Degup jantung Adara mendadak kencang. Napasnya kian memburu. Terlebih saat lengkingan itu kembali terdengar. Layaknya pekikanpada pengeras suara beroktaf tinggi tanpa jeda. Suara itu kembali membungkam raut keingintahuan para jiwa yang mendengarnya. Selang beberapa detik setelahnya, debum menyahut. Diiringi tanah yang mulai retak dengan cepat. Kicau burung mulai saling bersahut-sahutan entah dari mana datangnya. Cara terbang mereka pun sudah seperti pemabuk, hingga pada akhirnya sebagian ada yang jatuh karena kehilangan
keseimbangan.
Adara mendelik. Melihat ubin yang dia pijaki mulai retak perlahan. Pandangannya mengedar di mana dia bisa melihat banyak retakan berbagai ukuran mulai terbentuk. Debum keras kembali tercipta dan membuat gadis ini memalingkan fokus ke satu arah.
Adara ingat sekali gunung yang membisu di salah satu sudut kotanya adalah gunung mati. Namun,yang dilihatnya detik ini amat berbeda. Menakutkan. Cairan merah memuncrat dari ujung kerucut gunung itu. Beberapa kali dan membentuk aliran sungai merah menyala. Luap asap mengepul dan mulai memenuhi langit kota.
Kekhawatiran Adara semakin bertambah tatkala tanah mulai goyah. Terasa bergeser dengan pelan. Dia masih bisa menjaga keseimbangan saat ini. Namun,untuk goyahan selanjutnya, Adara tak mampu lagi menahan tubuhnya. Tanah seakan bergoncang hebat—naik-turun—dan merusak semua hal yang berada di atasnya. Dinding mulai
retak dan runtuh sedikit demi sedikit, sementara cairan lava yang sejak tadi membentuk aliran sungai, kini mulai mengalir ganas menuju ke tengah kota di mana banyak pemukiman penduduk dan gedung utama pemerintahan di sana—termasuk sekolah Adara.
“Apa yang terjadi?”gumam gadis tersebut.
Teriakan histeris dan raung tangisan mulai bergejolak. Adara tak dapat mengelaknya. Namun,satu sisi pemikirannya
mulai mencemaskan Nancy.
“Di mana Nancy?” batin Adara.
Langkahnya terhuyung. Adara mulai mencoba berlari menuju kelasnya. Namun, sesuatu menghalanginya. Bukan sebuah hal kecil, tapi besar. Amat besar. Gedung kelasnya mendadak ambruk tepat sepuluh meter dari posisi Adara sebelum dia menghentikan langkahnya dan memandang nyalang ke sana dengan posisinya yang telah tersungkur
karena menghindari reruntuhan. Tangis dan teriak mulai merasuk ke lubang telinganya, menginvasi secara cepat langsung ke otaknya.
“TIDAK!!!”
Namun, dia tidak melihat Nancy di sana. Pandangannya seperti berpencar dan saling mencari keberadaan gadis berambut cokelat itu. Lagi-lagi sesuatu menghalangi Adara. Goncangan tanah memang tak lagi melanda. Namun,di salah satu arah, sungai merah menyala membanjiri kota perlahan.
Adara bangkit. Dia sadar jika dirinya terkunci di tempat ini. Sekelilingnya telah rumit dengan runtuhan gedung sekolahnya. Hanya ada satu celah di mana dia bisa kabur sebelum lava itu melahap dirinya.
Dalam tangisnya yang tertahan, gadis bersurai hitam itu mulai merangkak menaiki anak tangga yang masih berbentuk. Sampai dirasanya jika tempatnya berpijak kini adalah salah satu bagian dari rangkaian gedung bertingkat di sekolahnya yang masih tersisa. Adara menelisik ke belakang, melihat cairan merah menyala disertai panas mulai melahap reruntuhan gedung.
“Apa yang harus kulakukan? Kenapa jadi seperti ini?” gumamnyakalut.
Adara masuk ke sebuah ruangan. Dia terdiam. Ruang perpustakaan yang mana salah satu sisinya yang menghadap ke luar telah runtuh. Bola matanya bisa melihat lautan lava panas telah melahap kota. Dia beringsut mundur bersama perasaannya yang sudah bercampur-aduk. Sebuah galon air minum yang bertengger di dispenser terpaksa Adararaih dan digunakan untuk mengguyur seluruh tubuh.
Gadis itu tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang. Dia melakukan semuanya secara reflektif. Adara bahkan tak sadar alasan dia mengguyur tubuhnya dengan galon berisi air setidaknya satu per tiga bagiannya itu. Refleksnya kembali mencerna keadaan sekitar. Adara mencoba meraih beberapa rak buku yang menempel di dinding dan berakhir dengan duduk di bagian paling atas dari rak kayu tersebut.
Adara benar-benar kacau. Otaknya tak bisa berpikir jernih. Bulir air mata yang sejak tadi menerjuni pipinya ia biarkan mengalir begitu saja. Matanya sembab memerah, sambil melihat ke arah luar di mana lautan lava mulai meninggi. Adara meringkuk pasrah. Berdoa dalam batinnya adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan sekarang.
***
“Ah, sial! Kenapa terputus, sih?” gerutu Adnan saat sambungan teleponnya terputus. Matanya menangkap sebuah bus yang baru saja datang. Dia segera naik dan duduk di salah satu kursi dalam bus tersebut.
Bola matanya sesekali memandang ke berbagai arah, mencerna segala hal yang dilakukan oleh penumpang bus. Ada yang tertidur pulas, bermain game di ponselnya, dan adapula yang asyik mengobrol. Tidakjarang, Adnan menangkap keluh-kesah dan juga gerutuan penumpang terhadap sesuatu yang baru saja membuatnya mendengkus kesal pula.
“Sinyal di sini seringkali putus secara mendadak. Sial! Aku jadi tak bisa menghubungi atasanku kalau seperti ini terus!”
“Apa aliansi barat yang memutus salurannya? Beberapa tahun belakangan ini mereka seperti sedang memusuhi kita.”
“Jika mereka memutus salurannya, apa kau pikir mereka sudah membuat saluran sendiri, huh? Jalur kabel optik dunia telah saling berhubungan. Mana mungkin mereka memutus jalur yang nantinya akan membunuh mereka sendiri!”
“Apa yang terjadi selama empat tahun di sini?” pikir Adnan aneh.
Kedua netranya melempar pandangan keluar jendela bus. Memandangi jalanan kota dan gedung bertingkat di sekitarnya. Fokusnya juga sempat tertuju pada sebuah gunung di salah satu sisi kota. Cukup jauh jaraknya dari posisi bus yang dia naiki saat ini. Adnan kembali melihat arlojinya. Sebuah perasaan aneh tiba-tiba menggelayuti pikiran. Dadanya terasa sesak.
“Mau ke mana?” tanya seorang pria yang baru saja naik bus dan duduk di sebelah Adnan. Keriput jelas menampak pada raut wajahnya. Dia tersenyum ramah.
“Kantor catatan sipil,” jawab pemuda bersurai hitam itu—membalas senyum si pria tua.
Hening sejenak. Helai surai Adnan sesekali terhempas anggun diterpa embusan angin yang menyeruak dari jendela yang sedikit terbuka. Dia menarik napas panjang sejenak. Menikmati udara yang bahkan tidak pernah dia hirup sejak empat tahun yang lalu. Sebuah peristiwa membuatnya harus pindah ke tempat yang berbeda dan menempa segala sesuatu di sana. Pendidikan, serangkaian kehidupan, dan bahkan karir. Namun, hanya ada satu yang membuatnya harus kembali ke kota ini. Gadis itu.
“Kantor catatan sipil cukup jauh dari sini. Kau harus menaiki kereta untuk sampai ke sana.” Pria tua itu kembali berucap. “Tapi tadi pagi kulihat di berita, stasiun menghentikan aktivitasnya sementara.”
Adnan menoleh kepada pria itu. “Kenapa?” tanyanya penasaran.
“Entahlah. Pria tua sepertiku sangat jarang mengerti berita di televisi, Nak. Banyak bencana telah meluluhlantakan Bumi selama beberapa tahun belakangan ini. Banjir, gunung meletus, gempa bumi. Dan bahkan ada isu yang bermunculan kalau aliansi barat mendeklarasikan perang,” ujar pria itu. “Ah, pria tua sepertiku ini lebih baik
mati sekarang saja daripada harus merasakan kematian karena perang ataupun bencana.”
“Tapi ... kudengar kota ini baik-baik saja.”Adnan bergumam sembari sesekali mengedarkan pandangan.
“Aku menghidu anyir sejak tadi pagi. Ini apa, ya, artinya?”
Pria itu menggumam sambil menyisir helai jenggot putih dengan jemarinya. Sementara Adnan, dia kembali terdiam sambil memikirkan ucapan pria tua itu. Ya, ucapan yang dilontarkan orang yang sudah lanjut usia biasanya benar dan akan menjadi kenyataan. Firasat buruk mungkin saja telah pria itu rasakan. Begitu pun Adnan yang kini merasa cemas. Kecemasannya semakin meningkat tatkala bus berhenti mendadak dan menyurai lamunannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments