Senyuman Zain tidak bisa disembunyikan dari raut wajahnya. Dia terlihat begitu bahagia melihat mempelai wanitanya terjatuh di pelaminan. Sungguh, hari naas ini tidak akan aku lupakan di sepanjang sisa hidupku.
Tidak bisa lagi kuabaikan uluran tangan Zain. Dengan terpaksa aku meraihnya untuk menopangku berdiri kembali. Aku berpura mengibaskan debu yang sama sekali tak nampak di gaunku.
"Tolong hapus vidio yang kalian rekam saat istriku jatuh, jika kalian sampai menyebarkannya aku akan menuntut kalian," ucapnya seperti pahlawan.
Tidak heran dengan warga plus enam dua. Disaat orang lain yang terkena musibah, saat itulah mereka dengan sigap mengeluarkan handphone untuk mengabadikan aib orang. Sudah tidak ada toleransi memang. Meski tidak semuanya.
"Rayya, kamu gak papa?" Mamanya Zain datang dengan begitu tergopoh mendekatiku.
"Gak papa Tante, gak sakit, cuma malu," ucapku sambil menunduk.
Zain menyembunyikan wajahnya di antara wajahku. Suara tawanya terdengar dengan jelas di telingaku, mungkin di telinga tante Renata juga.
"Aww." Zain menjerit lirih saat kuhadiahkan sebuah cubitan kecil di perutnya. Tanda apresiasi karena telah mentertawakanku.
PLAK...
Sebuah tamparan juga dihadiahkan dari tante Renata tepat di bahu Zain. Karma dari mentertawakan menantunya.
"Kamu ini, ikut-ikutan orang aja, istri sendiri kok diketawain." Raut wajah tante Renata sangat jelas jika ia geram dengan putranya tersebut.
"Kan udah Zain bantuin Mah," jawabnya membela diri.
"Habis dibantuin ya gak diketawain juga, ditanya mana yang sakit, apa yang sakit, ngga bertanggung jawab banget jadi suami." Tante Renata uring-uringan seperti membela anaknya sendiri.
"Rayya tadi udah bilang. Gak ada yang sakit, cuma malu. Zain bisa apa berhadapan dengan malu," ucapnya lagi tidak ingin disalahkan.
Aku memutar bola mata jengah. Melihat kelakuan ibu dan anak di hadapanku yang sama-sama tak mau mengalah. Fix, mereka anak dan ibu kandung.
"Kamu gak papa?" Tante Aira dan dua sepupu kesayanganku pun ikut mendekatiku. Tidak kupungkiri ada kecemasan di wajah mereka, meski senyuman lebih mendominasi.
"Gak papa Tante." Kupeluk sepupuku yang sedari pagi tidak memiliki kesempatan berdekatan denganku.
"Kamu sudah makan?" tanya tanteku lagi.
"Rayya belum makan apapun Tante, makanya oleng." Pundak Zain kembali kena pukul dari mamanya.
Zain sudah menjawab pertanyaan tante Aira sebelum aku mengkonfirmasi. Dia mungkin lupa siapa yang membuatku jatuh. Issh ... aku mencebik sambil mengangkat sebelah ujung bibirku.
"Kalo gitu makan dulu gih, ntar pingsan!" Tante Renata mamberi perintah.
"Iya Tante," jawabku sedikit malu-malu bercampur kesal. Aku maunya pingsan pas jatuh tadi.
"Ko tante, panggil mama dong." Pintanya dengan wajah memelas.
"Iya, M-ma." Sedikit berat, tapi nanti juga terbiasa.
Pada akhirnya aku dan tante Aira beserta kedua anaknya pergi dari pelaminan naas itu. Meninggalkan tante Renata dan Zain untuk menghormati beberapa tamu yang tersisa.
°°°°°°°°°°°°
Setelah seharian menyambut para tamu, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk mengistirahatkan jiwa dan raga. Kurebahkan tubuh yang menyimpan hati remuk ini, pada kasur berseprai putih, yang penuh taburan kelopak mawar merah. Mataku nanar menatap langit-langit kamar.
Kembali teringat kata yang dibisikan Zain setelah akad. Zain memintaku untuk melakukan akting sebagai seorang istri. Tanpa berakting, bukankah aku seorang istri yang sesungguhnya? Aku hanya ingin menjawab aku tidak bisa berakting, kenapa Zain malah ingin mengucapkan kata keramat.
Di balik wajahnya yang menawan ternyata menyimpan sikapnya yang arogan. Hanya karena tak sependapat dengannya, langsung seenaknya ingin menalak istri di depan semua orang. Issh ... kekanakan.
KLERK...
Suara pintu terbuka memenuhi indra pendengaran. Aku berpura memejamkan mata dan tetap diam. Malas bicara dengan orang bernama Zain.
"Rayya."
"Rayya!"
"Rayya Khairunisa binti Abdul Aziz, aku tau kamu belum tidur!" bentak Zain.
"Jangan sebut nama ayahku, Zain Habibi bin Hendra Markus." Aku pun mengerucutkan bibir.
Pada akhirnya aku bangun dan duduk di tepi ranjang. Melipat tangan di depan dada sambil menatap wajah Zain yang sudah merah padam. Entah apa lagi yang akan dia lakukan. Setelah pagi tadi ingin menalakku, kali ini mungkin akan segera terealisasi.
"Tidak sopan menyebut nama papa," ucapnya ketus. Pria yang satu ini mungkin mengalami amnesia jangka pendek, sehingga langsung lupa siapa yang memulai menyebut nama ayah.
"Kita buat kesepakatan sekarang." Suaranya kembali terdengar tenang. Pandai sekali Zain berakting, setelah beberapa saat yang lalu terlihat begitu murka, kini wajah itu kembali teduh.
"Aku tidak bisa," ucapanku juga ikut tenang, mungkin karena auranya yang begitu kuat, sehingga membuatku ikut terhanyut dengan wajah itu.
"Apa kamu menolakku!" Dalam sekejap Zain mengubah suaranya dalam nada tinggi. Aku tarik perkataan sebelumnya. Zain adalah bunglon, waspadalah.
"Kenapa harus berakting? Tanpa itupun aku adalah istrimu." Kutegaskan statusku. Zain sendiri yang telah membuat status itu pagi tadi, di hadapan Allah, di depan penghulu dan para saksi.
Zain merubah gerak tangannya yang semula berkacak pinggang, kemudian mengusap wajah dan mengacak rambutnya sendiri. Lalu menyeringai tanpa arti.
"Apa kamu berpikir kamu adalah istriku?" Terlihat jelas eksistensi kornea matanya menatapku, seolah menginginkanku mengatakan tidak. Akan tetapi, aku menolak, aku lebih memilih untuk mengangguk.
Zain menggeram, tak ubahnya seekor kucing yang kehilangan makanannya. Kali ini tidak terlihat menakutkan, hanya sedikit lucu. Perlahan Zain berjalan menghampiriku, dan berhenti tepat di hadapanku. Mata kami saling bertatap, nampak jelas Zain menghela nafas dengan kasar, dan ....
TAK...
"Aw." Kupegang jidat bekas Zain menjentikan jarinya di sana, sangat perih. Teganya seorang suami melakukan kekerasan pada istrinya.
"Salahku apa lagi?" tanyaku pada pria yang masih berdiri di hadapanku tanpa merasa bersalah.
"Buang jauh-jauh pikiranmu yang menganggapku suami sesungguhnya."
Aku semakin tidak mengerti, "Terus? Aku harus menganggapmu suami jadi-jadian?"
"Maka dari itu, kita harus membuat kesepakatan." Zain malah memilih duduk tepat di sebelahku, dari semua tempat yang begitu luas ini, mungkin karena lelah terlalu lama berdiri.
"Kesepakatan itu harus menguntungkan dua pihak, kamu tidak bisa membuat kesepakatan hanya untuk menguntungkan dirimu sendiri." Aku sedikit menjelaskan agar Zain tidak membuat kesepakatan apapun denganku. Jujur, aku masih tidak bisa memahami apa yang ada dalam pikiran Zain.
Jika Zain masih belum bisa melakukan kewajiban sebagai seorang suami, aku bisa memahami. Aku pun masih canggung untuk memberikan haknya. Pelan-pelan saja, aku mengerti kami menikah bukan karena cinta, tapi insyaallah pernikahan ini yang akan menghadirkan cinta.
"Kenapa wajahmu memerah? Apa karena aku duduk di sampingmu jadi kamu sekarang berpikiran mesum?"
Pernyataan Zain membuatku terhenyak, aku memang sedang memikirkan ... mesum? Astaga ... dia menganggapku mesum?
"Jangan macam-macam, aku melarangmu jatuh cinta padaku." Langsung kutepis jari telunjuk yang Zain arahkan ke wajahku.
"Pernikahan kita bohongan, kamu tidak boleh menyukaiku. Aku tau itu sangat berat bagimu. Tapi aku serius! jangan jatuh cinta padaku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu!"
Kedua tanganku mulai terkepal, seiring nafas yang memburu dengan dada yang naik turun. Setelah mendengar pernyataan Zain, entah mengapa terasa ada yang berbeda saat aku kembali menatap potongan rambutnya. Rasanya ... Ingin kujambak rambut itu.
Diih ... sok kecakepan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Afia Parveen
❤
2023-01-17
0
I Smile
menarik
2023-01-17
1
fllw ig: @Mlniptriii__
Larangan adalah perintah, Dan aku akan tetap mencintaimu 🙂
2023-01-16
1