Tujuh tahun kemudian...
"Rosemary."
Aku menoleh, hanya ada satu orang yang memanggilku dengan nama itu. Jean Rahel Hutger, temanku. Dia adalah putri dari Count Ziglin Karl Hutger dan Jean Carolina Hutger. Aku memeluknya sekilas.
"Kau tampak begitu bersemangat pagi ini Rahel. Ada sesuatu yang terjadi akhir pekan lalu?" Tanyaku sembari mempersilakannya duduk.
Rahel kembali tersenyum, tanpa bisa menyembunyikan pipinya yang bersemu. "Kau tahu, kemarin aku tak sengaja melihat Pangeran!" Rahel kini tengah menyatukan tangannya dengan mata berbinar. "Dari jauh saja Pangeran sudah terlihat tampan. Tsk, aku tak sabar melihatnya secara langsung."
Aku tersenyum, mendengar cerita Rahe selalu menyenangkan. "Kau tak sabar melihatnya secara langsung atau kau tak sabar datang ke pesta ulang tahun Pangeran?"
Wajah Rahel sekarang benar-benar merah, bahkan hingga telinga. "Tentu dua-duanya. Tapi Rosemary, ini bukan karena aku menyukainya seperti itu."
"Itu? Apa itu?" ulangku meledeknya.
Wajahnya kembali bersemu hingga tangannya bergerak karena gugup. "Seperti wanita ke pria. Aku hanya mengaguminya. Pangeran kita yang berbakat, pintar, dan seorang revisioner! Sudah begitu, dia tampan pula! Aah, melihatnya dari dekat saja sudah menjadi berkah untukku."
Aku terkekeh pelan. Ya, Rahel memang sering kali berlebihan. "Kau benar-benar memujanya. Omong-omong, bagaimana kabar Vincent?"
Vincent Brian Hutger, anak pertama sekaligus kakak dari Rahel. Dia dan kedua kakakku berteman, seperti aku dan Rahel. Bahkan Vincent yang mengenalkan aku pada Rahel saat kami berusia lima tahun.
Rahel kini mengibaskan tangannya, "jangan khawatir dia masih hidup meski jatuh dari kuda gila itu."
"Aku mendengar tulangnya patah hingga tak bisa pergi ke akademi?" Tanyaku saat teringat cerita dari Eli minggu lalu.
Rahel kontan tertawa. Saking kencangnya hingga mendapat dehaman kencang dari Missa--pelayan Rahel. Gadis itu langsung berhenti tertawa, menjadi anak bangsawan itu benar-benar sulit. Percaya padaku. Kami anak-anak dari keluarga bangsawan harus belajar etika saat berumur lima secara formal. Bukan cara menulis atau membaca, tetapi cara menggunakan sendok dan pisau lebih penting. Harus begini, tak boleh begitu. Banyak sekali aturan hingga aku sering kabur dari kelas etika.
Tentu saja aku tak melakukanya sendiri, tetapi bersama Alec dan Eli. Kami bertiga sering sekali bolos pelajaran etika dan bersembunyi di dapur. Tentu saja kami dihukum setelahnya dan akan kembali bolos saat kami bosan. Sungguh, pelajaran etika itu benar-benar membosankan.
Selama tujuh tahun aku hidup sebagai Amabel, aku belajar bahwa tempat yang aku tinggali bernama Plodnavor bagian dari kerajaan Yerkink. Plodnavor dipimpin oleh ayahku, Duke Lancaster dan merupakan wilayah terbesar dari kerajaan.
Kembali pada Rahel yang kini tengah menceritakan soal Vincent. "Dia benar-benar berlebihan. Kakinya hanya keseleo dan tubuhnya memar, tetapi seperti yang kau dengar tentu saja dia akan melebih-lebihkannya. Dia Vincent, kau tahu."
"Dan itulah kenapa Vincent dan Eli sangat cocok." Ujarku sambil terkikik. Aku rasa orang-orang akan berpikir demikian. Vincent memiliki rambut emas dan mata biru seperti Eli, hingga terkadang mereka dianggap sebagai adik-kakak dibanding dengan Alec dan Eli.
Rahel kembali mengangguk, gadis di hadapanku ini cantik. Rambutnya berwarna rosegold, bermata biru jernih, dan memiliki senyum yang menawan. Meski baru berusia delapan dan berasal dari keluarga Count, Rahel sudah mendapat banyak undangan pesta. Tentu Rahel baru akan datang ke pesta resmi saat berumur enam belas nanti.
Rahel perempuan yang cerdas, meski sering kali dia tertawa terlalu kencang. Ini yang menyebabkan Missa sering kali menegurnya. "Omong-omong, kau sudah menentukan sekolah yang akan kau masuki? Tak terasa tahun depan kita sudah harus mengikuti ujian." Wajahnya terlihat sedih, aku rasa ini karena Rahel tak suka sekolah.
Aku memotong kueku dan memakannya. Aku tak tahu apa yang aku ingin lakukan nanti. "Ya, kau benar. Aku tak tahu tentang hal itu. Akan kupikirkan nanti."
Rahel menatapku lama sampai akhirnya dia mengangguk. "Tentu, kau masih memiliki waktu. Memang kau tak punya mimpi?"
Keningku langsung berkerut. "Tidak." Aku tersenyum, mungkin terlihat terlalu senang hingga Rahel menatapku aneh. "Ah, tapi aku ingin hidup dengan kedua orangtuaku selamanya."
Mulut Rahel terbuka lebar. Aku sampai takut jika lalat masuk ke dalam mulutnya. "Rahel, kau harus menutup mulutmu."
Gadis itu akhirnya sadar dan melakukan apa yang aku minta. Ia berdeham, kali ini duduknya lebih tegak dari biasanya. "Rosemary sayang, pada akhirnya seorang putri seperti kita akan meninggalkan rumah dan menjadi seorang istri. Aku tak ingin menghancurkan mimpimu, hanya saja jika kau ingin mewujudkannya keluarga Lancaster pasti akan diremehkan."
Aku menghela napas panjang. Aku tak pernah berpikir demikian. Harapanku hanya bisa hidup dengan keluarga yang sebelumnya tak aku miliki. Rahel mungkin melihat kesedihan di mataku hingga membuatnya meraih tanganku dan menepuknya pelan. "Apapun mimpimu aku akan selalu mendukungmu. Bahkan meski terdengar gila seperti tadi. Aku minta maaf karena sudah meragukan mimpimu."
Rahel adalah perempuan baik. Dia bukan hanya pintar dala pelajaran, namun juga melihat emosi seseorang. Aku mendongak, menatapnya langsung ke mata birunya yang indah. "Terima kasih."
tadinya mau bikin pas amabel masih balita cuma karena aku malas jadi dipercepat saya ya. kalau diperlukan nanti akan ada di flashback
-amel
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
🍫 Hiat^٥MayΤυΙρa🍥╏ 🍨
Aduh umur segitu dah mikirin sampe situ ...
2020-11-20
2
Bby Rin_
wahh
2020-07-19
1
hegiegone
semnagat terus ya kaka , aku sudah boomlike dan rate bintang 5.
jangan lupa mampir , sekalian saran dan kritikan nya dikaryaku .
2020-06-25
1