Kura-kura besar mengambang di kolam aliran air terjun, kehadirannya bagaikan rembulan yang menggantung penuh keagungan, sementara ikan-ikan mas ibaratnya bertaburnya gemintang di langit malam. Lonceng kuil berdentang tanda ritual berdoa siap dilaksanakan. Di antara banyaknya harapan yang digaungkan dalam sanubari para jiwa kepada Dewa, seseorang berpaling—pergi menjauh dari tempat suci tersebut.
Seorang gadis tengah menyusuri hutan belakang kuil untuk pergi ke puncak air terjun, dengan membawa obor untuk menjadi pencahayaannya karena dedaunan terlalu rimbun sampai sinar bulan tak cukup menunjukkan jalan yang bagus untuk dilalui, meski apinya meliuk-liuk terkena hembusan angin malam nan menusuk tulang. Walau sesekali tersandung batu atau pohon tumbang—mendapat luka pun tak digubris, alih-alih menggumamkan keputusasaan berulang-ulang di bibir tipisnya.
“Salahku, semua salahku,” ia berucap sambil menarik dengan kasar kain pakaiannya yang tersangkut dahan.
Selesai dengan urusan merobek pakaian, si gadis kembali berjalan. Jalanan yang menanjak membuatnya harus memilih pegangan yang tepat agar tidak jatuh terguling ke bawah, nahasnya batu pijakan yang ia injak begitu lembab membuat permukaannya menjadi licin, dan hampir tergelincir bila tidak segera mencengkeram ranting beringin yang menjulur.
“Salahku, semua salahku,” ia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, seolah dengan mengakui kesalahannya itu akan diampuni, meski peluangnya sangat sedikit kecuali menebusnya dengan nyawa, begitu pikirnya.
Api obor dibuang, menggelinding ke bawah hingga akhirnya padam. Posisinya yang tidak mengenakan membuatnya kembali fokus pada tujuan awal, ia tidak ingin tiada di tempat itu, ia sudah menginginkan tempat untuknya sendiri berakhir.
Jari-jarinya kotor, begitu pula dengan pakaiannya yang sudah banyak terdapat robekan, tiada sinar kehidupan di mata cokelatnya, ia terlihat lusuh saat berdiri di tempat tujuan. Matanya menangkap keberadaan obor yang ditancapkan di seberang aliran air, lantas perhatiannya beralih arus air yang dengan deras mengalir turun, di bawah sana sangat banyak tempat untuk air ini mengalir, dan entah berada di mana nantinya ia akan berakhir di tempat yang dilalui air terjun itu.
“Mau lompat?”
Langkah kakinya terhenti kala mendengar suara seseorang, ia menoleh, mendapati seorang gadis bersandar di batu besar tengah menatapnya. Perempuan itu menegakkan badan, lalu ikut masuk ke dalam air yang dingin.
“Kau ingin mati?”
Mata merahnya ditambah dengan sinar rembulan membuatnya nampak seperti kobaran api, bersiap untuk membumihanguskan segalanya, dan ia memiliki praduga bahwa kemungkinan pemilik netra tersebut bermaksud membakar dirinya.
“Jika ingin mati,” ia menjeda, kemudian. “Jangan di sini, pergilah ke tempat lain,” sambungnya.
Dugaannya salah, sosok di hadapannya itu menautkan kedua alisnya, “jika kau tewas di sini, maka aku yang akan dituduh mendorongmu mati. Maka alasan yang aku katakan pada mereka bahwa aku sebenarnya hanya sekadar bersantai di sini lalu tiba-tiba ada yang bunuh diri tapi aku tidak tahu, apakah alibi itu akan diterima?”
“Kau—“ satu kata dari suaranya yang tercekat, “kau bangsawan, mereka pasti akan membebaskanmu!”
Ia bergerak mundur saat posisi gadis itu semakin dekat jaraknya dengan dirinya, membuat ia harus keluar dari air, kendati demikian orang di depannya tak kunjung berhenti berjalan mendekat sampai tubuhnya tertumbuk pada batang pohon.
“Persetan dengan kebangsawanan, kau melihatku seperti para bedebah. Benar, aku bebas tapi saudaraku akan mengulitiku hidup-hidup,” perempuan itu menelengkan kepala, kemudian, “dengar, jika itu salahmu, perbaiki! Apa dengan kematianmu masalah akan selesai? Tidak....”
“Kau tidak tahu apapun, aku sudah berusaha!”
“Usaha apanya? Ketika gagal dalam upaya menemukan saksi yang saat itu bersama dengan saudaramu, kau tidak berusaha mencarinya lebih jauh lagi, alih-alih menangis di sudut kamar.”
“Aku tidak sekuat itu!”
“Maka jangan ditanggung sendiri!”
Terkesiap ia mendapat hardikan usai meneriakkan kelemahannya, ia memandang mata merah itu. Sangat lama sampai garis-garis di matanya seolah bergerak horizontal, lalu membentuk sulur-sulur benang yang mengikat, dan membawanya berada di tempat yang semuanya serba berwarna merah.
“Aku menyerah!”
Tanpa tahu apa yang telah terjadi tiba-tiba ia berseru, anehnya terdengar lain suara yang ia keluarkan. Seseorang anak laki-laki datang, wajah itu nampak tak asing, tapi agak ragu bahwa orang yang tersenyum kepadanya memang benar orang yang ia kenal.
“Terlalu awal untuk putus asa, Mika.”
Mika, itu namanya.
“Kakak Midori, aku benar-benar tidak bisa,” ia menggerutu.
Kakak Midori? Ia benar-benar Kakak!
Dugaannya benar, dan ia ingin memeluk saudaranya saat itu juga, sayangnya semua hasratnya tak bisa dilakukan. Seolah ia sedang dikendalikan untuk tidak melakukan apapun, kecuali pergerakan dari tubuhnya yang rasanya begitu bebas namun bukan atas keinginannya. Semua yang ia lakukan, termasuk bersuara bukan atas kehendaknya.
Kakaknya—Midori memegang tangannya, “kita lakukan bersama.”
Dan, ia hanya mengangguk-anggukkan kepala, sementara Kakaknya mulai menggerakkan tangannya guna menekan tanah liat yang awalnya tidak berwujud, sedikit demi sedikit membentuk sebuah benda.
Guci, aku pernah membuatnya bersama Kakak Midori 9 tahun yang lalu!
“Jika kamu tidak bisa menyelesaikannya sendirian, selesaikan bersama orang lain. Manusia diciptakan untuk saling membantu, dan mungkin akan ada yang enggan, akan tetapi yakinlah pasti terdapat uluran tangan pertolongan.”
Ia mengangguk menyetujui, hatinya teramat bahagia melihat senyum saudara yang ia kasihi. Sayang anggukan itu kini hanya sebatas mengiyakan namun tidak ia laksanakan, ia merasa buruk. Di tengah-tengah merutuki diri, sulur-sulur benang merah kembali datang mengikat, lalu seolah ditarik mundur, ia merasa angin melewatinya dengan membawa kejadian terakhir di mana ia melihat saat dirinya berteriak putus asa dalam membuat guci, dan terakhir yang ia lihat adalah kegelapan yang hampa, dan hanya terdengar gema tetesan air yang entah dari mana asalnya.
“Mika, kau bisa mendengarku?”
“Siapa?”
Ia bertanya, namun perolehan atas pertanyaannya yaitu rasa sakit di pipi, dan akhirnya ia melihat cahaya seperti sebelumnya.
“Yuka, oh! Nona Kazuya,” ralat Mika, “terima kasih,” ucapnya sembari mengusap pipinya yang memerah.
“Panggil saja aku, Yuka. Tamparan itu bayaranku karena kau dengan mudah melupakan,” ujar Yuka sembari merenggangkan tubuhnya.
Mika tersenyum, kelakuan orang yang sedari awal tak begitu dekat lantaran pandangannya terhadap bangsawan sangat buruk—Suku Penyembuh tak berdaya, semua lahan yang tertanam obat-obatan telah sah menjadi milik bangsawan tersebut, bila ingin menggunakannya maka harus membayarnya. Mengingat orang tuanya yang sekarat, juga bangsawan enggan memberikan obat-obatannya meski dijanjikan akan membayarnya setelah mereka sembuh. Ketidakpedulian yang diterima, bangsawan berpesta di atas kematian orang tuanya. Dan, akhirnya Kakaknya dengan tulus hati merelakan impiannya untuk menjadi tulang punggung keluarga. Namun, salah satu anak bangsawan malah menyelamatkannya. Ia merasa aneh, tapi gadis di depannya lebih aneh karena menyebut bangsawan bedebah, padahal ia juga keturunan mulia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Kinara Wening
kalimatnya terlalu berbelit. coba diganti gini:
ia mengucapkan sekali lagi, seolah dengan mengakui kesalahan itu akan diampuni, ....
2022-12-01
9