Bab 4. Masih Tertaut Padamu.

Suasana di dalam mobil Mada cukup hening. Aku yang tidak tahu harus membahas apa akhirnya memilih untuk terus diam dan menikmati suasana malam yang masih terlihat ramai.

Sesekali aku melirik ke arah Mada yang tampak fokus menatap jalanan. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat dengan jelas rahang tegasnya yang memesona. Mada tampak gagah meski tubuhnya tidak besar berisi. Baru aku sadari, Mada kini benar-benar tampil dewasa. Terang saja, sebab usia kami sudah memasuki kepala tiga dan aku masih membayangkan sosok Mada remaja.

Diam-diam aku juga memerhatikan kedua jari tangan Mada yang tengah memegang kemudi. Tidak ada satu pun cincin yang melingkar di sana, pertanda bahwa pria itu belum menikah.

Aku berusaha untuk tidak merasa bahagia, sebab bisa saja Mada memang sedang tidak mengenakan cincin pernikahannya.

Memikirkan hal tersebut, aku jadi gelisah sendiri. Mau menanyakan langsung aku tidak berani karena Mada pasti akan menganggap diriku lancang.

Perasaan senang bisa menikmati momen bersama Mada, tiba-tiba berubah membebani hatiku.

"Membosankan ya?" Melihatku melamunkan segala kemungkinan buruk akan status Mada, membuat pria itu menegurku.

Aku tersentak kaget lalu tersenyum tipis. "Tidak juga. Aku memang suka keheningan seperti ini," jawabku.

"Aku tahu. Oleh sebab itu, aku sengaja tidak menyalakan musik ... Kau sudah cukup mendengar kebisingan di pesta tadi," ujar pria itu sambil terus melihat jalanan.

Aku sontak tertawa, meski tidak tahu apa yang sebenarnya sedang aku tertawakan. Mungkinkah karena dia masih mengingat hal-hal kecil tentangku, atau yang lainnya.

"Aku tak menyangka, kau masih mengingat kebiasaanku." Akhirnya aku memberanikan diri untuk bersuara. Aku ingin melihat reaksi Mada.

Mada menghentikan mobilnya tepat di lampu lalu lintas, kemudian menoleh ke arahku. "Tentu saja aku masih mengingat semua hal tentang dirimu, Binar."

Semilir angin seolah menyapu bulu kudukku, ketika mata kami sama-sama bertemu. Suaranya saat memanggil namaku membawa getaran tersendiri yang tak mampu aku redam.

Hatiku benar-benar belum bisa menggeser Mada dari tempatnya. Dia adalah cinta pertama yang belum bisa aku lupakan.

...**********...

"Kita sudah sampai." Mada menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku. Mobil ayah masih terparkir di halaman rumah, itu artinya, ayah benar-benar tidak menjemputku.

"Untung saja aku tidak meninggalkanmu," ucap Mada seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. Hei, mengapa dia sekarang lebih mirip seperti cenayang?

Aku meringis. "Terima kasih karena sudah mengantarku. Maaf jadi merepotkan," ucapku tak enak hati.

"Tidak masalah." Jawab Mada.

"Kalau begitu, aku masuk dulu. Sekali lagi maaf karena membuatmu terlambat, istrimu pasti sudah menunggu."

Mada hanya tersenyum mendengar perkataanku barusan.

Hatiku mencelos. Mada tidak membantah ucapanku barusan, itu artinya dia benar-benar sudah memiliki seorang istri. Jiwa mendadak hampa.

Aku turun dari mobil dengan langkah lesu, lalu berdiri tepat di depan pagar rumah menunggu Mada yang sedang memutar mobilnya.

Pikiranku benar-benar kusut. Tanpa sadar Mada menghentikan mobilnya di depanku. "Aku pulang dulu, Bi," ucapnya lembut seraya membuka kaca mobil.

Aku mengangguk, berusaha menampilkan senyum terbaik yang kumiliki. Biarlah aku nikmati detik-detik perpisahan kami sekali lagi, karena besok aku berjanji akan melupakannya.

"Berhati-hatilah."

Mada mengangguk lalu menutup kaca mobil. Namun, pria itu menurunkan kaca mobilnya kembali dan berkata, "aku menunggu kamu mampir di studio-ku, Bi. Aku ingin berbicara banyak tentang kita," ucapnya tiba-tiba.

Mendengar itu aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengan Mada? Mengapa dia ingin membicarakan soal kami, disaat dia sudah menikah?

"Baiklah." Alih-alih menanyakan maksudnya, aku malah mengiyakan ajakan Mada. Aih, kurang ajar sekali mulutku ini, mengapa dia lebih memilih memilih menuruti isi hatiku yang masih ingin bersamanya!

Mada tersenyum. "Aku tidak perlu khawatir soal seseorang yang kini sedang bersamamu, kan?" tanyanya lagi.

Aku paham maksudnya.

Tentu saja tidak, Mada! Aku lah yang sedang khawatir soal itu! Aku tak ingin tampak seperti seorang mantan penggoda suami orang!

"Tidak!" jawabku tegas.

Mada terdiam sejenak. "Baiklah, karena aku pun demikian." Mada kemudian membunyikan klaksonnya sekali, lalu pergi meninggalkanku begitu saja.

Aku termangu di tempat sembari sibuk mencerna kata-kata Mada barusan. Wajahku sontak memerah begitu menyadari apa yang dimaksud Mada.

Mada bodoh! Mengapa dia tidak membantah saat aku memgungkit soal istri? Dia benar-benar pintar membuat hatiku terombang-ambing.

Malu akan pikiran burukku yang sempat menghantui, buru-buru aku masuk ke dalam rumah. Rupanya ibu sedang memarahi ayah yang ketiduran hingga lupa menjemputku.

"Binar, kamu sudah pulang, Nak!" seru ibu khawatir. Wanita itu sontak memegang kedua lenganku seraya memerhatikan tubuhku dari kepala sampai kaki.

Ayah pun turut memegangku. Beliau meminta maaf karena tidak mendengar pesan singkat dan telepon dariku. Keduanya lalu memberondongku dengan berbagai macam pertanyaan.

"Tidak apa-apa, Yah, Bu, aku tadi pulang bersama teman," jawabku.

"Siapa?"

"Siapa dia?" tanya ayah dan ibu nyaris bersamaan.

Aku terdiam sejenak. Ayah dan ibu pasti akan langsung heboh jika aku menyebut nama Mada. Tentu saja karena mereka tahu soal hubungan kami dulu.

"Mada." Jawabku singkat.

Benar saja apa yang aku pikirkan sebelumnya. Ayah dan ibu kini terkihat tertawa dan heboh sendiri bak anak remaja tukang gosip. Mereka serempak menanyakan kronlogi bagaimana kami bisa pulang bersama.

Bukannya kesal, aku malah tertawa. Mereka memang orang tua yang lucu dan aku begitu mencintai mereka. Aku pun menceritakan singkat tentang pertemuan kami di sana, sampai bagaimana kami bisa pulang bersama. Tak lupa soal undangan Mada untuk datang ke studionya.

"Waah, Ibu senang sekali mendengarnya! Iya, kan, Ayah?" ucap ibu pada ayah seraya memukul-mukul punggungnya.

Ayah mengangguk-anggukkan kepala. Sementara aku meringis. Ayah bahkan tanpa sadar, berharap kami bisa meniti kembali hubungan yang sempat kandas.

Mendengar itu, sorot mataku berubah sendu. "Memangnya bisa, Yah? Kalau pun bisa ...." Aku sengaja tidak meneruskan perkataanku.

Seolah tersadar dengan apa yang dikatakannya, ayah segera meminta maaf. "Maafkan Ayah, Sayang. Ayah ... Ayah, hanya ingin melihatmu bahagia seperti orang lain pada umumnya," ujar ayah tak enak hati.

Aku tersenyum simpul. "Aku, kan, memang sudah bahagia karena memiliki orang tua yang luar biasa hebat." Kuoeluk tubuh kedua orang tuaku bersamaan demi meredam kesedihan yang sempat muncul ini.

Sekali saja aku ingin melupakan segalanya soal diriku yang sekarang dan hidup sebagai Binar lima tahun lalu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!