Bab 4

Setelah menutup pintu kamarnya dengan lembut, Kaynara berjalan pelan menuju meja rias. Ia menarik kursi kayu ukiran klasik itu, lalu menjatuhkan tubuhnya perlahan. Duduk diam di hadapan cermin, ia memandangi bayangan dirinya sendiri—seorang perempuan muda dengan mata sendu dan riasan yang mulai luntur. Hatinya berbisik lirih, "Andai saja kamu ada di sini..." Suaranya hanya menggema dalam batin, tak berani diucap lantang.

Dengan gerakan lambat, ia melepaskan satu per satu perhiasan dari tubuhnya—anting berlian, kalung tipis, gelang perak. Semua itu terasa begitu berat di kulitnya malam ini. Lalu ia mulai menghapus make-up di wajahnya. Setiap sentuhan kapas seolah menghapus kepalsuan dari hari ini, menyisakan wajah alami yang polos dan teduh. Saat semua selesai, ia pun bangkit menuju kamar mandi, membiarkan langkah-langkahnya bergema di lantai marmer yang dingin.

"Berendam sepertinya menyenangkan," gumamnya lirih. Ia menyalakan keran dan membiarkan bathup terisi air hangat. Tangannya lalu meneteskan aromaterapi lavender, aroma favoritnya yang menenangkan. Uap harum mulai memenuhi ruangan, menenangkan jiwa yang sejak tadi berkecamuk.

Sementara itu, Kiano—yang tampak canggung dengan setelan pengantin yang belum sempat diganti—melangkah perlahan menyusuri lorong rumah besar itu. Pandangannya tertuju pada sebuah pintu dengan nama 'Kaynara' tertulis anggun di atasnya. "Kok sepi? Mungkin dia lagi di ruangan lain," pikirnya sambil membuka pintu.

Melihat tak ada siapa-siapa di dalam, Kiano langsung masuk dan menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa panjang berlapis beludru. Ia memejamkan mata, mencoba mencuri waktu istirahat yang layak dari kekacauan hari ini.

Tiga puluh menit berlalu.

Nara keluar dari kamar mandi dengan tubuh berbalut handuk putih yang hanya menutupi hingga pertengahan pahanya. Butiran air masih menempel di kulitnya yang bersih, dan rambut panjangnya menjuntai basah ke punggung. Ia berjalan santai ke arah lemari, membuka pintu-pintunya, dan mulai memilih pakaian. Ia sudah mengenakan celana pendek tipis, dan kini hanya mengenakan bra renda yang senada. Ia melangkah mondar-mandir, belum sadar akan kehadiran seseorang di dalam kamarnya.

Hingga tiba-tiba...

"AAAAAH!" teriak Nara seketika saat matanya menangkap sosok laki-laki yang sedang berbaring santai di sofa.

Kiano yang mendengar jeritan itu pun tersentak bangun. Ia mengucek mata, lalu mendongak—dan matanya membelalak. "AAAAAH!" teriaknya lebih keras, melihat Nara hanya mengenakan pakaian minim dan basah.

Dalam sekejap, Nara berlari kecil mengambil kaus oversized dari dalam lemari dan memakainya dengan kecepatan kilat. Beruntung ia sudah memakai celana pendek sejak awal.

Kiano yang masih terpaku di tempat, menelan ludah dengan susah payah. Pemandangan tadi terus menari-nari di benaknya. Ia lelaki normal, dan apa yang dilihatnya barusan adalah bidadari dunia nyata dalam wujud nyata. Kulit seputih susu, lekuk tubuh yang menggoda, dan aroma lavender yang menempel di udara.

“Ng-ngapain kamu di kamarku?” tanya Nara dengan tangan menyilang di dada, mata tajam menatapnya.

“Mau tidur,” jawab Kiano santai, kembali memejamkan mata seperti tak terjadi apa-apa.

“Tidur? Ngaco. Keluar! Aku gak mau satu kamar sama kamu. Siapa tahu kamu malah macem-macem nanti,” hardiknya.

Kiano mendesah pelan. “Andai aja aku boleh pulang, aku udah pulang dari tadi. Aku ke sini juga karena disuruh Mama Nisa buat istirahat. Gak ada izin, ya mana mungkin aku masuk ke sini."

Ia bangkit dari sofa, berdiri, dan mulai membuka jas pengantinnya tanpa beban, menyisakan kaus dalam yang membalut tubuh atletisnya.

“Jangan-jangan kamu yang justru niat ngapa-ngapain aku. Soalnya aku ini tampan, atletis. Mana ada perempuan tahan. Kamu aja lebih tua dariku, pasti lebih berpengalaman… iya kan?” lanjutnya sambil menyeringai.

Mendengar kata-kata itu, Nara mendesis marah. “Jaga mulut kamu ya! Iya, aku memang lebih tua darimu. Tapi jangan samakan aku dengan perempuan yang gampang. Buatku, kesucian itu hadiah terindah buat suamiku—yang benar-benar kucintai. Dan itu bukan kamu.”

Kiano mencibir, “Bullshit ah, lo.”

Ucapannya menampar. Ia berjalan melewati Nara dengan santai, membawa paperbag yang tadi diletakkan di sudut ruangan, dan masuk ke kamar mandi.

Nara berdiri mematung. Dadanya naik turun, matanya berkaca. Dihina, direndahkan, dipertanyakan kehormatannya—oleh suaminya sendiri. Dulu, Vano, mantan kekasihnya, memang berkali-kali mencoba memaksanya lebih jauh. Tapi ia tetap pada pendirian: tak akan memberi sebelum halal. Dan kini, ia dihina seakan perempuan murahan.

Dengan kesal, ia menghentakkan kaki ke lantai. “Sialan!”

Sementara itu, Kiano berdiri di bawah guyuran shower. Air hangat membasahi tubuhnya, tapi pikirannya masih kacau. Bayangan tubuh Nara terus membayangi. Ia menggigit bibir bawah, frustasi.

“Bullshit. Mana mungkin cewek kayak dia masih suci. Bang Vano itu udah kayak... predator. Hobinya masuk keluar klub malam sama cewek-cewek. Dan si Nara? Dengan badan kayak gitu, mana mungkin Vano nahan?” pikir Kiano, menutup matanya.

“AAARGHHH!” teriaknya sambil mengacak rambut.

Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Kiano keluar dengan kaus oblong dan celana pendek. Ia mengibaskan rambut yang masih basah, lalu mendekati ranjang. Di sana, Nara sudah terlelap, wajahnya damai seperti anak kecil.

Kiano terpaku. Hatinya mencelos.

“Kamu cantik saat tidur begini,” bisiknya lirih, menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah Nara. Tapi segera ia menegur dirinya sendiri. “Apaan sih gue ini? Sadar, Kiano. Dia itu pacarnya kakakmu.”

Ia menarik selimut, berbaring di samping Nara—dengan jarak aman—dan ikut tertidur.

Hampir tiga jam berlalu, saat Nara terbangun dengan tenggorokan kering. Ia menggerakkan tubuh, lalu... merasakan sesuatu yang hangat melingkar di pinggangnya.

“AAAAAAAAA!” teriaknya keras.

Ruang kamar itu kedap suara, untungnya. Kalau tidak, seisi rumah pasti sudah menggedor pintu.

Matanya membelalak ketika menyadari Kiano tidur di sebelahnya, satu tangan melingkar santai di perutnya. Ia buru-buru menarik selimut ke atas dada.

“Alhamdulillah…” gumamnya, lega setelah memeriksa pakaiannya yang masih utuh.

Kiano membuka mata malas-malasan, lalu mengeluh, “Apaan sih, Kak? Dari tadi teriak-teriak. Budeg nih kuping aku!”

Nara melotot, menunjuk wajahnya. “Ngapain kamu peluk-peluk aku, hah?! Dasar cari kesempatan!”

“Cari kesempatan? Ogah. Dada rata gitu,” jawab Kiano sarkastik, “di luar sana masih banyak yang ‘bahenol’ dan mau ngasih gratis ke gue.”

Nara terdiam. Matanya panas, harga dirinya diinjak.

“Aku tidur di sini karena gak ada ranjang lain,” tambah Kiano.

“Kamu bisa tidur di sofa!” bentaknya.

“Tidur di sofa? Ogah. Bangun-bangun pasti encok.”

Nara menggertakkan gigi. “Kiano! Pindah! Sekarang!”

Kiano memunggunginya, memeluk guling. “Enggak. Kamu aja sana ke sofa.”

“Dasar cowok nyebelin!” geramnya.

Dengan geram luar biasa, Nara menghentakkan kaki ke lantai. Bibirnya komat-kamit, mengomel panjang. Akhirnya ia bangkit, mengambil bantal dan selimut, lalu keluar dari kamar. Membiarkan Kiano sendirian di dalam, tetap berbaring tenang seolah tak terjadi apa-apa.

Dan di balik pintu, dua hati sama-sama resah. Namun tak satu pun dari mereka tahu, bahwa malam ini adalah awal dari ribuan konflik—dan mungkin, juga ribuan harapan.

Terpopuler

Comments

Solaya

Solaya

liat judul n sinopsis kok gak asing, trus baca baca eh ternyata alurnya beda , stelah baca paragraf ni ane jadi kmbali brpikir, mirip

2023-10-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!