Terjerat Cinta Duda 2

Mama mengelus puncak kepalaku, " Baik-baik ya.. mama percaya kamu sudah dewasa. Sudah bisa memilih mana yang baik dan buruk. Jangan menyalah artikan kepercayaan yang sudah mama dan papa beri."

Aku hanya mengangguk. Mama keluar dari kamar, meninggalkan aku yang masih terpaku di kamar ini.

Aku selalu merasa beruntung bisa tinggal di keluarga ini. Mama dan papa memenuhi semua kebutuhanku dari atas kepala hingga ujung kaki. Mama bisa kujadikan teman. Selama ini aku selalu curhat dengan mama, apa pun masalah yang sedang terjadi padaku. Tapi apakah aku harus juga curhat dengan mama perihal Erik yang baru saja mengganggu pikiranku?

Erik.. Erik.. aku membatin menyebut namanya.

Malam sudah berganti pagi, burung-burung berkicau sambil berkejar-kejaran. Matahari mulai menyembul di balik tirai kamarku.

Hari ini aku kesiangan lagi. Mama pasti bisa marah kalau aku melewatkan shalat subuh begitu saja.

Ini semua gara-gara Erik, aku menyalahkan kekesalanku pada lelaki itu. Hanya karena memikirkannya aku jadi susah untuk tidur dan akibatnya aku bangun kesiangan.

Huft! Menyebalkan sekali pagi ku ini.

Aku sudah mandi dan sudah mulai merias diri, hanya riasan ringan yang cocok untuk anak kuliahan sepertiku.

Kuambil tas, tak lupa handphone dan laptop menjadi barang yang wajib ku bawa.

Ternyata mama dan papa sudah menunggu di meja makan.

" Selamat pagi mama.. papa.." Aku mencium pipinya bergantian.

" Uda shalat subuhkan?" Tanya papa tanpa mengalihkan wajahnya dari koran.

Aku tak menjawab hanya diam.

" Kok diam? Kelewatan subuhnya?" Tanya papa menatapku tajam.

" Maaf pa.. Zahra kesiangan bangun."

" Minta maaf sama Allah bukan sama papa dan mama. Shalat subuh itu wajib. Jadi jangan banyak alasan." Papa memulai sarapan pagi ini dengan ceramah.

Papa adalah orang yang sangat disiplin. Dan dari kecil aku memang terbiasa untuk melaksanakan shalat lima waktu. Waktu aku kecil dulu, papa akan menghukumku jika sampai ada satu saja waktu shalat yang terlewat. Tapi setelah aku dewasa papa hanya ngomel memarahi ku.

Aku mengambil sepotong roti dan segelas susu, dikeluarga kami tidak ada yang namanya sarapan pagi dengan nasi. Nasi hanya dimakan pada waktu siang dan sore.

Aku sudah selesai tak lupa berpamitan dengan mama dan papa.

Cup! Aku mencium pipi papa.

" Belajar yang benar, cepat nyusun skripsi biar segera di wisuda." Pesan papa.

" Iya pa.. doain ya..!"

" Setiap hari papa doain kamu tanpa perlu kamu minta." Ucap papa.

Papa dan mama mengantarku ke depan, pak Anwar sudah menunggu diluar.

" Ayo pak berangkat!" Aku masuk kedalam mobil.

" Pak Anwar sudah sarapan?" Tanya mama.

" Sudah buk." Jawab pak Anwar santun.

" Hati- hati ya pak bawa mobilnya!" Pesan papa pada pak Anwar.

Mobil yang di kendarai pak Anwar membelah jalanan ibu kota. Macet, sehingga perjalanan dari rumah ke kampus yang hanya lima belas menit menjadi tiga puluh menit.

Untuk mengusir rasa bosan, aku mengeluarkan handphone dari tas ku.

Dan ternyata ada satu pesan dari seseorang.

Seketika hati ku berbunga- bunga.

Erik, sepagi ini sudah membuat aku tersipu malu. Untungnya kami sedang tidak berhadapan.

Aku membuka pesannya,( Hai, tadi malam aku tak bisa tidur memikirkan wajah ayu di seberang sana. Jika berkenan bolehkah kita bertemu?)

Balas tidak.. Balas tidak..Balas tidak..

Dan akhirnya aku mengetik sebuah balasan untuk Erik ( Boleh, mau ketemu dimana?) Aku menekan tombol send.

Ini adalah pengalaman pertama ku dengan seorang pria. Biasanya aku akan membangun dinding yang tinggi ketika seorang pria akan mendekatiku. Nyatanya dengan Erik aku seperti memberi sinyal dan lampu hijau bahwa aku juga menyukainya.

Tring, satu pesan balasan dari Erik masuk.

( Kirim alamat ya.. nanti aku jemput.)

( Jangan jemput dirumah, aku sedang kuliah) balasku.

( Alamat kampus)

Aku pun mengirimkan alamat kampusku pada Erik.

( Kabari jika sudah waktu pulang)

Aku senyum-senyum sendiri, mungkin Erik adalah jodoh yang dikirim Allah untukku. Sepertinya Erik lelaki yang baik, ia seperti serius mendekatiku.

" Non, uda sampai."Suara pak Anwar mengagetkanku.

" eeehm..uda nyampe ya pak." Aku segera turun dan membawa semua barang perlengkapanku.

" Pak, nanti gak usah jemput ya.. aku ada janji ketemu sama teman." Pesanku pada pak Anwar.

Pak Anwar mengangguk dan segera berlalu.

***

Jam kuliahku sudah berakhir, tak lupa aku memberi kabar pada Erik untuk menjemputku.

Tin..tin.. Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku.

Mobil sport hitam terparkir di depanku. Putri tampak heran dan menyenggol bahuku, " Siapa Zah? Keren banget mobilnya."

Aku mengangkat kedua bahuku, sebagai tanda bahwa aku tidak tahu.

Seorang lelaki dengan gaya parlente keluar dari mobil sport warna hitam.

Dan... Wajah itu sukses membuatku menutup mulutku.

Erik menepati janjinya. Ia menghampiri kami berdua.

" Hai.." Sapanya. Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan kami.

Aku berdiri dan menyambut uluran tangannya.

" Hai juga." Sapaku.

Putri hanya terpelongo bagai kambing ompong. Tak menyambut uluran tangan Erik.

" Putri, dia mau salaman." Bisikku pada putri.

" Eh,P-Putri." Jawabnya Gugup.

Erik tersenyum manis bak gula jawa, itu bagiku.

" Yuk, mau langsung jalan?" Ajaknya.

" Kemana?" Tanyaku.

" Ke kafe kalau mau." Tawarnya.

Aku mengangguk, tak lupa mengajak Putri. Namun putri menolak dengan alasan mau mengantar mamanya berbelanja.

" Hati-hati, kamu baru kenal dengan dia. Jangan sampai sesuatu yang buruk menimpamu." Ia berbisik di telingaku sambil bergidik ngeri.

Aku mencubit pinggang sahabatku. Sebal rasanya karena ia menakut-nakuti ku.

" Bye.." Putri meninggalkanku.

Erik membuka pintu mobilnya. Aku masuk bak putri raja. Hidung ku berasa kembang kempis karena perlakuan lelaki satu ini.

Kini kami sudah berdua di dalam mobil. Kalau mengingat pesan Putri ada ketakutan pada diriku. Tapi jika mengikuti hati ku, ada perasaan bahagia.

Suasana masih sunyi. Erik masih fokus pada jalanan yang cukup padat siang ini. Sementara aku masih bingung untuk memulai percakapan ini dari mana.

" Ehem.. kok diam saja? Jangan takut aku bukan orang jahat." Canda Erik padaku.

Aku hanya tertawa kecil mendengar kalimat candaanya.

" Uda semester berapa Zah?"

" Semester akhir, tinggal nunggu wisuda." Aku masih bingung untuk memanggilnya. Mas Erik, bang Erik atau kakak Erik. Jadi kalau ngobrol dengannya seperti ngambang di akhir kata.

" Aku boleh manggil kamu siapa ya? Mas atau abang?" Aku memberanikan diri bertanya padanya.

" Terserah kamu, enaknya bagaimana. Erik juga boleh."

" Mas aja boleh?" Tanyaku

" Boleh dong." Ia menaikkan dua alisnya. Entah apa maksudnya.

Mobil berhenti di sebuah kafe.

" Yuk turun!" Ajaknya.

Aku mengikutinya berjalan di belakangnya. Aku masih kikuk karena ini adalah ngedate pertama dengan seorang laki-laki.

Ia menggandeng tanganku." Jangan berjalan di belakangku, kesannya kamu seperti berjalan sama om-om."

Kami cekikikan berdua, memecah kesunyian diantara kami berdua.

Kami mengambil tempat duduk di sudut.

Tak lupa memesan makanan dan minuman. Aku memperhatikan lingkungan disekitar kafe ini. Sejuk dan musik slow mengalun dengan lembut.

" Kenapa?" Tanyanya.

" Nyaman tempatnya mas." Jawabku singkat.

" Uda pernah kesini?"

Aku hanya menggeleng. Selama dua puluh tiga tahun aku tidak pernah mendatangi tempat seperti ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!