Kau sudah menjebak ku!
Jadi selama ini, kau sama sekali tidak pernah berniat untuk memberikan posisi itu padaku?
Setelah semua yang aku lakukan, dan ini adalah balasan yang kau berikan?
Aku benar-benar telah ditipu.
Hendry beradu tatap dengan George. Pria itu menodongkan pistol ditangannya tepat ke arah kening Hendry.
Tatapannya tajam. Hendry tak kalah sinis menatapnya. Ada gurat kecewa bercampur marah yang menjadi satu, menatap pria itu penuh emosi. Tapi Hendry benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa sekarang ini.
"Terima kasih atas kerja kerasmu. Tapi aku benar-benar sudah tidak membutuhkanmu lagi." Mulut George komat-kamit tanpa suara. Namun walau begitu, Hendry bisa membaca gerak bibirnya dengan sangat jelas.
Pria itu mengeluarkan smirk-nya, membuat Hendry terbelalak mendapati kalimat tak terduga yang terlontar dari mulutnya.
Jadi… dia sengaja melakukan ini untuk mengorbankan ku? Tapi kenapa? Kenapa harus aku?
Dorr!
Hanya perlu satu tarikan yang mengarah tepat ke keningnya. Dan dalam sekejap, Hendry tersungkur di tanah dalam keadaan bersimbah darah.
Rasa sakit luar biasa yang tak pernah ia bayangkan akan ia rasakan begitu membuatnya tak berdaya.
Dorr! Dorr!
George kembali menarik pelatuk pada pistolnya berulang kali hingga membuat tubuhnya semakin tak berdaya dan darah semakin banyak keluar.
Hendry terkapar. Kesadarannya terus berkurang seiring dengan banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya.
Hendry masih bisa melihat George samar-samar. Pria itu berbalik dan melangkah menghampiri Gerson seolah apa yang baru saja dilakukannya bukanlah hal besar.
Aku tidak bersalah.
Aku di jebak.
Sejak awal aku tidak berniat untuk membunuhnya.
Apakah tidak ada satupun di antara kalian yang mau bicara yang sejujurnya?
Tidak adil!
Ini semua tidak adil.
Kenapa harus aku yang menanggung semuanya, padahal aku tidak bersalah?
Aku… bahkan tidak tahu kalau pistol yang diberikannya berisi peluru sungguhan.
Pa… ma… kenapa aku harus mengalami ini semua?
Kenapa aku harus berakhir seperti ini?
Andai saja aku tidak menerima beasiswa itu dan tetap tinggal dengan kalian di desa, maka semua ini tidak akan terjadi…
Andai saja, aku bisa mengubah semuanya, maka aku akan mendengarkan ucapan kalian…
Aku, benar-benar menyesal…
Pandangannya semakin kabur, dan napasnya semakin menipis hingga membuat Hendry tak lagi dapat merasakan seluruh tubuhnya.
Dalam hitungan detik berikutnya, ia benar-benar hanya bisa melihat kegelapan, dan kesadarannya benar-benar lenyap.
Pats!
Ia membuka kedua matanya spontan. Tubuhnya refleks bangun dengan posisi duduk.
Keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhnya, wajahnya pucat pasi, serta napas dan jantungnya berpacu tak karuan.
"Sayang! Ada apa?" Suara seorang wanita menyita perhatiannya. Anak itu menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati seorang wanita dewasa yang berjalan menghampirinya dengan wajah cemas.
Ia duduk di tepi ranjang dan memeluknya tanpa permisi. "Kau mimpi buruk lagi?" tanyanya dengan suara lembut.
Apa ini? Aku masih hidup? Bukankah aku sudah mati?
Ia mendongak, beradu tatap dengan wanita yang memeluknya. Kaget dengan wajah asing yang dilihatnya, ia spontan mendorong tubuh wanita itu hingga lepas dari pelukannya.
"Kau kenapa, sayang? Kenapa terkejut begitu?"
"K-ka—"
"Isaac, kau sudah sadar?" Seorang anak laki-laki muncul dari pintu masuk, membuat perhatiannya seketika beralih padanya.
Apa ini? Aku dimana? Siapa mereka?
Ia menatap kedua orang dihadapannya dengan wajah bingung.
Anak laki-laki yang dilihatnya berjalan menghampiri tempatnya berada.
"Aku kemari untuk memastikan kau baik-baik saja. Aku juga ingin minta maaf karena sudah membuatmu terluka, aku sungguh menyesal…" lirihnya.
Anak itu mengerutkan keningnya. Wajah anak laki-laki yang baru saja berucap itu tampak familier.
"George, kau sungguh kakak yang baik. Mama bangga padamu karena kau mau meminta maaf lebih dulu," kata wanita itu sambil tersenyum. Tangannya mengusap puncak kepala anak laki-laki yang dilihatnya.
George? Wajah dan namanya… kenapa sangat mirip dengan si brengsek itu?
Si brengsek yang sudah membunuhku.
"Isaac, kenapa kau hanya diam saja? Apakah kau tidak ingin memaafkan kakakmu?" Wanita itu kembali berucap membuatnya seketika tersadar dari lamunannya.
Apa katanya? Isaac? Kenapa dia bicara seperti itu sambil menatap ke arahku? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Anak itu menunduk. Otaknya berusaha memproses setiap kejadian yang dialaminya. Alih-alih menemukan titik terang, ia malah mendapati pemandangan mengejutkan ketika melihat kedua tangan besarnya berubah jadi tangan mungil seorang anak berusia lima tahun.
Tanganku… apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyusut?
Sepertinya aku berhalusinasi!
Atau jangan-jangan ini semua adalah mimpi?
Tidak mungkin tanganku tiba-tiba menyusut jadi kecil 'kan?
Tidak masuk akal!
Isaac benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ekspresinya yang seperti itu berhasil membuat George dan Donna cemas.
"Isaac, sayang? Kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu pucat?" Donna mengulurkan tangannya, menempelkan punggung tangannya pada kening putra kecilnya yang entah kenapa terlihat aneh.
"Apakah kau demam? Wajahmu tampak pucat." George menambahkan dengan wajah yang tidak kalah cemas.
"A-aku dimana? Kalian siapa?" Hanya kalimat itu yang mampu terlontar dari bibirnya.
Donna dan George tertegun mendengar penuturannya barusan.
"Apa yang kau bicarakan sayang? Tentu saja kau di rumah. Apakah kau tidak ingat dengan mama dan kakak?" tanya Donna.
"Mama? Kakak?" Isaac mengerutkan keningnya.
"Ada yang tidak beres," gumam Donna dengan wajah yang kian panik. Wanita itu langsung berteriak memanggil pria yang menjadi suaminya. Meminta laki-laki itu untuk datang ke tempatnya berada sekarang.
"Ada apa? Kenapa kau berteriak seperti itu, sayang?" tanya Gerald dengan wajah cemas. Ia langsung datang begitu mendengar suara teriakan istrinya yang memintanya untuk segera datang.
"Cepat kemari, sayang. Ada yang tidak beres dengan putra kecil kita!" seru Donna.
"Apa maksudmu? Apakah dia terluka cukup parah?" Gerald menghampiri Isaac dan segera memeriksa keadaannya.
Anak laki-laki itu terdiam memandangi wajah tampan pria yang baru saja tiba. Wajahnya sama terlihat asingnya seperti dua orang yang sejak tadi ada bersamanya.
Pria ini… siapa dia?
"Dia bicara aneh sejak tadi," ucap Donna.
"Bicara aneh?"
"Dia berbicara seolah tak kenal denganku ataupun George."
"Benarkah?" Gerald beralih fokus pada Isaac. "Nak, kau baik-baik saja? Apa kau ingin dengan papa?"
"Papa?" ulangnya—bingung.
"Lihat? Dia tidak ingat denganmu juga. Cepat panggil dokter! Minta dokter untuk memeriksanya," ujar Donna.
"Akan aku meminta dokter Helio untuk datang kemari secepatnya." Pria itu beranjak dari tempatnya mengeluarkan sebuah ponsel genggam super kuno.
Ponsel yang dia keluarkan benar-benar membuat Isaac melongok.
Apa yang terjadi sebenarnya?!
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments