Tangis histeris nan pilu yang begitu menyayat hati dibarengi rintih kesakitan terdengar di mana-mana, termasuk ibu Tati yang menangis sejadi-jadinya sambil mengais-ngais puing bangunan bermaksud berusaha mengeluarkan tubuh anak semata wayangnya yang masih terjebak di dalam reruntuhan rumah. Dia terus memanggil nama Tuti dan berharap mendapat jawaban dari putri tercintanya itu.
Aku masih terpaku bagai dipaku oleh waktu dimana untuk beberapa sekon hanya mampu berdiri mematung, melihat pemandangan sekitar yang membuatku gemetar ketakutan membayangkan bagaimana nasib temanku dan tidak terasa air mataku pun ikut meleleh.
Beberapa menit kemudian ibu Tati pingsan setelah kelelahan karena menangisi putrinya yang masih tertimpa reruntuhan rumah, selain itu dirinya pun banyak mengeluarkan darah dari pelipis mata akibat terkena pecahan batu bata saat kejadian berlangsung.
"Neng Jingga! Neng baik-baik saja kan? Neng sadar Neng!" Seru seorang bapak-bapak mencoba menyadarkanku yang masih berdiri menatap kosong ke arah rumah sahabatku itu.
"Enggak apa-apa kok mang, tapi bagaimana keadaan Tuti mang? Apa dia bakal selamat?" tanyaku terbata-bata sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang dengan tangan gemetar.
"Entahlah, tapi lebih baik Neng Jingga pulang dulu saja takut Pak Dirga sama Bu Mega nyariin," ucap bapak tersebut. Seketika aku langsung terhenyak dan teringat akan nasib anggota keluargaku juga.
Akupun bergegas meninggalkan tempat tersebut, setelah melihat sebentar ke Ibu Tati yang tengah pingsan di dekat rumahnya, yang mana tubuhnya sedang digotong oleh beberapa warga dan aku hanya bisa berdoa dalam hati semoga temanku itu dapat diselamatkan.
Sepanjang jalan aku terus berlarian sambil menatap kesana-kemari. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan semua bangunan nyaris ambruk dan rata dengan tanah karena bencana gempa bumi ini.
"Ibu, Bapak, Kak Surya, Mentari..." Teriakku sesaat setelah memasuki halaman rumah dan untungnya rumah panggungku itu masih baik-baik saja, hanya ada beberapa genteng saja yang berjatuhan.
Aku terus berlari mencari ke setiap sudut rumah dengan memanggil nama mereka, saat diriku mulai letih suara pun hampir habis yang akhirnya terduduk lesu. Baru beberapa detik kemudian aku teringat biasanya adikku jam segini masih berada di sekolah agama yang mana selalu ditunggui oleh ibu, sementara Ayah dan Kak Surya sedang bekerja di kampung sebelah.
Aku pun kembali bangkit untuk bergegas berlari ketempat di mana adikku bersekolah, dan entah mengapa bayangan perselisihan antara diriku dan Mentari malam kemarin seolah muncul kembali dalam benak ini.
Kejadian tersebut bermula ketika selepas makan malam, aku menghampiri Kak Surya yang tengah asik memegang ponsel yang sepertinya baru dia beli. Sementara Mentari sedang bermanja ria di samping ibu yang tengah merajut tas bermotif bunga, dimana produksi tersebut setiap minggunya akan di kumpulkan ke Pak Sobari salah satu ketua Rt di kampung kami dan selanjutnya akan disetorkan ke pabrik garmen di kota ini. Pekerjaan tersebut sangat membantu para ibu-ibu rumah tangga sebagai penghasilan tambahan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Wah... Kak Surya punya ponsel baru ya?" seruku turut senang sambil menghampirinya.
"Enggak baru juga kok Dek, ini mah ponsel second dan tadi belinya dari teman sesama pekerja yang lagi kepepet butuh uang untuk pengobatan anaknya," ungkap Kak Surya.
"Kak Surya, Jingga boleh pinjam?" tanyaku ragu-ragu.
"Boleh kok, tapi awas jangan sampai rusak" jawab Kak Surya tersenyum sambil mengacak-ngacak rambutku, kemudian dia pergi ke belakang rumah untuk mengambil wudhu dan melaksanakan sembahyang sholat isya.
Mentari yang sejak tadi mendengarkan obrolan kami dan hanya menatap dari kejauhan dengan raut muka penasaran, namun setelah Kak Surya pergi tiba-tiba dia menghampiriku. "Kak Jingga gantian dong! Mentari pengen liat film kartun di ponselnya Kak Surya," seru Mentari yang entah sejak kapan berada di dekatku, aku yang lagi asik main permainan mario bross tentu saja kaget.
"Tunggu sebentar lagi," timpalku tanpa menoleh dan terus fokus menekan layar sentuh ponsel tersebut, namun bukan Mentari kalau keinginannya tidak langsung segera dituruti dan karena sebal dia berusaha merebutnya dari tanganku, tapi aku yang tengah asik dan tidak ingin diganggu langsung mengangkat tangan tinggi-tinggi.
"Heh.... Kalian berdua jangan berisik sudah malam, Jingga gantian saja dulu napa?" seru Ibu memperingati kami tapi tangan dan matanya tetap fokus mengerjakan pekerjaannya.
"Oi... Bentar lagi napa bocil," seruku mulai sebal sambil menjauhkannya menggunakan tangan kiri, sementara tangan kananku masih mengacungkan ponsel. Mungkin karena rasa sabarnya sudah habis, Mentari yang emosi tiba-tiba menginjak jempol kakiku dengan keras.
Hal tersebut membuatku kesakitan sekaligus kesal, kemudian secara reflek mendorongnya dengan cukup keras sampai tubuh adikku itu tanpa sengaja terantuk ke mejanya Kak Surya. Sambil menangis Mentari meraih teko kecil dan langsung melemparkan ke arahku, meski aku masih sempat menghindar tapi sialnya lemparan tersebut terkena tangan kanan yang tengah memegang ponsel milik Kak Surya tersebut.
"Jinggaa..! Mentarii..! Kalian ini gak bisa pada diam apa?! Ribut mulu kerjaannya..!! seru ibu membentak kami berdua dan itu membuat Ayah yang tengah merokok di teras rumah dan langsung melihat ke dalam, begitu pun Kak Surya bahkan dirinya kaget melihat ponsel yang baru dibeli sudah berada di lantai kayu dengan keadaan basah kuyup akibat terkena air.
"Yang satu tidak sabaran satunya lagi gak mau ngalah, mau jadi apa kalian dengan saudara sendiri aja pada berantem mulu," bentak ibu pada kami berdua, kami pun hanya bisa terdiam seribu bahasa ketika ibu mulai memarahi kami berdua.
"Sudah-sudah jangan ribut lagi, toh handphonenya juga udah mati sekarang mah," ucap Kak Surya memperlihatkan layar ponsel yang terlihat agak retak dengan keadaan basah karena terkena teko air.
"Sudah toh Bu jangan marah nanti asam lambungmu kumat, lebih baik kau bereskan saja kerjaanmu dan beristirahatlah duluan," ucap Ayah menenangkan ibu kami.
"Apa masih bisa diperbaiki Sur?" Tanya Ayah menghampiri Kak Surya.
"Kayaknya bisa, mudah-mudahan cuma ngeblank doang" jawabnya, meski begitu terlihat gurat sedih dan kecewa terpancar di wajah kakakku itu.
"Kalau begitu pake saja uang ayah-"
"Gak usah pak, uang Surya juga masih ada kok."
"JINGGA KENANGA dan BUNGA MENTARI. Kalian berdua bisa ikut ke teras menemani bapak duduk santai sambil ngabisin teh bersama" tegas Ayah kami dengan tatapan tenang. Namun bagi kami berdua itu cukup mengerikan, sebab tidak biasa kalau nama kami dipanggil dengan nama lengkap dan bila hal tersebut sudah terucap oleh beliau, berarti kami harus benar-benar menurutinya.
Kami berdua mengikuti dari belakang dengan wajah tertunduk, karena apabila nama kami dipanggil dengan lengkap itu berarti ayah akan berbicara serius. Dan benar saja hampir dua jam kami berdua diberi wejangan oleh beliau, tapi mungkin karena kami berdua masih kecil sehingga nasehat ayah Dirgantara hanya didengar ketika di teras saja dan kami berdua tetap saling memendam kesal hingga sekarang.
Dan sejak malam itu Aku dan adikku tidak pernah bertegur sapa, bahkan biasanya Mentari dan aku tidur di kamar yang sama, sekarang dirinya ingin tidur di kamar ayah dan ibu.
Kembali ke masa sekarang dimana aku tengah berlari dan sesampai di sekolahnya Mentari, Aku begitu terkejut karena bangunan tempat adikku menimba ilmu sudah rata dengan tanah sama seperti di tempat lain dan jerit tangis pun terdengar dimana-mana.
"Neng Jingga, yang sabar ya Neng," seru penjaga sekolah ketika melihatku datang dengan wajah lelah, efek dari berlarian sejak dari rumahnya Tuti.
"Pak Satpam, ibu sama adikku di mana?" tanyaku pelan.
"Yang sabar ya Neng, mudah-mudahan bu Mega sama Mentari baik-baik saja-" jawabnya ragu.
"Pak satpam, dimana ibu sama Mentari?" tanyaku kembali sambil memegang tangan penjaga sekolah tersebut.
"Bu Mega sama Mentari, mereka tertimpa bangunan sekolah dan masih belum bisa diselamatkan, kita harus menunggu bantuan dari Basarnas untuk menyingkirkan puing-puingnya" jawabnya pelan.
Aku yang mendengar jawaban tersebut, seketika langsung terkulai lemas seolah seluruh tulang-tulang telah dilolosi dari badanku, dada ini pun bergemuruh bersamaan dengan rasa sesak yang begitu amat sangat dan akhirnya tangisku pun pecah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Sui Ika
waduh
2023-04-05
0