Tidur yang nyenyak. Tidak terasa pagi telah timbul. Indahnya matahari genap menerpa wajahku yang terbangun karenanya.
Abel tersenyum menatapku sembari memegang bakul, “Sudah bangun rupanya, sekarang bantu aku. Habis itu kita pergi ke sekolah Adrian.”
“Sekolah?” Tatapku.
“Bukannya biaya sekolah mahal ya?”
Abel tidak menghiraukanku, melesat pergi menuju dapur.
“Tidak. Sekolah di sekitar sini gratis kok.” Suara Abel sahut menyahut menggema dari dapur.
Aku bergegas merapikan alat tidur, menggulung tikar. Kemudian meletakkan kembali selimut ke tempat asalnya, yaitu di atas lemari kayu. Setelah itu, aku pergi ke dapur.
Ibu yang sedang memasak dan Abel sedang menganyam rotan, bersamaan menegok kearahku sekejap, lantas melanjutkan aktivitas masing-masing. “Adrian baru bangun? Duduk dulu, Ibu lagi memasak sarapan.” Ibu tersenyum manis. Walaupun Ibu tidak menengok kebelakang, aku tahu persis.
Abel memberiku ruang untuk duduk. “Duduk Adrian. Meh bantu aku menganyam rotan, supaya cepat kita ke sekolah.” Aku mengangguk. Tanpa banyak tanya, tanganku gesit meraih beberapa rotan.
“Eh? Kamu pernah menganyam rotan nggak?” Tanya Tetam wajah dan tubuhnya kotor habis dari ladang.
Aku menggeleng, tersenyum simpul.
“Sini kuajarkan cara menganyam rotan.” Abel mendekat, mengajari cara menganyam rotan.
Tiga puluh menit kemudian, acara menganyam rotan selesai. Kami bertiga disuruh mandi dan segera pergi ke sekolah. Aku dan yang lainnya meng-iyakan tanpa disuruh dua kali.
...----------------...
“Jarak dari rumah ke sekolah seberapa jauh?” Tanyaku yang mengisi lengang.
Tetam melompat kedepan, seperti memimpin perjalanan. “Nggak jauh kok, cuman lima belas menit dari rumah.”
Aku pun mengangguk.
Lima belas menit berlalu, akhirnya kami sampai di sekolah.
Gedung besar dengan cat berwarna krim yang hampir mengelupas dan berdebu disertai banyak tanaman yang merambat di sekitar gedung.
Lapangan yang dipenuhi oleh rumput-rumputan liar.
Dari bawah, terlihat banyak murid-murid disekolahkan ke sini. Suaranya memenuhi seisi gedung sekolah.
Kami berjalan menuju lorong-lorong, menaiki tangga, lantas beberapa saat kemudian barulah sampai ke kelas.
“Nah begitulah anak-anak sekalian. Apa ada yang mau ditanyakan?” Seorang guru muda berkacamata, mengenakan jas hitam sedang menjelaskan sesuatu kepada murid-muridnya.
Drttt...
“Pagi Pak Arion.” Abel menyapa canggung, menggaruk kepala.
Pak Arion balas senyum, “Silakan Nak, masuk saja. Tidak ada kata terlambat untuk belajar.”
Kami pun masuk satu persatu.
“Eh? Ada murid baru ya?” Pak Arion menatapku.
“Silakan Nak, perkenalkan diri kamu pada teman-teman barumu.”
Tetam dan Abel sudah sempurna duduk di bangku kosong, sementara aku masih berdiri kaku di depan kelas dengan semua tatapan tertuju padaku.
Pak Arion tersenyum ramah, mendorongku satu langkah pelan.
“Eh? Eee... Namaku Adrian. Itu saja.”
Pak Arion membetulkan posisi kacamatanya, “Nak, silakan duduk.”
“Baik semua. Karena sudah hampir tengah hari, kelas ini kita tutup dan kalian boleh istirahat. Oh ya Adrian, di sekolah kita juga punya kantin lho. Dan makanannya gratis.” Pak Arion merapikan buku-buku lusuh yang dia bawa.
Pak Arion menengok kearah Abel. “Nah, nanti Abel akan mengajakmu keliling sekolah. Bisa kan Nak Abel?” Guru itu tersenyum ramah.
Abel balas senyum, mengangguk.
Pak Arion sudah keluar kelas, hilang di kelokan jalan.
...----------------...
Sekolah? Sebelumnya aku pernah mendengar kata-kata itu waktu masih sangat kecil. Katanya, sekolah hanya untuk orang kalangan menengah keatas.
Kecil kemungkinan orang-orang miskin seperti kami bisa bersekolah. Jika seperti itu, lantas dimana kami belajar?
Kami belajar hanya dari beberapa acara yang dibuka oleh murid-murid yang bersekolah, untuk menjelaskan berdagang lah, cara menghasilkan tanaman dengan baik, cara mencari bibit unggul, hanya itu.
Dan tidak setiap minggu sekali juga kami belajar. Paling hanya beberapa bulan sekali sekolah mengadakan acara itu.
Tapi aku tidak menyangka ada sekolah yang menampung orang-orang miskin, dan terlebih lagi... tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun.
Dan... Pak Arion, guru pertama yang kukenal.
“Abel.”
“Hm?”
“Ada berapa guru di sekolah ini?”
“Ada lima.” Jawabnya singkat.
“Lima?!”
Abel melambaikan tangan, “Iya. Lebih baik kita ke kantin dulu, kamu kan sudah capek dari tadi keliling sekolah.”
Aku hanya balas mengangguk.
...----------------...
“Hai Abel.” Ada tiga murid menyapa Abel.
Abel balas menyapa, kemudian berjalan ke belakang barisan.
“Kenapa banyak murid yang berbaris?” Tanyaku polos.
Abel mengambil wadah makanan dua buah. Satu untuknya dan satu lagi untukku.
Aku memiringkan kepala, melihat barisan panjang yang rapi. “Kenapa kita harus antri? Bukannya kita bisa langsung kedepan situ saja?”
Abel balik badan, menggeleng. “Memang sudah peraturannya begitu. Lagipula jika kita berusaha menyerobot untuk mengambil jatah makanan, aku jamin ibu kantin nggak bakal kasih kamu jatah. Dan malah disuruh antri ulang.” Aku mengangguk paham (sedikit).
Sepuluh menit usai, aku dan Abel segera memilih lauk-pauk yang tersedia di sana.
“Tidak usah sungkan, ambil yang banyak.” Ujar ibu kantin itu sambil tersenyum.
Aku mengangguk semangat, langsung mengambil dua lauk sekaligus. Tapi Abel malah memperingati, jangan terlalu mengambil banyak makanan. Nanti kalau tidak habis, makanan yang kamu ambil akan terbuang sia-sia belaka.
Responku? Lagi-lagi hanya meng-iyakan. Sepuluh menit aku habiskan untuk makan, ludes. Abel yang tadi mengambil makanan lebih sedikit dari aku kekenyangan dan malah masih tersisa makanannya. Dan malah aku yang harus menghabiskan sisa makanannya itu.
“Habis ini kita pergi kemana?” Aku memegang perut yang penuh dengan isi makanan.
Abel bersendawa, “Selanjutnya kita pergi ke lapangan.” Dia membersihkan mulutnya yang sedikit kotor karena sisa makanan menempel di sekitar bibir dan pipinya dengan tisu.
“Lapangan? Buat apa?”
Abel beranjak dari tempat duduknya, “Karena hari ini kita ada kegiatan membersihkan sekolah. Bukan cuman itu sih, mengecat dinding, memotong rumput, dan sebagainya.”
“Tenang saja, ayo. Nanti kita terlambat.”
Aku mengangguk, lantas menumpuk wadah makanan dan pergi.
...----------------...
Lima belas menit berlalu, semua murid sudah berkumpul di lapangan dan Pak Arion sebagai pembimbingnya.
“Semuanya sudah berkumpul?”
Kami menjawab serempak, “Sudah.”
Pak Arion membetulkan posisi kacamatanya yang sedikit miring, “Baiklah. Seperti yang sudah Bapak beritahukan kemarin, sekolah kita mendapatkan bantuan yang cukup besar untuk merenovasi sekolah.”
Pak Arion mulai berjalan ke sela-sela barisan murid, “Tapi dari keputusan pihak sekolah, acara merenovasi itu bisa diadakan nanti-nanti. Jadi kegiatan kita hari ini ada–”
Salah satu murid di pojok paling belakang menyela omongan Pak Arion, “Kenapa tidak hari ini atau besok saja Pak merenovasinya?”
Pak Arion tersenyum menoleh kearah murid yang bertanya, “Pertanyaan yang bagus Nak. Kenapa tidak langsung renovasi sekolah? Itu karena kita akan melakukan kegiatan bersih-bersih sekolah dan beberapa halamannya. Renovasi nya itu tidak harus dibongkar dulu kok.”
“Tapi jika sekolah segera di renovasi dalam beberapa kedepan, Bapak dan guru-guru lain masih tidak punya rencana akan melanjutkan pelajaran sekolah di mana.”
Salah satu murid mengangkat tangan, “Kita belajarnya di lapangan saja Pak Arion. Lebih terbuka juga.”
Murid-murid lain berbising-bising meng-iyakan.
“Betul sekali. Justru itu kegiatan ini di lakukan Nak. Lihatlah, rumput liar disini semakin meninggi saja, bahkan hampir selutut kalian bukan?”
Pak Arion berjalan kembali kedepan, “Ayo kita membersihkan lapangan.”
Semua murid mengepalkan tangannya, lalu melemparnya keatas langit tinggi-tinggi, dan serempak berkata,
“AYO!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Kenka-san
Ceritanya bagus banget Mimin🔥🔥
Cuman, ada beberapa slide yang mimin kekurangan menjelaskan sedikit lebih detail tentang keadaan dan situasi di sana.
Sehingga para pembaca seperti kami sedikit lebih susah mengimajinasikannya.
Lebih giat lagi Min nulisnya!!
Sedikit lagi ceritanya terlope-lope Min!!! 🔥🔥🔥
2023-03-26
2