...CHAPTER 1...
...ROAD TO ENGLAND...
"Inggris?!"
Julian membelalakkan matanya lebar melihat ke arah Rosaline dan Reagan yang tengah menghindari kontak mata dengannya. Dia menyambar surat di tangan kedua saudara kembar itu dan kemudian membacanya.
"Universitas Westminster," papar Julian membaca tulisan berhuruf tebal di bagian kop surat sebelum memusatkan pandangannya ke arah mereka berdua kembali yang masih setia mengabaikannya.
Atensi Julian kembali fokus mengarah surat di tangannya seiring iris mata kecoklatan-nya bergerak dengan cepat ke kanan dan ke kiri. Membaca tiap jengkal kalimat di surat itu secara rinci seakan tak mau meninggalkan detail sekecil apapun di sana.
Dia lagi-lagi mengalihkan pandangannya menatap ke arah dua anak kembar yang sudah dia asuh selama lebih dari satu dekade itu dengan tatapan menuntut, menyuruh mereka berdua untuk menjelaskan maksud dari surat tersebut.
"Explain this right away!" Tuntutnya. Intonasinya yang sedingin es membuat si kembar merinding dalam diam.
Rosaline, yang kini menundukkan kepalanya melirik ke arah Reagan yang ternyata sudah menatapnya duluan. Kedua saudara itu saling menunjuk ke arah pria yang lebih tua di depan mereka dengan dagu, seolah menyuruh salah satu di antara mereka untuk menjelaskan.
Dengan satu desisan yang keluar dari Rosaline, sang kakak, Reagan, akhirnya mengalah. Dia mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap Julian yang sekarang tengah bersandar ke dinding di belakangnya dengan kedua tangan menyilang di depan dadanya.
Tatapannya menusuk, memandang Reagan intens menunggu dirinya membuka mulut dan menjelaskan apa yang dia lewatkan selama ini.
"Beberapa Minggu lalu aku dan Rosie mengikuti tes masuk ke universitas asing dan kami memilih universitas Westminster di, London, Inggris. Rosie memilih arsitektur dan pembangunan dan aku memilih bisnis."
Reagan merasa bulu kuduknya berdiri. Dia perlahan menoleh ke arah sang adik, Rosaline, mengirim sinyal meminta bantuan lewat gerakan matanya yang gelisah.
"Ah dan kabar baiknya kami diterima dengan nilai tertinggi di sana," Lanjut Rosaline dengan kekehan hambar diakhir kalimatnya.
Dua saudara kembar itu membeku ketika Julian tiba-tiba menghempaskan tubuhnya ke sofa rumah seiring pria itu mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja. Oh tuhan. Ini sudah lebih dari satu dekade semenjak pertemuan mereka dan Julian masih sangat mengintimidasi.
Tak berani memandang lama Julian, Rosaline dan Reagan menundukkan kepala mereka, memandang nanar sandal rumah yang mereka kenakan sekarang.
"Yah aku senang kalian diterima di universitas asing apalagi dengan nilai tertinggi, tapi kenapa harus Inggris?" Dia mengerutkan keningnya, memberi mereka berdua sebuah tatapan penuh pertanyaan.
Rosaline dan Reagan cengo. Mereka berdua sama-sama menaikkan sebelah alis mereka ketika Julian bertanya kenapa harus Inggris.
"Memangnya kenapa kalau Inggris?" Rosaline bertanya. Dia berbalik menghadap ke saudara kembarnya yang juga melihat ke arah Julian, seakan mempertanyakan maksud dari perkataan pria itu barusan.
"Iya lagi pula kami tidak akan pergi lama. Hanya beberapa tahun setelah itu kami akan pulang," tambah Reagan, mencoba meyakinkan pria dewasa yang telah merawat mereka selama ini.
Keduanya terkejut saat Julian mengeluarkan dengusan kasar. Pria itu menggusar rambut mullet-nya yang sudah ia tata rapi selama berjam-jam itu hingga berantakan.
"Aku tahu, tapi—" ucapannya terpotong.
Matanya bergerak gelisah seakan mencari kata yang tepat untuk dia lontarkan ke dua saudara kembar itu. Dia menautkan kedua tangannya dijadikannya sebagai sandaran dagu.
Sekarang Julian tengah berpikir keras, bisa dibuktikan dengan urat-urat yang muncul di pelipisnya. Dia ingin sekali memberi tahu mereka berdua alasan yang sebenarnya. Alasan mengapa dia tidak ingin mereka pergi ke Inggris.
Tapi, berkat janji yang dia buat dengan pria sialan yang sudah tiada itu, Julian, dengan helaan napas panjang ia mengurungkan niatnya.
"Apa kalian tidak bisa mencari universitas asing yang masih satu rumpun dengan benua Asia? Inggris ada di benua Eropa, itu terlalu jauh! Aku bisa gila karena mengkhawatirkan kalian?"
Setelah jeda lama yang dia berikan, akhirnya Julian mengatakan sebuah alasan yang menurutnya agak konyol bagi orang dewasa sepertinya, tapi dia yakin. Alasan itu pasti berhasil membuat kedua saudara itu percaya atau mungkin lebih parahnya menertawakannya.
Rosaline dan Reagan membalikkan kepala mereka untuk bertukar pandang, bertepatan dengan senyum lebar yang juga ikut mengembang di wajah mereka. Jadi itu alasan Julian tidak setuju mereka ke Inggris? Karena terlalu jauh? Senyum lebar itu berubah menjadi seringaian.
"Jadi kau melarang kami ke Inggris karena itu terlalu jauh?" Rosaline berkata dengan nada sedikit mengejek.
"Dan apa tadi? Kau mengkhawatirkan kami? Kau yakin kau baik-baik saja?" Reagan menimpali dengan pelototan mata seolah-olah tak percaya, padahal dia sedang mengejeknya lewat pelototan itu.
"Kami bukan anak kecil lagi, Julian," ucap mereka bersamaan.
Sekejap suasana yang tadinya mencekam berubah menjadi hangat seiring kedua saudara kembar itu tertawa terbahak-bahak. Julian. Mengerutkan keningnya, dia sudah tahu kalau ini akan terjadi. Jadi dia hanya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sambil sesekali menggumamkan umpatan untuk kedua saudara itu.
"Tenang saja. Kami pasti akan mengirimi mu surat setiap akhir pekan," Rosaline berkata dengan senyuman lebar di wajahnya.
"Jangan surat, itu terlalu kuno. Kenapa tidak pakai ponsel mu saja untuk menelpon? Jaman sudah canggih, Rosie," cibir Reagan dan hanya diberi rengutan oleh Rosaline.
Julian menghela napas panjang ketika dua bocah kembar itu tiba-tiba bertengkar meributkan perihal surat atau ponsel untuk mengabarinya nanti.
Jadi ini yang mereka sebut bukan anak kecil lagi? Tanyanya dalam hati. Bertepatan dengan helaan napas yang keluar dari mulutnya. Julian berdiri dari tempat ia duduk dan berjalan mendekati mereka berdua.
Dia menepuk pundak Rosaline dan Reagan bersamaan, menarik keduanya menjauh, dan langsung mengulas senyum mengancam yang menyuruh mereka untuk berhenti, walaupun dia sendiri suka melihat pertengkaran konyol mereka berdua.
Rasanya seperti tengah menonton teater gratis.
"Aku masih tidak setuju kalian pergi ke Inggris. Tapi walaupun aku melarang, kalian berdua pasti akan tetap pergi, kan?" Julian menatap keduanya bergantian.
"Tentu saja!" Jawab mereka berbarengan.
Julian tersenyum hambar dengan mata yang mengerjap. Toh dia tahu betul perangai dua saudara kembar di depannya ini. Sudah lebih dari satu dekade dia mengasuh mereka seperti anaknya sendiri dan tidak mungkin lagi baginya untuk tidak mengerti cara berpikir mereka berdua yang pendek.
Meskipun dia melarang. Mereka berdua pasti akan tetap pergi.
"Kalau begitu jangan pernah menyebutkan nama keluarga kalian ataupun nama keluarga ku. Jangan pernah menyebut nama Vreaa atau Torres. Ingat itu!"
Peringatan itu diberi anggukan oleh Rosaline dan Reagan. Mereka tahu apa yang terjadi pada Julian dan ayah mereka sewaktu di Inggris sampai-sampai mereka berdua dijebloskan ke penjara. Mereka berdua adalah sepasang teman yang bodoh. Suka mencuri di masa muda mereka.
Tentu Rosaline dan Reagan mengerti. Pasti Julian tidak mau mereka berdua mendapatkan masalah atau dipandang buruk oleh orang-orang di sana karena nama keluarga mereka.
"Iya kami tahu itu," Timpal Reagan, "tenang saja. Aku bisa jamin kami berdua tidak akan membuat masalah di sana."
"Jadi boleh, kan, kami pergi ke Inggris?" Rosaline bertanya. Binar mata yang perempuan itu tunjukkan hampir membuat Julian mengatakan ya.
"Jika ingin aku setuju kalian harus melakukan peringatan ku. Jangan pernah menyebut nama keluarga kalian dan jangan pernah membuat masalah di sana. Understand?"
Dengan anggukan cepat dari Rosaline dan Reagan. Julian mencoba sekeras mungkin untuk tersenyum lembut walaupun pada akhirnya hanya ada lekukan senyuman aneh yang keluar darinya.
Ya sudahlah, pikirnya. Toh mereka berdua tidak akan sendirian. Dia punya kenalan yang bisa mengawasi mereka selama di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments