“Tak perlu kamu pikirkan hal itu. Pasti ada kemiripan dengan watak ayah atau ibunya yang mungkin jatuh kepadanya. Macam-macam saja pikiran kamu!" sedikit tinggi nada bunda berbicara.
“Jangan-jangan benar dugaan Bunda, pasti kamu bermain rasa dengan Dita,"tambah Bunda.
“Ah, itu kan perasaan Bunda saja. Perasaan Syahrel yang sebenarnya mana mungkin Bunda tahu,"Syahrel sedikit membela diri.
“Ingat nak, kita tidak sederajat dengan mereka.”
“Maksud bunda?” tukas Syahrel tegas.
“Kamu perhatikan keseharian kita, makanan kita. Kalau kamu menaruh hati pada Dita, mau kamu kasih makan apa?” bunda sedikit tertawa, lalu tersedak dengan batuknya.
“Aku kasih dia makan lem kayu. Biar sekali makan, seminggu baru terbuka lagi mulutnya, hahaha,"kelakar Syahrel.
“Bisa saja kamu mengelak,"jawab bunda sambil tersenyum.
“Mendiang Ayahlah yang memberi Syahrel sifat seperti ini.”
Bunda terdiam, mengenang masa lalu. Melihat senyum Syahrel membuatnya rindu akan sosok mendiang suaminya.
“Maaf Bunda, jadi bikin Bunda sedih,"Syahrel lebih mendekat di lutut bunda.
“Tak apa nak. Bunda jadi teringat mendiang ayah. Saat bunda melihat kamu berkelakar memang mirip dengan almarhum ayah.”
“Ya iyalah bunda, Syahrel kan anaknya...”
“Istirahatlah Bunda, hampir jam sebelas malam. Besok bunda harus beraktifitas lagi, jangan bunda pikirkan almarhum ayah, sudah tenang dia di alam sana,"tambah Syahrel.
“Sudah makan kau nak? Jangan biarkan perutmu kosong, angin malam sangat berbahaya bagi tubuh,"tanya Bunda memasukkan pakaian ke dalam almari.
“Syahrel belum lapar Bunda.”
Bunda mengenakan selimut, Syahrel masih terdiam dan bersandar pada dinding kamar. Mengapa seharian ini nama Dita selalu diucapnya? Apa Syahrel sedang jatuh cinta? Atau ini hanya perasaan sesaat? Matanya menatap kosong, diambilnya kamus Indonesia-Jerman.
Suka sekali Syahrel menghapal kosa katanya, mungkin karena mendiang ayah pandai berbicara bahasa asal lahirnya idealisme Nazi tersebut.
Dalam pikiran dan hatinya menjurus pada teka-teki sosok gadis berperawakan tinggi itu. Akalnya bermain, ambisi membutakan statusnya.
Dari dulu Syahrel memang selalu berpendapat bahwa cinta tak mengenal derajat. Bukan status atau derajat yang penting baginya.
Kini yang terbesit di pikiran Syahrel hanyalah bagaimana ia bisa jumpa Dita esok pagi. Malam ini, dia biarkan khayalnya berimajinasi tentang gadis itu. Lupakan sejenak hafalan bahasa Jerman dan dunia tulis menulisnya, tak sabar rasa hati menanti matahari terbit esok hari.
Dipaksanya mata untuk terpejam. Detik jarum jam memutar berganti menit, berlalu hampir satu jam.
Syahrel berusaha untuk memejamkan mata tetapi tak juga bisa tidur. Kebiasan Syahrel tidur di atas jam dua pagi lama kelamaan menjadi candu untuknya.
Tak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini bulan merayap lambat seolah hendak mengejeknya. Rasa hati ingin pagi itu cepat datang. Kodrat lelaki dewasa yang normal jatuh kepadanya.
Perlahan matanya terpejam.....
Tak ada angin tak ada hujan, siang itu tiba-tiba Dita muncul di kios Syahrel dengan pakaian santai; t-shirt oblong dan celana hot pants. Membuat mata lelaki normal ternganga dan jakun naik turun.
“Astaghfirollahal’adzim," hati kecil Syahrel berucap berkali-kali.
Mau nolak tapi ada di depan mata, dibilang rezeki tapi dosa. Keringat dingin mengucur keluar dari pori-pori, detak jantung berdebar tak menentu, aliran darah mengalir deras begitu cepat, jantung pun berpacu. Dahsyat!
“Ada majalah fashion?” suara Dita mengejutkan Syahrel.
Sejenak Syahrel terdiam.
“A, ada,"diambilnya majalah yang terpajang rapih di meja kios.
“Berapa harganya?" tanya Gadis itu
“Tiga puluh lima ribu," jawab Syahrel pasti.
“Kalau majalah sport berapa harganya?” Dita bertanya sambil memegang majalah yang dimaksud.
“Lima belas ribu,"jawabSyahrel singkat.
“Koran Sketsa Nusantara?”
“Dua ribu lima ratus.”
“Aku ambil tiga, jadi berapa?”
“Lima puluh dua ribu lima ratus.”
Dita memberikan selembar lima puluh ribuan, Syahrel mengambil uang kembalinya dari saku celana, jemarinya belum terangkat dari saku.
“Kembalinya ambil," seloroh Dita.
“Oh iya, nama kamu siapa?”tanya Dita sebelum beranjak dari kios.
“Syahrel.”
“Ada nomor yang bisa aku hubungi?”
“Ada, (021) 58179919,"begitu cepat Syahrel mengucapkannya.
“Ya sudah, kalau aku mau pesan koran biar aku hubungi ya?”
“Beres...”
Syahrel senang bukan kepalang, pucuk dicinta ulam tiba. Hari-hari berikutnya menjadi satu penantian untuk Syahrel, berharap Dita kembali lagi atau menghubunginya.
Satu dua hari tak nampak kedatngan Dita di kios. Syahrel menghibur diri, menjejalkan ratusan kemungkinan ke pikirannya.
“Mungkin lagi sibuk kuliah," keluh hatinya.
“Atau ada kesibukan lain?”kalimat itu selalu diulangnya.
Sesekali Syahrel memperhatikan jalan yang dilalui Dita saat ia pertama kali singgah di kios. Diulangnya terus, berharap sosok Dita datang kembali.
Tidak lama, handphone jadul miliknya berdering, sulit Syahrel mengangkat handphone karena *keypad-*nya sudah terpendam sehingga harus dicolok dengan ujung ballpoint atau lainnya.
“Halo, ini siapa?”Syahrel memulai pembicaraan.
Harapan itu muncul lagi, suara gadis di kupingya itu, benar suara Dita. Rupanya Dita bukan memesan koran atau majalah, melainkan meminta Syahrel menemani Dita membeli make up dan baju untuk ke kampus karena baju yang dikenakan sehari-hari sudah warnanya pudar warnanya.
Nanti sore mereka janji bertemu di kios koran dan berharap ini menjadi hari yang indah dan rasa cinta itu bersemi di kedua hati. Dita berpenampilan seperti mahasiswi kampus pada umumnya yang tidak kolot dengan style dan fashion terbaru.
Kali ini Dita mengenakan long t-shirt dipadu press jeans dan sepatu high heels, cantik memukau. Lain halnya dengan Syahrel, pakaiannya sederhana, jauh dari sederhana. Tetapi Dita tidak risih dengan penampilan Syahrel yang apa adanya.
Sesampainya di sebuah mall yang cukup familiar di kawasan Jakarta Selatan, tempat yang dituju Dita adalah fashion store dan toko sepatu. Usai berbelanja kebutuhannya, Dita menuntun Syahrel ke sebuah kafé mewah. Syahrel diajak makan malam ke tempat yang belum pernah ia datangi.
Dua lilin menyala di meja yang penuh ukiran ornamen candi dan pura. Dinding kafé berbalut nuansa air terjun, cahaya lampu bulat berwarna putih menggantung di atas air terjun tersebut. Romantis betul suasana saat itu. Mata mereka pun saling beradu pandang, detak jantung berirama tanda cinta. Dengan sedikit malu, tangan Dita menghampiri dan menggapai tangan Syahrel.
Sofa yang mereka duduki diabaikan karena Dita memilih duduk berdampingan dengan Syahrel. Syahrel mulai bercucuran keringat, belum pernah ia duduk sedekat ini dengan lawan jenis. Tubuh Dita yang harum membuat jantung Syahrel berdetak tak menentu.
Saat tubuh mereka merapat, genggaman tangan menjadi semakin erat. Bibir Dita perlahan mendekat dan terus berusaha mendekat. Bibir yang begitu merah teram itu menghampiri bibir Syahrel. Naluri lelaki normal Syahrel muncul.
Tanpa belajar lagi bibir Syahrel pun mendekat ke bibir Dita. Jarak antara kedua bibir sebatas satu sentimeter, suasana kian bertambah romantis dan hangat. Sekonyong-konyong suara wanita tua merusak suasana, suara itu tak asing, seperti suara bunda memanggil Syahrel. Bukan hanya itu, sentuhan tangan kasar pun terasa di pundak Syahrel.
“Rel, Rel, bangun Rel, sudah masuk waktu subuh!" suara bunda sontak membuyarkan mimpi indah Syahrel.
Syahrel pun terbangun seraya mengucap istighfar dan doa bangun tidur. Terlalu asyik rupanya ia dengan mimpinya.
Subhanallah, begitu indah mimpi yang diberikan Tuhan. Andai ini benar terjadi, seperti inikah rasanya nanti?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
BELLY
cuma mimpi,,,,,,!!!
2021-01-26
0
reni
cuma mimpi ya ..😁pantes ditulis bukan 18+
sampai disini ..sudah tenggelam dg permainan katamu thor..
2020-08-11
0
Kadek
rate 5 q kasi kk
2020-07-07
0