02

Setelah kepergian Haikal dan keluarganya. Naura, Panji dan Langit duduk di sofa ruang tamu. Panji memang kecewa dengan jawaban anaknya, tapi tak dipungkiri ia juga salah dalam hal ini. Kenapa ia tidak memberitahukan masalah penting ini kepada sang putri. Ia tak patut menyalahkan putrinya, yang salah dirinya sendiri.

"Lalu bagaiamana perjodohan Ata selanjutnya Bun?" Langit sebagai anak sulung membuka suara, saat kedua orang tuanya berada dalam pikiran masing-masing.

"Nanti coba Bunda temuin Ata ke kamarnya. Kalau sekarang biar Ata menangin pikirannya dulu untuk beberapa saat," jawab Nuara.

Jujur ia juga belum mau berpisah dengan putri satu-satunya itu, tapi mau bagaimana lagi emang itu yang terbaik bagi putrinya. Bukan ia mau egois, tapi itu ia lakukan hanya untuk kebaikan putrinya.

Matahari menagis diatas kasur sambil meremas selimutnya dengan kuat. Menumpahkan air mata dibalik selimut. Ia belum mau menikah, ia masih ingin menikmati masa mudanya. Tapi kenapa Ayah dan Bundanya malah menjodohkannya dengan laki-laki yang bahkan tak ia kenal. Jangan kan kenal, bertemu saja baru tadi. Lalu apa yang akan ia lakukan jika memang ia menikah dengan laki-laki itu. Membayangkan saja sudah membuat kepala Matahari sakit.

Tok...

Tok...

Tok...

Tiga kali ketukan pada pintu kamarnnya membuat Matahari membuka kain selimut itu hingga dadanya.

"Ata boleh bundah masukan, Nak?" Suara paruh baya itu terdengar sangat lembut.

Matahari bergeming mendengar ucapan Bundanya. Kini pikirannya masih berputar tentang kejadian tadi siang.

"Ata? Kamu di dalam 'kan Nak? Boleh bunda masuk, Sayang?" Naura membuka pintu kamar putrinya saat tak mendengar jawaban dari dalam kamar tersebut.

Naura melangkah masuk lalu duduk diatas ranjang sang putri tepat disamping gadis tersebut. Diambilnya tangan Matahari yang berada diatas perut gadis itu. Digenggamnya dengan sangat erat untuk menyalurkan kekuatan bagi sang anak. Naura bukan tak tau bagaimana hati anak gadisnya saat ini. Bahkan ia sangat tau karena dulu iapun merasakan hal yang sama seperti putrinya

"Kenapa Bunda tega lakuin ini semua buat ata? Kenapa Bun? Hiks... Hiks..," Matahari terisak menatap Bundanya.

"Sayang dengerin penjelasan bunda ya Nak," pintanya semakin mengeratkan genggaman tangannya pada putri tunggalnya itu.

"Bunda, ata mohon sama Bunda batalin perjodohan ini Bun, ata belum mau menikah Bunda. Ata masih mau kuliah, cita-cita ata belum terwujud satu pun Bunda. Ata mohon Bun," Matahari memotong dengan wajah memerah karena menangis terus.

Hati Naura tercubit mendengar ucapan gadis kecilnya. Rasa sakit yang dirasakan Matahari bahkan dapat ia rasakan. Sungguh tak ada seorang ibu pun yang mau anaknya memohon sedemikian rupa padanya. Apa lagi melihat air mata yang tiada henti mengalir dari pelupuk mata sang anak. Menagis? Ya Naurapun ikut menangis mendengar ucapan sang putri.

Sedangkan dibalik pintu kamar Matahari, seorang laki-laki paruh baya meneteskan air matanya. Bahkan jika boleh jujur ia pun belum mau untuk melepas putri tunggalnya itu. Belum cukup baginya untuk bersama putri yang sangat ia cintai. Putri yang mati-matian ia besarkan dengan penuh kasih sayang. Jangankan untuk menamparnya, memarahi saja tak pernah ia lakukan selama 18 tahun kehidupan putrinya.

'Maafkan ayah, Nak. Ayah tidak bisa berbuat apa-apa selain menikahkanmu, Sayang. Ayah yakin dia laki-laki yang baik buat kamu, Ayah akan pastikan kamu tidak akan menyesal nantinya, Nak,' batin Panji sambil menghapus air matanya lalu beranjak dari sana menuju ruang kerjanya.

"Ata dengerin bundah dulu--"

"Bunda, ata mohon, hiks hiks," potongnya sambil melepas pegangan sang bunda lalu mengatupkan kedua telapak tangannya tanda memohon.

"Ata dengerin bunda dulu. Ata mau kan dengerin penjelasan bunda?" Naura menghapus air mata putrinya yang terus saja mengalir membasahi pipinya chubbynya.

Anggukan kepala Matahari membuat Naura melanjutkan ucapannya. "Ata dulu Ayah dan Bunda dijodohkan juga Sayang. Bahkan saat itu bunda juga baru tamat sekolah sama persis seperti kamu. Bahkan bunda tau apa yang sedang Ata rasakan sekarang sama seperti yang bunda rasakan beberapa tahun lalu. Bunda pun juga punya cita-cita sama persis seperti Ata. Bahkan untuk menolak pun bunda tidak bisa Nak. Karena tradisi dari keluarga kita anak gadis harus menikah sekurang-kurangnya umur 18 tahun. Jika ia masih menduduki bangku SMA. Jika ia tidak sekolah maka diumur 17 tahun sudah harus menikah Sayang. Jadi bunda minta sama Ata, Ata menerima perjodohan ini ya, Nak"

Matahari termenung mendengar penjelasan sang bunda. Bagaimana bisa keluarganya memiliki tradisi kuno seperti ini. Apakah mereka tidak tau bahwa sekarang sudah zaman moderen. Bahkan tak bisakah mereka berfikir semakin maju tahun maka perubahan itu akan semakin kentara.

Kenapa, kenapa ia harus berada dalam situasi yang tak sama sekali ia inginkan. Tak bisakah ia memilih suaminya sendiri. Laki-laki yang mencintanya begitupun dengan dirinya. Matahari hanya menangis dalam diam. Meratapi nasibnya yang tak lama lagi akan menjadi istri orang.

"Nak, kamu dengar 'kan ucapan bunda?" Naura menyentuh bahu putrinya menyadarkan dari lamunannya.

"Bunda, Ata mohon batalkan perjodohannya Bun," Matahari masih bersikeras untuk menolak.

"Sayang ini sudah tidak bisa diganggu gugat Nak, kamu harus menjalaninya. Bahkan bunda yakin calon suami kamu baik, Nak. Dia pasti akan membahagiakan kamu nantinya, percayalah sama bunda,"

"Ta--tapi ata ma--"

"Nak, kamu percaya kan sama bunda?" Matahari mengangguk mendengar pertanyaan Naura.

"Kamu terima ya perjodohan ini?" pintanya.

"Ata masih mau kuliah Bunda, perjalanan ata masih panjang Bunda bagaiamana bisa ata menikah sekarang?" Matahari masih berusaha menolak meski dengan cara halus.

"Kamu masih bisa kuliah nantinya Sayang, Bahkan masalah itu sudah Bunda dan Ayah bicarakan pada keluarga calon suami kamu, dan mereka semua menyetujui termasuk Bintang yang akan menjadi suami kamu nanti, Sayang," jelas Naura berusaha membujuk anak gadisnya. Dan memang benar apa yang sudah dibilang Naura pada Matahari adalah benar.

"Tap--"

"Sekuat apapun Ata menolaknya tidak akan bisa Nak, keluarga kita sangat kuat akan tradisi Sayang. Jadi Ata mau kan?"

Anggukan kepala Matahari membuat Naura merasa lega. "Nggak usah kamu pikirkan lagi Sayang, sekarang Bunda akan memberitahukan pada Ayah. Yakinlah apapun yang Ayah dan bunda pilihkan pasti itu yang terbaik buat kamu, Sayang. Kami tidak akan menikahkan kamu dengan laki-laki yang tidak baik, Nak. Bahkan Ayah dan bunda tau bagaimana baiknya Bintang dan keluarganya," Naura kembali menjelaskan saat melihat putri tunggalnya meneteskan air mata.

Sungguh ia pun tidak tega melihat putrinya menagis terus. Bahkan jika boleh memilih ia pun tidak mau putrinya menikah secepat ini. Rasanya belum puas menikmati kebersamaannya bersama sang putri. Bahkan mungkin tidak akan pernah puas sebelum ia menutup mata untuk selamanya dan pergi ke tempat yang seharusnya ia berada.

Matahari hanya menganggukan kepalanya lalu menghapus air matanya dan memberikan senyum manis pada sang bunda agar wanita paruh baya itu mereka sedikit lega.

Setelah kepergian Naura, Matahari kembali menumpahkan air matanya. Ia tak sanggup, sungguh ia belum sanggup untuk membina rumah tangga. Bahkan Matahari tidak kuat membayangkan jika nantinya ia memiliki seorang suami.

Karena terlalu lama dalam pikirannya Matahari tertidur dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Bahkan dalam tidurpun Matahari tetap mengeluarkan air matanya.

TBC

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!