragam militernya. Rambutnya yang berwarna hitam itu—sebuah warna yang jarang untuk rambut orang barat pada saat itu—disisir rapi ke belakang. Walaupun umurnya sudah kepala tiga, dia masih terlihat muda.
“Tuan Raden! Silakan masuk.”
Dialah Kontrolir Trenggalek, Mayor Ulrich van Zeesterist. Dia adalah salah satu orang militer kepercayaan oleh Gubernur Jenderal Hindia, terutama saat mengatasi pemberontakan di timur Jawa sekitar dua tahun yang lalu.
“Bedankt, Meester.” Rombongan Haris melangkah masuk ke ruangan Ulrich.
Ruangan Ulrich memanglah klasik seperti ruangan pemerintah kolonial pada umumnya. Meja kayu klasik yang dilengkapi dengan laci dan dengan tumpukan dokumen dan telepon lama di atasnya terletak di sisi utama ruangan. Di belakangnya terdapat sebuah lemari besar yang berisikan banyak buku dan hiasan patung. Di sisi kanan meja, terdapat lukisan seorang raja klasik yang matanya terlihat melirik ke arah pintu masuk. Tampak raut wajah sang Raden sedikit tegang ketika memasuki ruangan Ulrich, akan tetapi Raden lebih memilih untuk tidak jujur kepada dirinya sendiri dan berusaha bersikap normal.
“Silakan duduk, Tuan Raden,” kata Ulrich sopan.
Raden itu kemudian duduk di sebuah kursi di meja tamu ruangan. Sementara sebagian rombongannya menunggu di luar. Hanya dua orang tentara yang bertugas untuk menjaganya dan dua orang pejabat Eropa lain yang duduk bersama Haris. Ulrich tanpa basa-basi langsung membawa nampan berisi berisikan empat cangkir beserta dengan teko berisi teh dan sekotak biskuit—sebuah hal yang sangat langka untuk dilakukan oleh seorang pejabat kolonial pada saat itu kepada pribumi.
Raden Haris menyeruput tehnya. Begitu pula dengan pejabat lain. “Anda cukup ramah, ya? Terutama untuk orang-orang pribumi seperti kami,” kata Haris memuji.
“Ah, tidak juga, Tuan Raden,” balas Ulrich mengelak. “Sudah kewajiban bagi setiap pemerintah untuk memperlakukan rakyatnya dengan baik, bukan? Entah itu rakyat tanah inti atau jajahan, mereka tetaplah rakyat dari sebuah negara. Konstitusi bagi mereka haruslah sama. Apakah Anda pernah ingat bahwa Aleksander Agung ketika menaklukan Mesir dia memperlakukan orang-orang Mesir sama dengan orang-orang Yunani? Bahkan dirinya pun melakukan hal yang sangat kontroversial pada saat itu—dia memberikan penghormatan kepada dewa-dewi Mesir meskipun dia seorang Yunani. Ibaratnya, toleransi. Setiap rakyat semestinya punya hak yang sama entah dia jajahan ataupun non-jajahan, Tuan Raden.”
Raden Haris terkejut akan pernyataan Ulrich. Dia bahkan menghentikan meminum tehnya ketika mendengar penjelasan Ulrich. “Kurasa, aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi, ya? Masih ada orang baik seperti Anda walaupun di tengah-tengah ketidakadilan.”
“Begitulah, Tuan Raden. Sangat susah untuk mengubah pola pikir satu kelompok yang besar,” kata Ulrich menyindir pemerintah kolonial.
Sementara percakapan itu berlangsung, salah satu pejabat Eropa yang bersama Raden Haris, Thomas von Husselberg, seorang keturunan Prusia, tertuju kepada sebuah jam dinding antik besar yang loncengnya berbunyi lantang setiap jarum panjang berada di angka dua belas.
“Mayor Zeesterist, jam dinding Anda itu benar-benar cantik. Dari mana Anda mendapatkannya?” tanya Tuan Thomas.
Thomas memang merupakan seorang kolektor barang antik yang terkenal di seantero Trenggalek. Sebagai pejabat tinggi keuangan, dia selalu menyisihkan beberapa penghasilannya untuk membeli koleksi peninggalan bangsawan terdahulu saat masih di Utrecht, Belanda. Meskipun demikian, dia tidak terlalu suka memamerkan hartanya. Dia selalu berpakaian seadanya bila tidak dalam kunjungan resmi.
“Oh, jam itu! Aku mendapatkannya ketika berkunjung ke kediaman Adipati Mangkunegara bulan lalu. Dia memberiku hasil tempahan dari daerahnya. Kayu yang digunakan sangat bagus untuk membuat jam lonceng ini.”
“Anda benar, Mayor. Kayu seperti ini sangat langka, bahkan untuk di kerajaan sendiri pun.” Thomas kembali menyeruput tehnya.
“Jadi,” Ulrich melipat kedua tangannya, “apa sebenarnya maksud kedatangan Anda kemari?”
Raden Haris langsung berhenti menyeruput tehnya. Dia kemudian menginstruksikan Thomas untuk mengambil koper yang ada di sebelahnya. Haris kemudian mengambil beberapa kertas yang ada di dalamnya, dan menyerahkannya kepada Ulrich.
“Ini, Meester Zeesterist,” kata Haris singkat.
“Apa ini?”
“Sebuah titipan dari Meester Kolonel Reynerdies Oosteere,”
Ulrich membaca laporan itu satu per satu dengan seksama. Raut mukanya serasa bahwa dia tidak percaya dengan apa yang terjadi seperti yang dilaporkan oleh kertas-kertas itu.
“Tidak mungkin! Aku tahu mereka!” kata Ulrich.
“Maksud Anda, orang-orang berjubah itu, bukan?” tanya Haris.
Ulrich mengangguk. Tanpa berlama-lama, dia langsung beranjak dari kursinya. Dia merogoh-rogoh kopernya, dan mendapati sebuah kumpulan berkas yang memiliki stempel lambang kelopak tulip merah bersilangkan tongkat sihir dan pedang serta tulisan “K.C.M.N.”—yang berarti bahwa hal tersebut untuk para magus di Belanda dan koloninya adalah sangatlah rahasia—lalu memberikannya kepada Haris.
“Apa ini, Meester?” Haris kebingungan.
Ulrich kembali duduk. “Semua yang penyelidikan yang kami lakukan terkait dengan para penyerang yang Anda sebutkan, Tuan Raden.”
Raden Haris membacanya dengan saksama. Satu per satu lembaran, kata demi kata, gambar demi gambar, dibacanya dengan tepat. Betapa terkejutnya Raden Haris setelah selesai membaca laporan dari Ulrich tersebut. Dia bahkan hampir gemetaran ketika memegang cangkir tehnya.
“Tidak mungkin, bagaimana bisa mereka?”
Ulrich menghela nafas. “Itulah kenyataannya, Tuan Raden. Kita baru saja menemui jalan yang lumayan berbahaya,”
Raden Haris mencoba untuk tenang. Sementara Thomas mengambil laporan itu lalu membacanya. Raut mukanya terlihat bahwa dia pun juga terkejut akan laporan dari Ulrich.
“Sepertinya, kita tidak bisa main-main lagi, ya?” Thomas meletakkan laporan itu di atas meja.
“Yah,” kata Haris yang tengah mengacak rambutnya, “situasinya sudah gawat. Kita harus segera bertindak. Kalau tidak, sesuatu yang lebih berbahaya akan terjadi.”
“Tapi, apa yang akan kita lakukan?” Thomas kemudian bertanya.
Ulrich kemudian tersenyum kecil. “Tuan Thomas, Tuan Raden, sepertinya aku punya ide.”
Haris dan Thomas kemudian menatap Ulrich bingung. “Mayor, ‘ide’ seperti apa yang akan Anda ambil?” Thomas bertanya.
“Aku mungkin tahu bahwa basis dari ‘kelompok kekacauan’ ini. Dilihat dari perawakan mereka ketika aku mencoba mengintai mereka di loji mereka sewaktu di Malang, mereka berasal dari negeri-negeri di Timur. Aku sangat yakin akan hal itu. Kulit mereka kuning langsat. Dan beberapa dari mereka ada yang membawa sebuah katana. Dugaan kuat bahwa mereka adalah orang dari ras Timur.
“Dengan begitu, aku akan meminta sekutu kita di Timur untuk membantu penyelidikan ini. Aku memiliki kenalan yang dari sana ketika melawan ancaman di Daratan Tiongkok. Dia menyelamatkan hidupku saat itu. Dia mungkin bisa membantu kita dalam koordinasi penyelidikan di Timur.” Ulrich melipat kedua telapak tangannya, pertanda dia optimis dengan langkahnya.
Haris mengangguk setuju. Namun, Thomas terlihat masih bingung.
“Aku merasa bahwa aku tidak perlu menentang Anda, tetapi bagaimana caranya kita dapat mempercayai mereka?” Thomas bertanya ragu. Dia memang bukanlah tipe orang yang langsung percaya kepada seseorang.
“Tenang saja, Meester Thomas. Aku bisa menjaminnya.”
Raden Haris menaruh cangkirnya kembali setelah menyeruput tetesan terakhirnya.
“Meester, kalau aku boleh tahu, siapa sebenarnya yang akan menjalankan tugas ini di Timur?”
Ulrich tersenyum tipis. Dia kemudian menyilangkan kakinya rileks. Suasana terlihat sedikit tegang. Matanya menjadi serius.
“Seorang keturunan murni dari Klan Penyihir Timur.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments