Dengan raut wajah pucat, Firman melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Pikirannya benar-benar kacau, saat mendapatkan kabar dari Ibu tirinya jika sang Ayah masuk rumah sakit.
Langkahnya melambat saat dari kejauhan ia melihat sang Mama, adik dan juga ibu tirinya sedang menunggu di kursi tunggu. Rasa khawatir terus membayangi, karena ketakutan terbesar Firman adalah kehilangan orang yang ia sayangi.
"Abang Firman!" Adik Firman yang bernama Akbar berhambur memeluk sang Kakak. "Abang Ayah pingsan, Akbar takut."
"Tidak apa-apa, Abang yakin Ayah akan baik-baik saja. Kita doakan Ayah ya." Ia berusaha untuk tetap terlihat kuat meski pikirannya kacau karena rasa takut akan kehilangan.
Firman melanjutkan langkahnya sambil menggenggam tangan sang adik. Tangis kedua Ibunya pun kembali pecah, Kedua wanita paruh baya itu memeluk Firman sambil terus terisak-isak.
"Sudah Umi, Ma. Kita doakan Ayah baik-baik saja ya, kapan operasi pemasangan ring akan di lakukan?"
Umi dan Mama melepaskan pelukannya sambil menyeka air mata. Kedua wanita paruh baya itu meski saat ini Ayah belum sadarkan diri.
"Dokter menunggu kondisi Ayah stabil dulu," jawab Umi.
Klek.
Pintu ruang unit gawat darurat terbuka. Seorang perawat melangkah keluar menghampiri firman dan keluarga. "Pak Ilham sudah sadar, beliau ingin bertemu dengan anaknya Firman."
"Saya Sus." Firman langsung mendekat seolah tak sabar untuk menemui sang Ayah.
"Mari ikut saya." Perawat itu kembali berbalik masuk kedalam ruangan di ikuti Firman dari belakang.
Sesampainya di dalam ruangan, matanya mulai berkaca-kaca saat melihat semua peralatan medis yang menempel di bagian tubuh sang Ayah.
Air mata Firman tak tertahankan saat sang Ayah menoleh melihatnya sambil tersenyum. Ya, begitulah sang Ayah, selalu saja tersenyum dalam kondisi apapun.
Perlahan Firman duduk di samping sang Ayah sambil menggenggam tangannya erat. "Ayah, Aku datang."
Ayah kembali tersenyum kepada sang putra. "Jangan melihat Ayah seperti itu. Ayah baik-baik saja."
"Ayah masih berkata seperti itu? Pokoknya Aku mau Ayah sembuh, jangan tinggalkan Firman dan Akbar. Kami masih butuh sosok pembimbing."
"Ayah tidak bisa mendahului kehendak Allah, tapi kalau memang Ayah di panggil ... Ayah mau melihat kamu menikah."
Firman tertunduk lemas. Ia benar-benar tidak siap di hadapan dengan situasi seperti ini. Setelah beberapa saat ia kembali menatap sang Ayah dengan mata berkaca-kaca.
"Aku janji akan secepatnya menikah ... be-besok aku akan membawa calon istri ku ke hadapan Ayah, tapi Ayah harus janji sembuh. Ayah harus melihat ku menikah, Ayah harus melihat aku mempunyai anak yang lucu-lucu."
Air mata Ayah mengalir dari sudut mata. Seolah ia kembali mempunyai harapan, semangat untuk bertahan hidup. "Ayah mau sembuh, Ayah mau melihat cucu Ayah."
"Tentu saja, Ayah pasti bisa sembuh. Jangan pernah berkata seperti itu lagi." Firman semakin mengeratkan genggaman tangannya, bibirnya tak lagi mengucapkan apapun, namun pikirannya begitu ramai dengan pertanyaan.
Ya, saat memutuskan untuk berkata seperti itu yang ada di pikiran Firman hanyalah ayahnya harus sembuh dan satu-satunya wanita yang ia pikirkan untuk ia mintai tolong adalah wanita yang sempat ia g*la pagi tadi.
ΩΩΩΩΩ
Klek.
Pintu kamar Laila terbuka, Naima masuk sambil membawa paper bag di tangannya. "Heh, kamu benaran sakit? Baru juga kemarin happy karena Rehan pulang." Ia meletakkan paper bag itu lalu duduk di samping Laila.
Helaan napas berat terdengar lirih, Laila menatap sang sahabat dengan raut wajah sendu. "Aku dan Rehan putus."
"Hah, La ini tidak lucu ya." Naima nampak begitu tak percaya, ia menatap Laila lekat seolah mencari kejujuran. Baru kemarin semua baik-baik saja, dan sekarang malah putus.
"Aku serius. Saat aku datang ke apartemennya, aku memergokinya tidur dengan wanita lain dan sialnya wanita yang tidur dengan dia adalah sepupuku sendiri, Farah."
"Astaga, La. Aku benar-benar tidak menyangka Farah dan Rehan bisa melakukan hal itu. Jadi sekarang apa yang kamu lakukan?"
"Ya aku minta putus. Tapi Rehan tidak mau, pagi ini saja dia terus mengacam dan menelpon ku. Kemarin saat aku sedang di jalan dia mencegatku dan tanpa sadar aku bilang ke dia kalau aku sebentar lagi aku akan menikah."
Naima semakin tidak habis pikir. Ia di buat terkejut berkali-kali bahkan sebelum sepuluh menit dia duduk di sana. "Kau gila, kenapa kau berkata seperti itu. Memangnya kamu mau menikah dengan siapa?"
Laila menutup wajahnya dengan kedua tangan jika mengingat aksi nekatnya mengajak seorang pria yang baru ia temui satu kali. "Aku pasti sudah gila, Na." Ia kembali melihat sang sahabat dengan raut wajah lemas. "Saking frustasinya kemarin aku meminta seorang pria yang baru aku temui untuk menikah dengan ku."
"What!" Andai Naima punya penyakit jantung, ia pasti sudah pingsan sejak tadi. "Gila sih, kamu kok bisa melakukan itu?"
"Aku tidak sengaja mendengar pembicaraannya lewat telepon, sepertinya dia di desak untuk menikah. Jadi aku ajak saja kerja sama. Aku yakin setelah menikah, Rehan tidak akan menggangu ku lagi, tapi kamu tahu yang terjadi, dia menolak ku."
"Ya sudah pasti di tolak lah. Sejak dulu kamu itu selalu saja spontan saat memutuskan sesuatu. Aku tahu kamu sedang sakit hati, panik dengan situasi tapi aku yakin ada jalan lain."
Mendengar ucapan sang sahabat Laila kembali merebahkan tubuhnya, melihat kearah langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
"Na, kamu pernah tidak, sakit hati sampai dada kamu benar-benar terasa sakit? bukan cuma mentally hurt, tapi sakitnya beneran terasa sampai rongga-rongga dada. Kamu kecewa, sakit, sesak tapi kamu bingung harus ngapain. Kemarin yang ada di pikiran ku hanya bagaimana cara agar Rehan tidak mengganggu ku lagi, aku tidak akan pernah memaafkan dia, apalagi memberikan dia kesempatan."
"Terus sekarang kamu mau apa? Apa perlu aku pasang pengumuman mencari jodoh untuk mu?"
Pug!
Satu tepukan yang cukup keras mendarat di paha Naima. "Haisss, tidak sampai begitu juga kali. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Kalau Ibu ku tahu aku putus, bagaimana ya tanggapnya?"
Naima terperangah sambil menggelengkan kepalanya. "Sudah pasti Ibu mu akan menyumpahi mu. Dari dulu juga Ibu mu sudah tidak setuju kamu pacaran dengan Rehan, feeling seorang Ibu memang tidak pernah salah."
Hembusan napas panjang kembali keluar dari mulut Laila. Jika ditanya cinta tentu saja masih ada tetapi Laila sudah enggan memaafkan, karena pria seperti Rehan tidak patut untuk dipertimbangkan.
Truudd...truddd...truddd.
"La, ponsel kamu bunyi tuh," sahut Naima.
"Hadeh siapa lagi yang menelpon, tidak tahu orang lagi pusing apa." Ia meraih ponselnya, saat melihat yang tertera adalah nomor baru, pikiran Laila langsung berkata, itu pasti Rehan. "Ck, sekarang dia menggunakan nomor baru."
"Angkat saja, dari pada dia menelepon terus. Kamu harus lebih tegas."
Dengan malas Laila mengangkat telepon itu. "Ya hallo."
[Apa benar ini Laila Maharani?"
Seketika mata Laila membulat, dengan gerakan cepat ia bangkit dari posisi berbaringnya. "Ya benar, ini saya sendiri."
[Masalah tawaran kamu yang kemarin ... saya terima. Apa kamu bisa ke rumah sakit XX sekarang?]
Bersambung 💕
Jangan lupa berikan dukungan untuk Author ya reader 🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
dewi
semakin menarik... q suka
2023-06-26
0
pembaca 🤟
aq baru mampir ya di cerita ke 2 kk author,, baru nemu novel bagus ceritanya GK bertele tele,, stelah Syifa cuuuss ke mantannya 🤭🤭🤭
2023-01-29
0
Nabila hasir
bagus critanya firman mudah2an banyak yg like dan ngasik vote
2022-12-05
3