"Ingat ya anak-anak. Kalian semua itu sedang menuju dewasa bukan anak kecil lagi, dan lagipula sedikit lagi, selangkah lagi kalian akan lulus, kalau kalian main-main gimana kalian mau lulus dengan nilai yang memuaskan." "Paham semuanya?" Mendengar nasihat Pak Mujari membuatku semakin sadar.
"Iya, Pak paham." Jawab teman sekelasku. Aku tetap fokus menghafalkan niat dan doa sholat jenazah yang ada di bab terakhir. Karena, ujian yang menuju kelulusan bukanlah sebuah permainan. Dengan diawali bismillah, aku menghafalkannya.
"Hanif, udah hafal?" Aku menoleh ke belakang arah meja Hanif.
"Belum begitu hafal sih." Katanya sambil tetap menghafalkan. Aku lihat jam dinding kelas. Ternyata sudah pukul 12.00 siang.
"Sebentar lagi pelajaran Bapak sudah selesai. Ingat tetap hafalkan doa dan niat sholat jenazah, jangan sampai tidak hafal!" Terang Pak Mujari.
...***...
"Anfa. Bahasa Inggris ada tugas gak?" Tanya Nazwa yang memang sudah kutahu, ia cuek meskipun tugas semakin menumpuk.
"Hari ini, gak ada tugas." Jawabku.
"Oh, iya. Lo lagi ngejomblo ya?" Tanya Nazwa yang membuatku bisu seribu bahasa dengan pertanyaan itu. "Di tanya malah diem."
"Hmm emang kenapa?" Aku berbalik tanya.
"Gapapa hehe." Katanya sambil tersenyum padaku. "Yaudah, gue mau duduk lagi ke tempat bangku gue, makasih infonya."
Aku heran kenapa tiba-tiba ia bertanya begitu. Ah. Entahlah, gak ada gunanya aku memikirkan pertanyaan itu.
"Langsung ke masjid ajalah yuk." Ajak Adit.
"Yaudah. Gue mah hayuk aja. Soalnya, guru Bahasa Inggris gak masuk." "Hanif. Derry. Ayok langsung ke masjid aja, biar gak gerah." Aku mengajak Hanif dan Derry yang asik berbincang.
"Ayok. Ayok. Bentar gue ambil Qur'an dulu di lemari." Derry mengambil Al-Qur'annya di lemari kelas.
"Kalian pada mau kemana?." Tanya Bapak Sigit yang keluar dari kantor wakil kepala sekolah.
"Ini Pak, mau ke masjid." Jawabku.
"Di kelas kalian gak ada guru?" Pertanyaan lagi dari Bapak Sigit.
"Gak ada Pak. Daripada bercanda di kelas mending kita ke masjid." Kali ini Adit yang jawab pertanyaan Bapak Sigit.
'Memang Adit pintar drama, soalnya dia mau ke masjid biar bisa rebahan di dalam masjid' Aku membatin sembari tersenyum sendiri.
"Lah? Lo kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanya Adit.
"Ii-iii gila lo." Celetuk Derry.
"Apaan sih." Tegasku.
"Ssstt udah langsung wudhu aja jangan banyak ngomong terus." Hanif yang tidak sabar dengan ocehan kami bertiga.
"Yaelah, Nif. Buru buru amat, santay aja." Mulut Adit semakin tidak bisa direm.
Seusai wudhu. Aku, Adit, Hanif, dan Derry. Kami langsung menuju ke dalam masjid. Aku merasa sangat lelah, aku tidurkan badanku sejenak di lantai masjid.
"Yehhh. Lo bilang ke gue, gue tukang rebah di masjid, tapi lo sendiri rebah di masjid." Kata Adit sambil menabok kakiku.
"Hahaha. Serah gue." Aku mengelak. Tidak tersadar aku hampir saja memejamkan mata untuk tidur.
"Gila malah tidur dia." Kata Derry.
"Bangun. Bangun. Dikit lagi udah masuk bel sholat." Hanif membangunkanku. 15 menit lagi bel berbunyi. Ternyata, sudah ada beberapa anak yang sudah datang ke masjid. Kurasa mereka kelas 7 atau kelas 8. Karena aku tidak pernah melihatnya sebelumnya.
...***...
"Ayok. Langsung ke kelas aja." Aku menarik kerah baju Derry.
"Apaansih? Gak usah narik-narik, usil banget!" Ujar Derry emosi.
"Gak usah godain Derr. Derry lagi dateng bulan." Kata Adit dan aku terkekeh mendengar ledekan Adit. Ketika ingin menuju ke kelas. Aku bertemu Duta, anak kelas sebelah.
"Anfa." Sapa Duta sambil menepuk pundakku.
"Wehhh. Ada Duta ganteng."
"Alhamdulillah, gue ganteng." Dengan merasa bangga dia menjawabnya.
"Gue ke kelas duluan ya, Dut." Aku berjalan menuju ke tempat duduk. "Woilah. Siapa yang ngumpetin sepatu gue nih, kok gak ada?" Nampak kelimpungan wajah Adit ketika melihat sepatunya tidak ada di kelas.
"Lah. Lah. Jangan-jangan sepatu lo bisa jangan sendiri tuh." Aku tertawa tanpa menghiraukan suasana.
"Bantuin cari dong jangan diketawain." Kata Hanif yang sedang ikut bantu mencari sepatu Adit yang hilang.
"Lagian sih lo Dit. Makanya, sebelum ke masjid itu taruh sepatu di kolong meja yang paling dalam, jangan lo taruh di kolong bangku." Aku ikut mencari sepatu Adit.
"Yakan, gue gak tahu kalau jadinya kayak begini." Adit yang semakin panik bahkan mukanya menjadi pucat.
"Cari apaan lo Dit?" Tanya Jidan senyum-senyum kejahatan.
"Wah. Jangan-jangan lo nih Dan, yang umpetin sepatu gue." Pikiran Adit dan pikiranku sama, memang Jidan yang umpetin sepatu Adit. Wajahnya Jidan semakin ketebak, sudah pasti dia dalangnya.
"Jangan soudzon, ntar dosa." Jidan mengelak agar tidak dicurigai.
"Lapor ke ruang BK aja Dit. Siapa tahu Bu Atiyah yang bantuin nyari." Pendapat dariku, yang entah darimana pendapat itu mendadak tiba di kepala.
"Nah, iya tuh bener juga." Hanif mengangguk setuju dengan pendapatku.
"Yaudah, ayok anterin gue ke ruang BK." Ketika aku ingin mengantar Adit ke ruang BK. Tiba-tiba saja wajah Jidan langsung Gelagapan.
"Ii-iii iya-iya gue yang umpetin sepatunya, jangan ngadu BK lah, gitu aja ngadu ke BK." Nadanya seakan tidak merasa bersalah.
"Dari awal gue juga udah curiga sama lo."
"Yaudah lo umpetin di mana sepatu gue?" Adit menengadah tangannya untuk meminta dibalikkan sepatu miliknya.
"Tuh. Di situ." Jari telunjuk Jidan menunjuk ke arah lemari. Adit langsung mengecek lemari. Ternyata, sepatu itu ada di dalam lemari. Melihat Adit sudah menemukan sepatunya, Jidan meledakkan tawanya, karena sudah merasa puas dengan ulahnya sendiri.
"Jidan gila." Adit menyengir.
...***...
Waktu ishoma sudah selesai. Hari ini berganti jam ke mata pelajaran Bahasa Indonesia.
"Assalamualaikum, anak-anak." Datang Bu Susi dan menyapa kelas.
"Walaikumsalam, ibu." Serentak menjawab salam Bu Susi.
"Bu, permen. Bu, permen." Fadhil heboh sendiri, karena memang Bu Susi setiap mengajar jual sebungkus permen yang isinya ada 4 permen, dijual olehnya seharga 2 ribu.
"Oh, iya. permennya ketinggalan di ruang guru meja Ibu, tolong siapa yang mau ambilkan?"
"Saya aja Bu." Kata Zaki dan diantar Fadil. Zaki dan Fadil bergegas menuju ruang guru dengan sedikit berlari.
"Sambil nunggu teman kamu ambil permen, sekarang pada tidur aja, Ibu lagi males bawaannya buat ngajar." Perkataan Bu Susi itu membuat hati bersorak riang gembira. 'Emang mata pelajaran Bahasa Indonesia is debest dah ah.' bisikan hati yang merasa ingin tenang sejenak.
"Nih. Bu permennya." Zaki membawa plastik besar yang berisi permen.
"Ini anak-anak, yang mau beli silahkan." Bu Susi menyodorkan plastik itu.
"Beli dong, nanti bagi gue dah." Adit menyuruhku beli permen yang dijual Bu Susi.
"Sini duit lo nanti gue yang beli." Selorohku.
"Sama aja itu belinya pake duit gue, yaudah dah gue aja yang beli." Aku terkekeh. Kemudian Adit mengeluarkan selembar uang 2 ribu rupiah dari kantong sakunya.
"Dit. Udahan belom? Bagi gue sini permennya." Aku menunggu Adit yang masih saja memilih rasa permen.
"Sebentar gue pilih dulu." Katanya dengan tangan yang merogo-rogoh plastik hitam tersebut.
"Nah. Ini permen yang gue cari."
"Mana Dit, bagi gue." Aku menada tangan.
"Nih. Yang mana yang lo mau?" "Cepetan jangan kebanyakan mikir, suruh milih doang."
"Sukurin. Nunggu itu gak enak kan?" Kataku dan aku memilih permen rasa stoberi. Memang enak mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bu Susi itu terlalu asik orangnya. Tidak belajar dan malah disuruh makan permen saja sambil bersantai.
"Ada yang mau beli lagi?" Tanya Bu Susi pada penghuni kelas. "Kalau tidak ada yang beli lagi silahkan tidur saja." Sambungnya.
"Untung aja pelajaran terakhir, pelajaran Bu Susi. Hahaha enak nih bisa nyantai mulu, kadang di perpustakaan bukannya disuruh baca malah disuruh santay juga." Ujar Adit sembari mengemut permen.
"Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan." Kataku pada Adit.
"Der. Lo diem aja daritadi." Aku menyenggol bahu Derry.
"Derry lagi nahan berak kali tuh." Kata Adit sambil terkekeh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
anggita
Derry, Anfa, Duta, Adit,
2023-04-19
0