Lia menatap wajah teman baiknya itu. Violin masih belum sadarkan diri. Lia menjadi khawatir, sebab sudah berganti hari, tapi Violin belum juga membuka matanya.
Lia menghampiri petugas klinik untuk menanyakan kondisi Violin.
"Permisi, saya mau bertanya tentang pasien bernama Violin. Kenapa dia belum juga siuman?" tanyanya.
"Itu hal yang normal. Biasanya korban jatuh bisa bangun setelah satu atau dua hari. Jika kondisinya parah bisa sampai tujuh hari."
Mendengar penuturan petugas klinik. Bukan malah membuat Lia tenang. Namun, malah membuatnya semakin gelisah dan cemas.
"Bagaimana ini. Ya Tuhan, aku mohon segera bangunkanlah sahabatku itu. Aku tidak mau dia seperti ini terlalu lama." Dia Lia sambil menengadahkan kepalanya.
Luas benar-benar sahabat yang sangat baik dan perhatian. Dia begitu menyayangi teman baiknya itu.
Lia kembali ke kamar perawatan yang tersedia di klinik. Kamar rawat inap yang hanya ada dua ranjang pasien. Karena memang ini adalah klinik yang tidak terlalu besar. Karena lokasinya yang dekat dari gunung. Klinik tersebut menyediakan layanan rawat inap untuk pasien terbatas.
*****
Malam semakin tenang mendatangkan kesunyian di suasana klinik. Aktifitas di klinik mulai menyusut dikala malam tiba.
Beberapa pengunjung satu persatu meninggalkan klinik dan mungkin takkan kembali esok hari.
Lia yang masih menjadi penghuni klinik menemani Violin. Melihat sekelilingnya. Tidak ada satupun karyawan yang ikut menjaga Violin.
"Vi, bangun dong. Gua udah nungguin lu siuman. Vi, bangun. Jangan tidur terlalu lama." Lia kembali menumpahkan air matanya.
Melihat kondisi kepala Violin yang di perban. Tangan Violin yang dibalut plester medis dan kakinya yang sedikit di beri penyanggah karena ada sedikit retakan.
Kondisi inilah yang membuat Lia memutuskan untuk meninggalkan kesenangan yang diberikan oleh pihak kantornya.
"Vi, gua keluar sebentar ya. Hanya sebentar untuk menghirup udara segar." Lia beranjak dari duduknya dan melangkah keluar kamar.
*****
"Kamu sudah pastikan jelas kondisi karyawan kita itu?" tanya Junior sambil terus berjalan.
Asisten pribadinya menggerakkan kepalanya naik turun. Junior kemudian menjadi yakin.
"Berikan dia istirahat selama kondisinya belum pulih benar. Aku dengar dia salah satu karyawan yang mendapatkan predikat terbaik."
"Benar, Pak."
Mereka berhenti di sebuah pintu yang bertuliskan 'Ruang rawat inap'. Junior meletakkan tangannya di handle pintu. Dia masuk ke dalam ruangan tanpa di temani oleh asisten pribadinya.
Saat dia hendak melangkah menuju ranjang melihat keadaan karyawannya. Terjadi pemadaman lampu. Dia terkejut dan langsung terjatuh. Wajahnya tepat berada di atas wajah violin.
Violin yang perlahan tersadar. Merasakan hal aneh menyentuh bibirnya. Gelap yang menyelimuti ruangan membuatnya tak bisa melihat.
Lima menit sudah mereka saling menempel. Lampu kembali menyala dan menunjukkan cahayanya.
Melihat seorang pria berada tepat diatas wajahnya dan bibir mereka bersatu. Keduanya langsung berteriak keras.
"Aaaaaaa." Teriak keduanya.
"Jun." Pekik Violin yang mengenali wajah Junior.
"Maaf ... Maafkan aku. Aku tidak sengaja. Tadi lampunya tiba-tiba mati dan aku terjatuh." Junior menjelaskan kronologisnya dengan nada gugup.
Violin menyentuh bibirnya dan menutupnya dengan kedua telapak tangannya. Dia tidak menyangka jika ciuman pertamanya terjadi karena sebuah kecelakaan.
"Jun, kamu benar Jun'kan?" tanya violin sambil menggosok matanya.
Junior menyipitkan kedua matanya. Lagi-lagi wanita yang berstatus karyawan itu memanggil ujung nama depannya saja.
"Hei, dengar aku ini bukan Jun atau Juju yang pernah kamu katakan tempo hari. Aku adalah Junior." Sanggahnya.
"Benar, kamu Jun. Junior Adi Praha." Violin menyebutkan nama lengkap junior yang membuat pria itu terkesiap.
"Pak Junior. Apa anda baik-baik saja?" tanya Rian.
"Vi." Lia langsung menyerobot masuk ruangan rawat inap tanpa melihat-lihat lagi siapa yang ada di dalam ruangan.
Rian dan junior dikagetkan oleh sikap sembrono Lia. Rian menggelengkan kepalanya.
"Maaf ... Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau ada pimpinan dan juga asistennya." Lia menunduk berkali-kali.
"Tida apa-apa. Lagi pula saya juga sudah ingin pergi. Kamu, saya doakan agar lekas sembuh." Junior melangkah keluar ruangan.
"Violin." Lia langsung memeluk sahabatnya sepeninggalan junior dan Rian.
Dia sangat senang melihat violin yang sudah sadarkan diri.
"Akhirnya bangun juga. Bikin takut tau enggak sih." Lia mengapit wajah sahabatnya dengan kedua telapak tangannya.
"Tenang ajah. Nyawa gua masih nempel di badan. Jadi pasti bangun kok." Violin yang baru sadar bahkan sudah bisa bercanda.
"Eh, ngomong-ngomong ngapain pimpinan perusahaan kemari?" tanya Lia penasaran.
"Inikan klinik. Terus ada karyawannya yang terkena musibah. Ya sudah pasti dia jenguklah." Celetuk violin.
"Jenguk? Wih, kalau gua sakit. Dia jengukin enggak ya?" Lia menatap ke atas langit-langit ruangan rawat inap.
"Yee. Dia malah demen." Kesal violin sambil tertawa tipis melihat kekonyolan sahabatnya itu.
Aksi Lia mengundang tawa violin yang sedang merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.
"Sakit ya?" tanya Lia.
"Sakitlah. Kalo enggak sakit enggak mungkin dirawat neng."
Lia dan Violin tertawa. Mereka memang pasangan sahabat yang koplak, tapi ikatan tali persahabatan mereka sangat erat.
*****
Matahari sudah menunjukkan sinarnya. Lia dan Violin sudah membuka matanya lebar-lebar. Mereka sudah bangun sejak subuh tadi. Meski sakit violin tetap berusaha bangun pagi seperti biasanya.
"Pagi." Sapa seorang perawat klinik yang datang bersama dokter jaga.
"Sudah siuman ya. Dan sudah diperiksa perawat juga ya semalam?" tanya dokter.
"Sudah dokter," jawab violin.
"Kalau begitu, hari ini boleh pulang. Obatnya akan di siapkan segera oleh petugas klinik. Ditunggu ya." Dokter keluar ruangan.
"Boleh pulang. Yes!"
"Auw." Runtuhnya kesakitan setelah terlalu bersemangat.
"Makanya jangan lebai. Mentang-mentang dokternya ganteng." Celoteh Lia.
"Yeee. Senang karena pulang kali. Bukan karena wajah dokternya." Violin mengerucutkan bibirnya.
Lia merapihkan beberapa pakaian bekas pakai violin dan juga dirinya.
"Tadi, gua dapat kabar dari Bu Alita. Katanya kita akan dijemput supir dan diantar pulang menggunakan mobil kantor." Lia memberikan informasi tentang pesan yang dikirimkan atasan mereka.
"Benarkah? Gua baru tahu karyawan seperti kita akan di perlakukan istimewa begini." Violin tersenyum.
"Mungkin, karena lu karyawan teladan kantor kali. Jadi di perlakukan istimewa." Ungkap Lia.
"Bisa jadi." Violin bicara sambil meraih ponsel miliknya. Dia membaca pesan masuk dan betapa terkejutnya dia melihat sebuah pesan dari akun banknya.
"Hah? Ini ... Ini enggak salah kuatkan? Emangnya kita udah gajian?" tanya violin.
"Belom lah. Masih lima hari lagi. Emang kenapa sih?" Lia mendekat kepada violin dan langsung melotot tidak percaya dengan nominal yang dia lihat dilayar ponsel milik violin.
"Kalau ini bukan gaji. Lalu apa? Kenapa bisa masuk ke akun bank milikku?" Violin menjadi tambah bingung.
"Kita tanya Bu Alita saja nanti. Dia pasti mengerti." Lia menarik pandangannya.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments