First Wife'S Mission
Pinggang Niana mulai pegal karena duduk terlalu lama di salah satu kursi di ruang makan itu. Kecemasan pun mulai melanda dan membuatnya tak betah jika hanya berdiam diri lama-lama. Ia pun memutuskan untuk bangkit, lalu meraih ponsel yang tergeletak di sisi kiri meja makan untuk memastikan kembali apakah Endri—suaminya—sudah memberikan kabar. Namun, ketika layar mulai menyala oleh sentuhan ibu jarinya, hanya harapan kosong yang Niana punya. Endri masih tak menjawab pesan darinya.
Sementara hari memang sudah semakin larut malam. Sebentar lagi waktu menunjukkan pukul sepuluh. Siapa yang tidak gelisah saat sang suami tercinta yang ditunggu-tunggu sejak tadi justru belum kunjung tiba? Padahal Niana sudah memasak sendiri beberapa hidangan setelah pulang dari kantornya. Lantas, di mana sebenarnya Endri berada? Pesan dan telepon yang Niana lakukan untuk menghubungi suaminya itu pun tidak mendapatkan respons sama sekali.
Hela panjang napas Niana terdengar bersamaan dengan pemberhentian langkahnya di dekat jendela kaca rumah itu yang belum tertutup tirai secara sempurna. Matanya yang mulai terasa pedas karena mengantuk berusaha menerobos kegelapan, mencari-cari apakah sudah ada tanda-tanda kedatangan sang suami. Namun, hanya kesenyapan yang terasa. Gerbang rumah masih tertutup rapat. Belum terdengar suara mesin mobil yang Niana kenal. Rupanya, Endri masih ingin membuat hati Niana semakin gusar.
"Kamu di mana sih, Mas?" Gumam gemetar keluar dari bibir Niana yang lambat-laun berubah pucat. Entah karena lelah, dingin, atau kecemasan yang membuatnya tampak seperti orang sakit. Oh, atau mungkin karena kesepian yang mulai terasa menyiksanya saat ini?
"Nyonya?" Nur, gadis pembantu berusia dua puluh satu tahun itu keluar dari kamarnya yang memang berada di lantai satu. "Nyonya belum tidur?"
Niana sempat tersentak. Ia lantas memutar badannya, Ketika menyadari kehadiran Nur. Senyuman masygul terulas di bibirnya yang manis dan sedikit sensual. Setelah itu, ia memberikan anggukan untuk mempertegas jawaban atas pertanyaan dari asisten rumah tangganya tersebut.
"Belum, Nur. Mas Endri belum pulang. Kamu terganggu dengan keberadaanku, Nur?" tanya balik Niana.
Nur mengibaskan tangan kanannya sembari tertawa. "Ya tidaklah, Nyonya. Yang punya rumah ini kan Nyonya Niana dan Tuan Endri, justru saya yang mungkin selalu mengganggu Nyonya dan Tuan." Tawa lanjutan mengakhiri ucapan yang ia tujukan untuk menjawab pertanyaan konyol dari Niana.
"Yang punya rumah ini ya Mas Endri, Nur, bukan aku, Sudah! Lebih baik kamu tidur saja, jangan memedulikan aku, Nur. Aku mau menunggu sampai Mas Endri pulang dulu!"
"Saya minum dulu deh, Nyonya." Nur tertawa lagi. "Nyonya juga harus cepat-cepat tidur. Tuan Endri kan seorang pengusaha, pasti beliau sibuk sekali, Nyonya. Jadi, Nyonya tidak perlu khawatir!"
"Nanti aku juga tidur kalau sudah mengantuk, Nur! Kamu cerewet sekali seperti ibuku lho!" Niana menggeleng-gelengkan kepalanya setelah berucap demikian. Meski begitu, ia tidak bermaksud untuk marah besar karena Nur yang nyaris seperti Rita—ibunya, yang begitu bawel dan terkadang menyebalkan. Mungkin karena sedang sedikit kesal dan cemas, sehingga Niana tidak ingin banyak berbicara.
Sementara itu, Nur justru masih cengengesan. Ia tidak tersinggung sedikit pun atas apa yang Niana ucapkan. Niana memang sesekali bisa bersikap demikian. Terkadang tegas dan galak, tetapi tak jarang Niana bisa bersikap lebih seperti sanak-saudara yang begitu menjaga Nur tanpa sekalipun memandang status. Niana memang majikan yang baik, oh tidak, melainkan wanita yang benar-benar baik. Nur sangat mengagumi nyonya majikannya itu. Tak hanya mampu merangkap sebagai ibu rumah tangga dan sering kali membantu pekerjaan Nur di dapur, Niana pun tidak pernah mengeluh ketika kondisi mengharuskannya untuk tetap bekerja.
Belakangan ini perusahaan properti milik Endri mengalami kesulitan finansial. Yang akhirnya membuat Niana harus menunda lagi rencana untuk keluar dari pekerjaannya, sementara ia bekerja sebagai salah satu staf HRD di sebuah perusahaan manufaktur. Setidaknya, Niana masih bisa menyisihkan uang untuk dirinya sendiri sembari menunggu perusahaan Endri pulih kembali. Dan ia tidak keberatan untuk itu. Artinya ia pun juga harus menunda soal program kehamilan. Bisa dikatakan bahwa Niana adalah wanita sekaligus seorang istri yang cenderung menuruti apa kata suami.
Jadi, bagaimana Nur tidak akan mengagumi sosok nyonya majikannya itu? Karena tidak hanya pantas dijadikan sebagai teladan, Niana pun begitu dermawan dan sering memberikan uang bonus untuk Nur. Yang tentu saja membuat Nur akan semakin sayang pada sang majikan yang bertaut usia sembilan tahun lebih tua darinya tersebut.
Kurang lebih satu menit setelah Nur kembali masuk ke dalam kamar, Niana mendengar deru mesin mobil yang tidak asing. Endri telah datang! Niana yang awalnya memilih untuk memandang gerbang dari balik jendela kini bergegas melangkah keluar. Setibanya di teras, Niana menatap sekuriti yang bertugas tampak sibuk membukakan pintu, sementara Endri mengemudikan mobilnya untuk memasuki area dalam rumah berlantai dua itu. Garasi mobil menjadi tempat pemberhentian Endri, yang kemudian segera turun dan berjalan ke arah pintu utama di mana Niana berdiri tak jauh dari sana.
"Mas, ada lembur malam ini?" tanya Niana sembari meraih tas dan blazer dari tangan Endri. "Kenapa kamu tidak memberikan kabar padaku? Aku mencemaskanmu, Mas."
Endri tersenyum. Senyum yang aneh dan cenderung masygul. Paras di wajahnya pun tampak kebas. Ada tanda kegelisahan yang sepertinya sudah sulit untuk ia sembunyikan. Mengapa pula, Niana masih terjaga dan justru menunggunya yang sebenarnya tidak ingin pulang pada malam hari ini? Apalagi di saat ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk bertemu sang istri. Namun, sejak tadi perkataan hati kecilnya memberikan dorongan agar ia tetap kembali.
Kembali untuk menyampaikan sesuatu yang belakangan ini merisaukan hatinya. Sebuah kebenaran yang seharusnya Niana dengar, atau bahkan terima. Meski pada akhirnya akan ada risiko rumit perihal luka. Namun, Endri sudah tidak bisa berkilah apalagi lari dari kenyataan yang terjadi karena kesalahannya sendiri.
"Mas, kok kamu diam saja?" Niana kembali berucap yang kali ini bersamaan dengan rasa penasaran. Tentang mengapa Endri tidak memberikan kabar, sekaligus mengapa wajah Endri tampak gelisah. Niana merasa ada yang tidak beres. Mungkinkah perusahaan Endri semakin kesulitan? Atau adakah masalah serius lainnya yang sanggup membuat Endri sampai dipenuhi rona kecemasan?
"Ni-niana ...." Endri menelan saliva. Gemetar, ia meraih kedua jemari milik istrinya. "A-ayo masuk. A-ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Niana menatap bingung dalam sesaat. Namun, ia segera menganggukkan kepala. Rasa penasaran membuatnya ingin cepat-cepat masuk ke dalam dan mendengarkan cerita dari Endri. Siapa tahu ia bisa membantu segala kesulitan yang mungkin sedang mencengkeram hidup suaminya itu.
Mereka berjalan beriringan, dengan posisi Niana berada di depan. Pintu pun ditutup rapat, saat keduanya sudah berhasil melesakkan diri ke dalam ruang utama dari rumah besar berlantai dua itu. Niana dan Endri lantas duduk secara berdampingan di salah satu sofa empuk yang tertata rapi sebagai bagian dari ruang tamu. Tempat itu lebih cepat digapai daripada kamar yang berada di lantai dua dan pastinya membutuhkan waktu lebih lama karena harus menaiki tangga.
Sementara Niana yang menunggu dengan tenang, Endri justru celingak-celinguk, memastikan apakah Nur sudah benar-benar tidur. Ia tidak ingin pembicaraannya dengan Niana didengar oleh siapa pun terlebih dahulu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Auliarosyida
yg begini ini ygbikin perempuan ngak boleh lemah.meskipun harus tetap lembut bukan berarti harus manja
2023-01-07
1
semangat
2023-01-06
0
uty
yeay update novel baru lgi .... yg lancar ya Kk othor update nya
2022-12-16
1