LITTLE BROTHER (4)

^^^Zoya^^^

^^^Jadi kapan kira-kira bisa sampe?^^^

Unknown Number

Untuk estimasi tiga sampai lima hari ya, Kak.

Unknown Number

Masalah harga, Kakak tidak usah cemas karena kami menyediakan banyak voucher yang bisa Kakak gunakan. Juga, banyak testimoni tentang jasa kami. Jadi, Kakak tak perlu ragu!

^^^Zoya^^^

^^^Coba liat price list-nya.^^^

Unknown Number

- Demam, flu, etc \= 2 juta.

- Muntah paku \= 6 juta.

- Muntah darah \= 8 juta.

- Mati \= 12,5 juta.

Jangan lupa lampirkan juga foto orang yang ingin Kakak santet, ya. Kalau bisa helai rambutnya juga.

Unknown Number

Dan untuk pendaftaran awalnya satu juta ya, Kak.

^^^Zoya^^^

^^^Najis.^^^

Zoya mendengus kasar. Yang benar saja. Empat menit yang ia habiskan untuk mencari jasa santet online di Instagram sia-sia begitu saja.

"Kayaknya kalian selamat lagi kali ini."

Zoya memberikan tatapan dinginnya pada foto Nayla dan Jerry yang berada di dalam ponselnya.

Tapi, gadis yang memang tengah berjalan menuju kamarnya itu malah beralih fokus pada kamar Lilo.

Pintu kamar sang adik yang sedikit terbuka, membuat Zoya dapat melihat lelaki dengan piyama Pororo itu terduduk di meja belajarnya.

Gadis itu lalu melangkah lebih dekat. Hidungnya dapat mencium dengan jelas aroma capuccino begitu posisinya semakin dekat dengan kamar sang adik.

Lilo yang tengah mengerjakan tugas sekolahnya nampak membelakangi Zoya dan menampakan punggung tegapnya pada sang Kakak.

Tapi Zoya malah salah fokus pada Lilo yang sepertinya sudah sakit kepala mengerjakan tugasnya. Bisa dilihat dari lelaki itu yang beberapa kali terlihat menggaruk-garuk kepalanya dengan frustrasi.

"Awas, kepala lu berasap tuh."

Lilo menoleh mendengarnya. Nampaklah Zoya yang tengah tersenyum miring sambil cekikikan kecil.

Lilo membuang muka, "Kalo gak mau bantuin mending pergi. Bikin tambah pusing aja."

Zoya terkekeh pelan lalu masuk dan duduk di samping adiknya itu.

"Pelajaran apa yang bikin sel penuh rumus kayak lo jadi begini?" tanya Zoya.

Sebetulnya Zoya memang tidak habis pikir. Pelajaran seperti apa yang membuat adiknya sang peraih lusinan piala bidang akademik di Kanada itu menjadi terlihat tak berdaya begini?

"Pelajaran yang gak pernah gue pelajarin di sana." Lilo mendengus sambil menghempaskan buku tulisnya pada Zoya.

Dan gadis itu malah tertawa saat menyadari bahwa buku yang diberikan oleh adiknya itu adalah buku....

...Bahasa Indonesia.

"Sekolah aja jauh-jauh. Pelajaran begini payah," ledek Zoya sambil melihat-lihat buku Lilo. "Gak usah sombong. Gak semua orang Indonesia pinter pelajaran Bahasa Indonesia. Ngaku, gak?" Lilo menatap Zoya tajam.

Zoya benci mengakuinya, tapi sialnya itu memang benar. Bahkan justru pelajaran yang paling Zoya benci bukanlah matematika.

Melainkan ya... ini. Bahasa Indonesia.

Saat guru menceritakan perjalanan hidupnya yang berkedok mengajar, terlebih saat materi yang disampaikan adalah materi biografi....

...saat itulah Zoya kabur dan berakhir di kantin.

"Lagi pula gue cuma bisa bahasanya doang. Ditambah gue gak ngulik juga. Gak nyangka pelajaran Bahasa Indonesia se-ribet ini." Lilo kembali menggaruk-garuk kepalanya.

Zoya tertawa, "Request kek sedia-in pembelajaran Bahasa Indonesia ke sekolah lo dulu. Biar gue jadi gurunya."

"Hmm ide bagus. Nanti gue pasang spanduk 'Les Bahasa Indonesia Bersama Zoya, Biaya Gratis Tapi Mental Anak Anda Taruhannya'. Gimana?"

Zoya menyentil kepala sang adik, "Anak anjing."

Mereka tertawa bersama setelahnya. Sungguh. Zoya tak menyangka akan memiliki hubungan yang se-erat ini dengan adik laki-lakinya sendiri.

Tapi kedekatan ini memberikan Zoya dua perasaan sekaligus.

Perasaan pertama, di mana Zoya senang karena dapat menghabiskan waktu lebih banyak dan leluasa tanpa rasa canggung kala bersama Lilo.

Namun....

...di saat bersamaan, hal itulah yang membuat Zoya berpikir. Apa kedekatan kakak-adik ini akan membuat Lilo terus menganggap mereka hanya sebatas saudara, di saat rasa suka Zoya pada Lilo semakin membludak dari hari ke hari?

Bisa-bisa Lilo lupa kalau mereka tidak sedarah.

Walaupun Zoya memang tidak memiliki harapan yang se-tinggi itu untuk menjadikan Lilo miliknya sebagai laki-laki bukan sebagai adik, tapi tetap saja lubuk hatinya memiliki secuil keinginan kecil.

Setidaknya Lilo sadar bahwa Zoya menyukainya.

Persetan akhirnya Lilo menjadi miliknya atau tidak, minimal lelaki itu sadar bahwa Zoya sangat menyukainya. Bahkan ketika pertama kali bertemu saat kecil.

Tapi, ya... Sekali lagi itu hanya keinginan kecil yang konyol milik Zoya. Rasanya tidak mungkin untuk laki-laki se-naif Lilo untuk mengetahuinya.

Lagi, Zoya hanya menyukai Lilo. Dan itu cukup.

"Eh, Kak...."

Zoya yang tengah mengerjakan tugas milik Lilo pun bergumam, "Hmm...."

"Gimana cara lo punya banyak temen?"

Zoya melirik sang adik. Sepertinya gadis itu mulai tertarik dengan topik ini.

"Emang kenapa?"

"Ya... enggak, sih. Cuma penasaran aja gimana caranya orang yang punya mulut kayak lo bisa punya banyak temen." Lilo tersenyum jahil di akhir ucapannya.

Zoya mendengus, "Mulut gue emang disetting begini buat orang-orang buangan yang gak tau diri dan harus dikasih ngerti."

"Dan lagi. Temen gue gak sebanyak itu. Sepuluh aja kagak," Zoya melanjutkan.

Lilo menaikkan kedua bahunya, "Entahlah. Punya satu temen aja udah banyak menurut gue."

"Gue penasaran. Se-nahas apa nasib pertemanan lo di sana sampe punya satu temen pun lo bilang banyak?" tanya Zoya heran.

"Entahlah. But maybe masalahnya ada di gue. Di sana, gue jadi kayak asik sendiri. Gue merasa freak...."

"...Dan di sini. Gue merasa sebaliknya. Justru gue malah kayak kurang asik buat orang-orang di sini. 'Asik'-nya gue, kurang masuk ke 'asik'-nya mereka."

Lilo menutup wajahnya sendiri, "Ah... ngelantur. Tapi lo ngerti kan, Kak? Gue masih gak ngerti 'asik'-nya orang sini itu kayak gimana. Lo dan temen-temen lo biasanya ngapain sih buat hiburan?"

"Hiburan, ya...." Zoya berpikir sejenak, "Bolos jam pelajaran ke kantin? Cek-cok sama adkel? Ngintip cogan di toilet cowok?"

"Atau... baku hantam sama wali kelas?"

Lilo mengedipkan matanya beberapa kali. Laki-laki itu hanya berharap jika kakak perempuannya ini tidak benar-benar melakukan hal yang dikatakannya barusan.

"Hiburan lo agak ekstrem ya, Kak."

Zoya terkekeh lalu diam sejenak. Walau ucapan Lilo memang agak rumit, tapi Zoya paham. Tidak bisa ia bayangkan harus menjadi dua pribadi yang berbeda, di tempat yang berbeda pula.

Lilo pasti kebingungan tentang dirinya sendiri.

"Kalo ditanya kenapa, gue juga gak tau."

Zoya akhirnya menjawab pertanyaan Lilo tadi.

"Menjalin hubungan sama orang lain itu bukan kayak rumus matematika yang ada langkah-langkah tertentunya, Lil. Menjalin hubungan, termasuk hubungan pertemanan itu gak ada step-step yang pasti...."

"...Tapi buat gue, sebuah lingkungan yang bisa membuat lo jadi diri sendiri, artinya lingkungan itu adalah tempat yang cocok buat lo. Entah itu orang, atau tempat."

"I mean, gak ada salahnya mengubah diri ke arah positif. Tapi jangan sampe perubahan itu membuat lo jadi bukan lo lagi...."

"...paham kan maksud gue?"

Setelah sekian detik mendengarkan ocehan sang Kakak sembari melamun, Lilo akhirnya tersadar lalu bertepuk tangan dengan pelan.

"Dibanding jadi guru, mending lo jadi motivator aja, Kak. Kata-kata lo mirip komen yutub!" Lilo mengacungkan jempolnya.

Zoya terbelalak. Serius? Mulutnya yang mengucapkan bermacam-macam kata-kata sok bijak itu berakhir dengan respons seperti ini dari Lilo?

Anak ini memang tak menginginkan nyawanya.

Zoya melemparkan buku tulis Lilo dengan asal lalu menarik kerah piyama yang dipakai sang adik.

"Gue rela ngucapin hal-hal yang bahkan gue sendiri geli dengernya. Dan sekarang ini jawaban lo?!"

"Kayaknya lo emang mau mati hari ini, njing."

Posisi Lilo yang berada di bawah, dan Zoya yang berada di atas sambil memegang kerah piyamanya, membuat mereka terlihat seperti dua sejoli yang tengah beradu akting.

Hanya saja itu akting di mana tokoh wanita tengah memaksa sang tokoh pria untuk 'bermain'.

Ah... Andaikan saja hal itu benar-benar terjadi. Pasti akan seru juga.

"Kak! Sumpah, ya! Lo gak bisa diajak bercanda banget! Takut gue huaaaaa!!" Lilo merengek minta dilepaskan.

Selamat lo, sialan. Untung suka, batin Zoya.

Zoya merapikan bajunya sendiri, "Intinya gak usah repot jadi orang lain buat punya temen. Karena yang bener-bener temen pasti bisa menerima lo, sebagaimana lo adanya."

"Ngerti kan, cucu Lucifer?"

Tanpa menunggu jawaban, Zoya langsung berdiri dan berjalan untuk keluar kamar sang adik.

Ya... walaupun sebenarnya semalaman pun Zoya rela untuk berada di kamar Lilo. Terlebih jika mereka hanya berdua.

Bisa-bisanya esoknya Zoya sudah 'dua garis'.

"Kak...."

Zoya menoleh, "Ape?"

Lilo mengembangkan senyumnya sambil menatapnya dengan kepala miring. Lesung pipi laki-laki itu terlihat jelas di wajah imutnya.

"Thanks, ya."

...(•~•)...

"Kayaknya siput pun menang kalo lomba lari sama lo, Kak. Cepetan jalannya!"

Tidak ada lagi yang membuat Lilo lebih kesal lagi selain lambatnya Zoya berjalan. Bagaimana tidak? Gadis itu sepertinya sudah terlalu kenyang makan semua yang bisa ia makan.

"Sabar, njing. Perut gue penuh."

Zoya mensejajarkan dirinya dengan sang adik yang terlihat mencebik.

"Gak ada juga yang nyuruh lo buat makan kayak curut tadi. Isshh geli." Lilo bergidik mengingat cara Zoya makan.

Dengan cara tikus makan saja lebih baik tikus daripada Zoya.

Terbayang bukan seberapa berantakan dan seberapa rakus seorang Zoya Anastasia ketika makan?

"Bacot," cuek Zoya sambil mencomot cilok milik Lilo dan melahapnya dengan ekspresi yang benar-benar tanpa dosa.

Lilo terbelalak, "Kak! Punya gue itu! Sumpah bete banget!"

Zoya hanya menatap sang adik sejenak, lalu kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi ke kelas.

"Kak! Gak mau tau ganti ah! Itu cilok terakhir gue!"

Zoya mendengus, "Berisik."

"Beneran, Kak! Gue nangis sumpah."

"Nangis aja. Gue gak peduli."

"Kak... Serius... Cilok gue."

Zoya tutup telinga, "Bla, bla, bla."

....

Tiba-tiba semuanya hening.

Zoya berhenti melangkah. Zoya sudah tidak mendengar ocehan berisik Lilo yang kini sudah berada di belakangnya.

Gadis itu menoleh dan terbelalak mendapati sang adik yang tengah mematung di tempatnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Bibir merah muda merekah laki-laki itu nampak maju ke depan dengan ekspresi merajuk. Belum lagi tangan beruratnya yang sedang memegangi kantong bekas ciloknya barusan yang sudah kosong.

"O–oke gue beliin! Gak usah nangis, dong!"

...-TO BE CONTINUED-...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!