Ada seorang polisi yang datang ke ruangan petugas Puskesmas yang didatangi oleh Nur Rahman. Polisi tersebut menanyakan kepada Nur Rahman apa penyebab petugas Puskesmas tersebut menangis. Nur Rahman bingung mau berkata apa kepada polisi tersebut, tapi petugas Puskesmas langsung menegakkan badannya dan meminta kepada polisi tersebut untuk ikut dengannya menuju ke rumah yang pernah ditinggali oleh keluarga kecilnya dulu sebelum bercerai. Tentu saja polisi itu menolak karena ia mendapat perintah dari atasannya untuk mengawal jenazah Rendi sampai ke rumahnya.
“Mohon maaf, Pak. Nanti saya dimarahi oleh Kapten Suhermanto kalau sampai saya melalaikan tugas ini!” protes petugas tersebut.
“Siapa? Kapten Suhermanto? Biar saya hubungi beliau dulu, ya!” potong Nur Rahman.
Polisi tersebut tercengang karena pemuda di depannya tiba-tiba menawarkan diri untuk menghubungi atasannya. Nur Rahman sengaja menyalakan loudspeaker agar percakapannya bisa didengar oleh polisi di depannya.
“Assalamualaikum …,” sapa Nur Rahman.
“Waalikumsaam. Ada apa, Nur?” jawab dari seberang.
“Mas, sampean kan mengirim dua anak buah sampean di Puskesmas untuk mengawal jenazah korban kecelakaan ke rumahnya?” ucap Nur Rahman.
“Iya, betul. Kenapa, Nur?” sahut suara dari seberang yang ternyata memang atasan polisi itu.
“Begini, Mas. Kebetulan korban kecelakaan itu adalah teman saya sendiri. Dan, saya rasa saya dan teman-teman hanya butuh satu polisi saja untuk mengawal jenazah teman kami sampai di rumahnya. Dan kebetulan juga petugas Puskesmas di sini butuh tenaga polisi yang bernama … siapa, Pak?” tanya Nur Rahman sambil menundukkan badannya kepada polisi yang sedang berdiri di sebelah petugas Puskesmas itu.
“Kevin, Mas,” sahut polisi itu.
“Kevin namanya. Kevin ini sangat dibutuhkan oleh petugas Puskesmas untuk mengantarnya ke TKP di dekat Intermart di dekat sini,” jawab Nur Rahman santai.
“Oke, nggak apa-apa. Saya turut berduka cita atas kematian temanmu. Apa perlu saya kirim personil lagi?” tanya atasan polisi itu.
“Sepertinya begitu, Mas. Butuh tim forensik juga,” jawab Nur Rahman.
“Oke. Habis ini saya kirim petugas ke sana. Ada lagi, Nur?” tanya pria itu.
“Ada, Mas. Keluarga teman saya ini belum tahu berita tentang kecelakaan ini. Kami tidak ada yang tega menyampaikannya kepada mereka. Mungkin Mas bisa membantu?” ujar Nur Rahman.
“Oke. Biar mbakmu saja yang saya kirim ke sana. Kebetulan alamat korban sudah saya kantongi,” jawab pria itu.
“Baiklah, Mas. Terima kasih banyak, ya?” ucap Nur Rahman.
“Oke. Jangan ditutup dulu! Matikan loud speakernya, ya!” ucap pria itu.
Nur Rahman pun mematikan loud speakernya dan pria di ujung telepon masih terhubung dengannya.
“Kamu menggunakan kemampuanmu lagi, ya?” tanya atasan polisi tersebut dari ujung telepon.
“Enggak juga sih, Mas! Tapi kematian Rendi ini yang bikin saya bisa seperti itu lagi,” sahut Nur Rahman.
“Baguslah kalau begitu. Mas sih berharap kamu kembali menggunakan kekuatanmu, Nur. Karena dengan begitu kamu bisa membantu banyak orang,” ujar pria itu.
Nur Rahman tidak menyahut.
“Sudah ya, Mas! Assalamualaikum,”ucap Nur Rahman.
“Waalaikumsalam,” jawab pria itu sedikit kecewa.
Polisi yang bernama Kevin dan pria bernama Makhrus itu cukup terkejut karena pemuda di depannya itu ternyata adalah kerabat Kapten Suhermanto yang merupakan orang yag dikenal cukup penting di kota kecil tersebut.
“Gimana, Pak Kevin?” tanya Nur Rahman pada polisi itu.
“Iya, Mas. Saya siap mengantar Pak Makhrus ini ke rumah lamanya,” jawab Kevin yang usianya hanya sedikit di atas Nur Rahman.
“Makasih banyak ya, Pak,” jawab Nur Rahman.
“Makasih banyak, Mas Nur!” ucap Pak Makhrus.
“Sama-Sama, Pak. Saya juga berterima kasih kepada Bapak karena telah merawat jenazah teman saya. Yang sabar ya, Pak! Anak Bapak saat ini sudah tenang,” jawab Nur Rahman.
“Iya, Mas Nur,” sahut Pak Makhrus dengan perasaan sedih.
Tentu saja Kevin yang tidak tahu menahu apa yang sedang diperbincangkan oleh kedua orang di depannya itu menjadi kebingungan. Ia tidak berani bertanya saat itu karena ia takut salah berbicara di depan Nur Rahman. Ia khawatir pemuda itu akan menyampaikannya kepada Pak Suhermanto. Ia pikir lebih ia menjalankan tugasya saja dulu. Toh, nanti ia pasti akan tahu juga.
Nur Rahman pun meninggalkan Pak Makhrus dan Kevin menuju ke ruangan jenazah. Ia ingin menemani ketiga teman kantornya di sana. Sementara itu Pak Makhrus dengan ditemani Kevin pun langsung berangkat menuju ke bangunan rumah lamanya untuk mencari jenazah putrinya. Pak Makhrus tidak ragu sedikitpun dengan apa yang dikatakan arwah putrinya melalui media Nur Rahman tadi, karena banyak rahasia yang hanya diketahui oleh dia dan putrinya yang keluar dari mulut Nur Rahman tadi. Sedih dan sakit benar-benar ia rasakan saat itu, tapi ia harus menguatkan diri agar bisa mengungkap kasus pembunuhan anaknya tersebut. Ia ingin mantan istri dan kekasihnya itu ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
*
Sekitar satu jam kemudian ada telepon masuk ke Ponsel Nur Rahman. Ternyata dari istrinya Pak Suhermanto.
“Assalamualaikum … Ada apa, Mbak?” sapa pemuda itu dengan sopan.
“Waalaikumsalam … Nur, ini aku lagi sama ibunya Rendi dan adik-adiknya,” jawab perempuan dari seberang sambungan telepon.
“Iya, Mbak,” balas Nur Rahman.
“Nak Nuuuuuur …. Ibu tidak salah dengar, kan? Ibu Polwan ini berbohong, kan?” tanya ibunya Rendi dengan suara tangis yang sangat memilukan.
Selama beberapa detik Nur Rahman tidak mampu berkata-kata. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tak kuasa mengatakan yang sebenarnya kepada ibunya Rendi. Suara tangisan adik-adik Rendi membuat pemuda itu semakin tak kuat untuk berbicara.
“Siapa, Nur?” tanya Pak Ibnu yang duduk di sebelahnya.
Nur Rahman tidak menyahut. Ia kemudian menyalakan loud speaker Ponselnya sehingga suara tangisan ibunya Rendi dan adik-adiknya membuat Pak Ibnu dan teman-teman Nur Rahman langsung ikutan sedih dan menangis.
“Nak Nur … Di mana Rendi, Nak?” tanya ibunya Nur Rahman dengan nada sedih.
“Bbbuuuu … Ren-di su-dah me-ninggal ….” Akhirnya Nur Rahman menguatkan hatinya untuk mengatakan yang sebenarnya kepada ibu dari sahabatnya itu.
“Innalillahi wainnailaihi roojiuuuun …,” jawab ibunya Rendi dengan suara bergetar.
Nur Rahman dan ketiga temannya itu pun tak kuasa membendung air matanya yang sebelumnya sudah terkuras habis. Mereka tidak bisa membayangkan betapa terpukulnya hati ibunya Rendi dan adik-adiknya saat itu.
Krompyang!!
Tiba-Tiba terdengar suara benda terjatuh dari dalam ruang jenazah yang membuat Nur Rahman dan ketiga temannya terkejut dan bertanya-tanya. Mereka pun berdiri dari duduknya dan saling menoleh satu dengan lainnya. Tidak ada yang berani bertindak saat itu. Karena khawatir ada apa-apa di dalam sana, Nur Rahman pun memberanikan diri membuka pintu ruang jenazah tersebut, sedangkan ketiga temannya berdiri di belakangnya dengan sedikit perasaan was-was.
BERSAMBUNG
Jangan lupalike dan komentarnya biar aku tahu ada berapa pembaca yang nungguin up novel ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Minartie
bagusss
2025-02-17
0
Bambang Setyo
Apa iya rendi jadi arwah penasaran.. Apa dia matinya emang sengaja dicelakain orang...
2023-02-03
1
rajes salam lubis
mantap bener bener ah
2023-01-30
1